“Keredupan” Eksistensi Budaya
Di muat di Koran Merapi,
tanggal 25 Nopember 2012
Oleh: Matroni
el-Moezany*
Berbagai cara
dan bentuk yang beragam dalam memaknai budaya dilakukan, membuat kebudayaan kita semakin jelas bahwa itu
merupakan hakikat budaya itu
sendiri. Keberagaman adalah hakikat kehidupan. Begitu pun dengan
manusia dalam bertindak, berteman, beragama, berpolitik, berpuisi dan bahkan berseni. Anehnya, budaya
kita saat ini menjadi larut oleh “pragmatisme
keseharian” yang teralienasi
dari esensi kebermaknaan budaya itu sendiri. Persoalannya adalah kebudayaan yang awalnya berjalan menuju esensi, di pecah dan dibingungkan oleh paham
pragmatisme dengan meretas dan membedah tanda-tanda
yang memaknai kehidupan, fenomena, dan aktivitas budaya manusia.
Letak persoalannya adalah
kelarutan budaya itu sendiri yang kemudian masyarakat lupa akan ke-diri-an budaya, padahal dengan memakai baju
budaya sendiri, kita sudah kaya di mata dunia dan di mata Tuhan. Gejala
kebudayaan inilah yang penting untuk dipahami sebagai bentuk kepedulian kita
terhadap kebudayaan sendiri. Artinya kita harus kritis-menyadari bahwa
kebudayaan adalah aurat bangsa. Kita pasti malu ketika aurat sebuah bangsa
ditelanjangi oleh orang lain. Upaya kritis itulah yang memberikan esensi budaya dalam kehidupan
manusia. Selama ini budaya hanya dijadikan bahan mentah yang tidak ada
apa-apanya dan kita harus mampu untuk memulai memotret hal itu.
Pemikiran tentang makna kebudayaan
dari kehidupan, terutama “keredupan
eksistensi” budaya kita saat
ini, tidak kurang dari budaya Amerika Serikat yang menjadi kiblat kebudayaan
Indonesia. Kebudayaan tidak bisa hanya dipahami parsial atau satu pemikiran, karena
kebudayaan adalah proses percakapan yang tidak mungkin didominasi satu negara
saja. Proses percakapan memberikan ontologi kepada kita untuk berpikir lebih
jauh lagi dalam memahami satu komplekstitas kebudayaan untuk memberikan
refleksi budaya atas segala hal yang terjadi dalam kebudayaan.
Kacamata proses percakapan
budaya banyak para ahli dalam bidang kebudayaan dan budayawan yang diharapkan
oleh masyarakat mampu menemukan nilai-nilai dalam kemanusiaan yang mendasari
budaya lokal dan mentransformasikan nilai-nilai tersebut agar menjadi salah kekuatan
besar bagi budaya modern yang semakin hari semakin semu dan tidak jelas. Jadi
penting untuk melihat terebih dulu bagaimana budaya asing dapat mempengaruhi
kita, yang lewat TV, dan
Film. Karena media ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan masyarakat.
Apalagi program TV sudah dapat mencapai hampir seluruh pelosok tanah air.
Untuk itu kita membutuhkan
transformasi nilai-nilai budaya yang harus didorong dan dimulai dari pemimpin bangsa.
Krisis multikulturalisme dan
identitas yang terjadi mencerminkan lemahnya kendali negara dalam
pelaksanaan kebijakan. Tidak adanya pembelajaran yang diambil, lemahnya penerapan
knowledge cultural, dan kurang kuatnya leadership dalam kebudayaan
negara. Kelemahan itu harus diisi dengan perencanaan strategis yang didukung
dengan konsep dan pemikiran kritis yang dilandasi tata nilai budaya. Itulah
yang akan membuat bangsa kita mampu beradaptasi dalam menghadapi berbagai
perubahan yang semakin hari semakin kompleks, agar lebih variatif.
Menurut Rhenald Kasali
(2009) krisis yang datang terus-menerus, terakhir krisis 2008-2009, menunjukkan
bahwa tidak siapnya manusia Indonesia di semua lini dalam menghadapi perubahan.
Manusia Indonesia lebih nyaman dengan perubahan yang melanda dirinya dan
bangsa, sehingga tidak sadar bahwa yang melanda itu adalah perubahan ke dalam
kelarutan mereka terhadap keterasingan makna-makna. Kita boleh bersikap apa pun
saja, asal memberi makna pada diri sendiri dan orang lain, yang bermasalah adalah ketiadaan makna dalam
keseharian kita.
Perubahan harus dipandang proses
percakapan kritis, bukan kita larut di dalamnya. Krisis justru terjadi pada
saat kita tidak mau atau enggan beradaptasi. Pada akhirnya, krisis menjadi
jembatan lembut manusia untuk berubah dari kelarutan budaya. Saat ini kebudayaan
global, termasuk Indonesia, dipenuhi orang-orang yang hanya mengandalkan
kemampuan teknis, tanpa dibekali keyakinan dan nilai-nilai baik. Akibatnya,
kebudayaan dikendalikan oleh ketidaksadaran akan makna-makna, di mana pelaku budaya
kerap mengambil jalan pintas untuk melaksanakan kebudayaan asing.
Proses kebudayaan di tanah
air terjadi dalam kurun waktu yang sama dengan krisis budaya. Kita harus
mendapatkan kembali nilai-nilai budaya kita yang merupakan kekuatan budaya kita
untuk mengurangi atau menghilangkan ketidakpercayaan atau kecurigaan di antara
berbagai kelompok yang saat ini terjadi di dalam masyarakat.
Kita harus berusaha
mencari dan meningkatkan kaitan antara budaya tradisional dengan budaya asing.
Kita perlu menemukan nilai-nilai dan norma-norma kebersamaan antara kedua
budaya tradisional tersebut untuk mendapatkan masyarakat yang kuat. Pertanyaan berikutnya ialah bagaimana kemudian
membawa kedua budaya lokal itu ke dalam masyarakat global untuk menjadi
kesejahteraan bangsa dan rakyat kita?.
Itulah tantangan kita ke
depan, bagaimana memperkenalkan budaya kita sendiri untuk dipakai di bangsa
kita sendiri. Agar masyarakat kita tidak selalu meniru budaya asing, yang
mungkin tidak selamanya memiliki makna apa-apa. Karena kekayaan budaya kita lebih
kaya daripada negara-negara
manapun, karena dengan keberagaman tradisi dan yang ada di Indonesia sudah
cukup untuk dijadikan ladang kekayaan Indonesia ke depan.
Ke depan yang menjadi
tugas kita adalah pemimpin itu menjalankan fungsinya bersama dengan wakil-wakil
dari berbagai daerah. Keputusan-keputusan yang diambil masih harus disetujui
oleh masyarakat dan wakil rakyat.
*Penyair, mahasiswa filsafat di pasca-sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dan pengelolah Komunitas Rudal di Pengok.
Komentar