Dua Perjalanan dalam Puisi


Oleh: Matroni Muserang*
Indahnya dalam dunia kepenulisan adalah tiada dosa, artinya menulis sastra memang bebas, apa pun boleh di tulis dan diekspresikan. Berbicara perjalanan dalam puisi sebenarnya ada banyak perjalanan. Perjalanan data, perjalanan rasa, perjalanan imajiner, perjalanan simbolik, perjalanan kata-kata dan perjalanan-perjalanan yang lain dalam puisi, akan tetapi penulis ingin mengambil dua perjalan dalam puisi, karena dua perjalan yaitu perjalanan imajiner dan perjalanan simbolik inilah yang mewakili dalam dunia puisi untuk sampai pada ladang dimana puisi lahir dalam keadaan utuh.
Perjalanan imajiner, sebuah perjalanan menuju kedalaman mengolah data, mengolah makna, sehingga puisi yang lahir dari pengolahan tersebut benar-benar hidup dan memiliki roh menggetarkan. Karena tanggungjawab penyair tidak hanya untuk dirinya sendiri, akan tetapi pembaca pun harus menjadi perhatian penyair. Jadi di sinilah penyair membutuhkan olah pikir dalam menganalisis kata dengan kata yang lain, artinya ada keterkaitan antara penyair dan puisi.
Walau pun ada tesis bahwa pengarang sudah mati, akan tetapi kalau pengarang atau penyair sudah mati, lalu siapa yang memberi jiwa atau roh terhadap karya yang dihasilkan pengarang atau penyair? Sebuah tanya ini juga pernah ditanyakan oleh Abdul Hadi WM. Artinya tesis “pengarang sudah mati” sebenarnya kurang pas untuk dijadikan wacana dalam sastra. Kecuali konteksnya berbeda misalnya puisi yang hanya di tulis dengan tergesa-tesa, sehingga puisi tidak ada roh, inilah yang dikatakan “pengarang sudah mati”. Artinya tiadanya roh dan jiwa dalam sebuah karya inilah yang disebut “pengarang sudah mati”.
Jadi jelas penyair untuk menghasilkan puisi harus benar-benar berjuang berdarah-darah untuk mengeluarkan bahasa imajinasi dan bahasa intuisi agar keluar menjadi puisi dan dimengerti oleh banyak orang (Suara Merdeka: Matroni el-Moezany, 2012). Kadang ada penulis puisi yang “egois”, penulis puisi yang hanya bisa dimengerti sendiri, puisi-puisi inilah yang kemudian “menyesatkan” pembaca, jadi wajar jika puisi akhir-akhir ini jarang di sukai siswa dan mahasiswa. Sehingga perjalanan imajiner ini penting untuk benar-benar diolah dalam imajinasi pengarang agar yang lahir dari rahem imajinasi keluar puisi yang cantik dan semua orang mengenalnya dengan baik.
Yang kedua, perjalanan simbolik, sebuah perjalanan metafora atau diksi dalam puisi. Perjalanan inilah membutuhkan energi kesabaran, jadi penyair benar-benar harus hati-hati meletakkan diksi yang itu dijadikan simbolik dalam puisi. Arti secara umum bagi orang awam puisi adalah sesuatu yang momet dan tak dimengerti. Tesis ini tugas penyair untuk memberikan pemahan yang mudah dimengerti oleh pembaca. Rabindranath Tagore misalnya yang berjuang mengolah diksi untuk menggambarkan puisinya yang berjudul “Dari Tukang Kebun” di sana ada diksi yang sebenarnya sekali baca orang mengerti, akan tetapi maknanya dalam: matamu yang mengandung tanya itu duka/ ia mencari-cari hendak mengetahui isi hatiku bagai bulan hendak menduga laut. Penggalan puisi ini enak dibaca dan makna pun seakan menyertai pembaca untuk berimajinasi.
Jadi kalau penulis puisi ingin mengaku penyair, ya, harus benar-benar bersabar tidak tergesa-gesa kata Mahwi Air Tawar dan berjuang melawan hal itu. walau pun akhir-akhir ini banyak penulis sastra (puisi, cerpen, novel) yang ingin cepat di kenal, hal ini wajar, mungkin tujuan menulis bagi mereka adalah mengejar “popularitas”, bukan mengejar “kualitas” dan ini merupakan tantangan bagi penulis-penulis pemula seperti saya.
Bagaimana mungkin kita mengolah bahasa saja belum bisa sudah mengaku penyair? Karena sudah menerbitkan antologi puisi terus kita “sombong” dan mengaku penyair? Panyair kok sombong kata Ileng Rembulan. Jadi jelas, bahwa tanggungjawab pengarang atau penyair harus belajar budi pekerti, belajar menata mental dan belajar rendah hati, dan inilah yang selalu ditekankan oleh penyair yang sampai sekarang masih memegang idealisme kepenulisan. Dan saya tidak harus menyebutkan siapa kaum idealis itu, yang jelas itu masih ada sampai detik ini.
Sehingga posisi penyair tidak ada bisa yang menggantikan, kalau DPR, Presiden mati, pasti ada lain yang berbondong-bondong untuk menggantikan posisinya, akan tetapi penyair sampai kapan pun tidak ada yang mampu menggantikan posisinya. Inilah letak kedahsyatan dalam dunia sastra. Bukan saya fanatik kepada sastra, akan tetapi setidaknya sastra jangan dijadikan jembatan untuk merusak kemanusiaan, karena tugas penulis adalah tugas kemanusiaan kata Pram. Kalau sudah menjadi tugas kemanusiaan apa tanggungjawab kita sebagai penulis puisi? Apa tugas kita yang sudah mengaku penyair? Tentunya kita memiliki jawaban tersendiri, bukan?
Jadi, sebagai penulis puisi atau sastra, selalu-lah menjadi pemula agar jiwa dan mental kita selalu terbuka untuk di kritik, karena bagi saya kritik adalah tempat yang indah untuk memperkuat mental kepenulisan. Akhirnya sebagai penulis puisi tidak serta merta menulis dan menulis, akan tetapi bagaimana mempertimbangkan banyak orang terutama pembaca, agar karya yang kita hasilkan tidak mengisi rak-rak buku yang di makan rayap waktu.
Dari sinilah tugas penyair tidak hanya menulis dan menulis untuk mengejar popularitas. Dunia menulis adalah dunia yang suci, dunia kesabaran dan dunia menata mental diri yang kuat. Kuat dari godaan-godaan kapitalisme, dan godaan yang membuat sastra itu “kotor”. Marilah kita belajar bersama.


*Penyair dan mahasiswa filsafat pasca UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

sumber: http://kuflet.com/2013/01/dua-perjalanan-dalam-puisi/ 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura