Pengembara “Nafsu” dalam Puisi



“Pengembara Tubuh, karya Jufri Zaituna”
Oleh: Matroni el-Moezany*

          Puisi ini berhasil membawa pembaca masuk di dunia tubuh, walau pun di sini masih penuh dengan tanda tanya besar. Karena saya sendiri, akan sangat sulit membawa pemahaman saya untuk memakanai apa maksud dari perjalanan tubuh itu sendiri. Tapi saya tetap ingin masuk dengan instrument yang sederhana, seperti diksi tubuh yang juga sangat sederhana.
            Karena setiap hal selalu memiliki tubuh. Walau pun dengan tubuh yang berbeda. Batu, pohon misalnya juga memiliki tubuh yang berbeda. Tapi dalam puisi ini saya ingin masuk dengan “tubuh imajiner” seperti yang di imajinasikan oleh jufri.            saya ingin melihat puisi ini dengan dua perjalanan, pertama perjalanan simbolik dan perjalanan imajiner. Perjalan simbolik merupakan perjalanan simbol-simbol atau diksi yang ditulis penyair dalam hal ini oleh Jufri Zaituna. Bagaimana seorang “aku” dengan berani menulis tubuh sebagai simbol pengembaraan “nafsu”. Walau pun tidak menutup kemungkinan bahwa tubuh ini bukanlah tubuh wanita atau tubuh apa pun. Tapi ketika melihat lima paragraf puisi ini memang seolah-olah mengajak pembaca untuk meraba tubuh seperti apa yang kita pahami secara umum yaitu tubuh. Seperti diksi kening, dada, bibir, pusar, dan kelamin. 
Tapi kalau kita ingin menyebut tubuh itu adalah ke-aku’an yang memiliki kekuataan yang luar biasa, maka maknanya akan berbeda dengan apa yang kita maknai selama ini. Lagi-lagi ini memang dunia puisi yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan panjang, yang butuh perenungan panjang, maka saya sebagai pembedah hanya mampu meraba dengan sangat sederhana makna yang ada di balik teks itu sendiri.
Dan agar saya lebih mudah masuk dalam puisi ini, maka saya mengibaratkan tubuh di sini adalah “wanita tubuh”. Wanita tubuh di sini adalah bagaimana si aku menciptakan “tubuh yang lain” dalam dunia imajinasi. Dan inilah yang saya sebut dengan perjalanan imajiner. Yaitu bagaimana si aku mengembarakan imajinasinya untuk menemukan diksi-diksi baru dalam puisi dalam hal ini yaitu tubuh.
Jufri begitu nama panggilan akrabnya, di sini begitu detil mengungkapkan pengembaraan imajinasinya dalam tubuh, sehingga jufri mampu menyentuhnya dengan puas, walau hanya dengan kata-kata. Kenapa hanya dalam kata-kata, karena saya yakin jufri tidak melakukan sendiri  seperti kata Sewaktu kaugigit lidahku/Kugigit lidahmu, (baca: seks) kenapa? Pertama kalau saya melihat kepribadian penyair yang selalu sendiri dalam dunia nyata, tapi ternyata di dunia imajinernya jufri lebih liar daripada kenyataannya. Memang, ada kalanya imajinasi selalu kalau tidak berkata sering tak sama dengan realitas.
Terus terang saja, kalau ini dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan logis akan sangat fatal, kita lihat; Di kelaminmu/aku kelelawar/Yang menggantung/Berayun-ayun/Antara malam dan siang. Secara logika di kelamin aku kelelawar yang menggantung, antara malam dan siang, padahal kelelawar siang tak ada, di kelamin ada kelelawar, dimana proporsi logika ketika ingin dipertanggungjawabkan secara logika. Itu salah satu contoh bagaimana ketika di minta pertanggungjawaban secara logika ternyata dalam puisi ini Jufri gagal.
Tapi ketika di lihat dari kacamata imajinasi, puisi ini benar-benar “dahsyat”, imajinasi ini berjalan sebagaimana air yang terus megalir, indah dan menggairahkan. Tapi satu hal yang menarik dari puisi ini keberanian penyair dalam membuat diksi, sehingga puisi ini berbica di luar diri si penyair. Artinya puisi sudah menciptakan dunianya sendiri.  

*Penyair.

+ Coretan dalam membedah puisi Jufri Zaituna pada tanggal 27 di Kumonitas Rudal Jogja

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura