di Muat Minggu Pagi: Minggu Pagi, NO 39 TH 65 Minggu V Desember 2012


Gebyar Fisik Kesusastraan
Oleh: Matroni el-Moezany

Saya miris dan kaget ketika membaca sebuah beberapa waktu lalu, yang membuat prihatinan Inayah Wulandari Wahid menjadi keprihatinan saya sebagai anak muda dan penulis sastra. Inayah prihatin banyak anak muda tidak tahu siapa Hamsad Rangkuti? Inayah sedih betapa sastrawan sekelas Hamsad yang jasanya cukup besar dalam membentuk pemikiran banyak orang, ternyata tidak dikenal oleh anak-anak muda sekarang. Salah satu bukti ketika saya menjadi juri lomba puisi untuk anak SD di Sleman yang ikut enam orang dari jumlah 40 siswa, itu pun yang ikut di paksa ikut.  
Inilah sebuah realitas sekaligus problem kita semua karena anak-anak muda ternyata berjarak dengan sastra sebagai sumber pengetahuan yang mengasah jiwa, pikiran dan hati kita. Yang lebih miris lagi, anak muda ternyata mereka kurang menghargai sosok sastrawan seperti Hamsad, dan mungkin sastrawan-sastrawan yang lain.
Realitas ini sering terjadi pada sastrawan Indonesia, bahkan Hamsad sendiri yang hidupnya sederhana sampai-sampai tidak bisa membiyai dirinya ketika sakit, kenyataan ini tidak terjadi pada Hamsad, banyak sastrawan yang hidupnya seperti Hamsad. Anehnya hal ini terjadi di Negara yang begitu kaya, penuh dengan intelektual-intelektual kelas tinggi, bahkan pengusaha besar yang kaya raya ada di Indonesia.
Ketika gebyar fisik menjadi dewa atau dengan bahasa lain materialisme menjadi segala-galanya. Segi fisik yang tentu berlanjut ke peranan image, citra, gengsi, representasi menjadi segala-galanya. Lihat di toko buku. Kalau dalam kriteria lama buku berasosiasi dengan kedalaman, sekarang buku-buku yang di pajang di rak dengan tulisan best seller  adalah buku-buku yang harus ringan, di tambah lagi dengan foto penulisnya yang cantik dan ganteng.
Di dunia sastra, kita sudah mengenal dengan istilah “sastrawangi”, dengan di tandai dengan penulis-penulis perempuan cantik, wangi, sebagai pengganti zaman romantisme sastra dengan para penulis bergaya-gaya kumal. Jadi orang yang kaya pasti makmur dan hanya dengan memakai orang lain untuk menulis, maka ramailah semesta kepenulisan dengan kebudayaan visual dengan moto “aku bergaya, maka aku ada, dan aku kaya, maka aku ada”.
Maka terjadilah salah kaprah dalam menilai sebuah karya sastra, bahkan sampai detik ini pun, bagaimana umumnya para kritikus sastra taruhlah puisi. Karya puisi bukan mereka nilai dengan mata, hati, atau dengan metodologi yang jelas, melainkan dengan telinga. Dengar-dengar puisi itu bagus, sedang boming, maka baguslah puisi tersebut.
Kesalahkaprahan ini kelihatannya memang berangkat dari diri kita sendiri dalam memaknai “diri”, menilai kecantikan dari mata, mengukur sastra dengan apologi kosong (tiadanya metodologinya yang jelas) dan lain seterusnya. Jadi orang yang dianggap sukses, rahasianya kerja keras, bekerja dengan hati dan tidak lupa berdoa.
Ada banyak komunitas yang membedah karya sastra (puisi, cerpen, dan novel), akan tetapi pembedahnya pun masih jarang bahkan bisa di kata tidak ada yang menggunakan metodologi yang jelas dalam memahami sebuah karya sastra. Pembedah menggunakan pendekatan apa juga tidak ada. Padahal ini penting untuk mengetahui bahwa sebuah karya sastra juga mampu memberikan sumbangsih yang cerdas dalam pemikiran. Misalnya kalau kita mau makan mangga, maka seharusnya kita mengupas kulitnya, sama hal dengan puisi ketika ingin menemukan maknanya kita butuh pisau analisis untuk menemukan makna dari sebuah sastra. Dan ini jarang di gunakan oleh pembedah karya bahkan bisa di kata tidak ada.  
Kalau boleh melirik sejarah filsafat Yunani, salah satu faktor filsafat Yunani lahir salah satunya adalah karya sastra Yunani dapat dianggap sebagai pendorong kelahiran filsafat Yunani, misalnya karya Homerus yang mempunyai kedudukan yang sangat penting untuk pedoman hidup orang-orang Yunani yang di dalamnya mengandung nilai-nilai edukatif. Penyair yang lainnya misalnya Xenophanes (570-?), Parmendes dan Zeno (540-475 SM) yang datang ke Athena untuk berdialog dengan Socrates ketika masih muda, dan karya-karya Socrates masih berbentuk puisi dan filsuf eksistensialisme Jean-Paul Sartre yang besar dengan karya-karya novel, drama dan cerpennya yang masih banyak orang menikmati sampai sekarang.  
Pertanyaan yang kemudian lahir adalah mampukah sastra Indonesia memiliki andil yang cukup besar dalam mendidik dirinya sendiri, orang lain dan memberikan perubahan yang signifikan? Kemungkinan mampu sangat kecil, ketika melihat perkembangan sastra yang masih jauh dari nilai-nilai esensi-substansialnya. Apalagi ada bahasa bahwa “ini puisi”, seakan bahasa ini adalah tempat pelarian penyair ketika tidak mampu menjawab dari metodologinya. Akhirnya yang terjadi adalah pemisahan antara kritikus sastra dan penulis sastra. Padahal kalau melihat sejarah, kritikus sastra dan penulis sastra lebur (kritikus sekaligus penulis sastra). Tidak ada pemisahan. Dengan adanya pemisahan inilah yang kemudian banyak bermunculan karya sastra yang “kurang berkualitas”. Sehingga banyak bermunculan sastra yang lebih mengedepankan pasar daripada proses kreativitas sekaligus proses kualitas, maka tidak heran kalau membacanya pun sekali baca sudah bosan. Coba kita membaca sastra dari Goenawan Mohamad, Taufiq Ismael, Emha Ainun Najdib, Rendra, Pram, Joko Pinorbo, Chairil Anwat, Tagore, Pablo Neruda, dan sastrawan sekelas mereka, di baca sekarang pun masih sejuk dan penuh dengan inspirasi-inspirasi baru dan semangat baru.
Lagi-lagi pemuda menjadi pemangku perubahan, akan tetapi ketika pemuda seperti itu, berjarak dengan sumber pengetahuan, egois, dan jarang memahami makna-makna yang dilakukan, maka kemungkinan, perubahan hanya berada di angan-angan dan khayalan-khayalan nihil. Lalu, pemuda seperti apa yang mampu menjawab tantangan zaman ini? apakah pemuda yang sudah di didik sebagai tukang (SMK), atau pemuda yang mampu membaca realitas secara umum, atau pemuda yang turun ke jalan melakukan demo?
Sebuah tanya ini butuh perenungan panjang untuk menemukan jawaban. Karena kalau tidak ada perenungan yang kritis kita akan terjebak dengan gebyar fisik yang selalu di dewakan. Maka, benar apa yang dikatan Goenawan Mohamad bahwa kekuatan sebuah firman tidak datang dari kaya yang terhunus bagaimana lembing. Ya, puisi adalah guru tentang kata-kata yang tidak menusuk, tidak berteriak.


*Penyair dan mahasiswa filsafat pasca-sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.    


Sumber: Minggu Pagi, NO 39 TH 65 Minggu V Desember 2012
   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura