WANITAKU



Kedekatan kita sia-sia. Remuk jiwa menjelma kuda mengembara, memburu. Lalu kau hilang di balik ketakmengertian, aku mengembara ke relung nyeri. Aku berjalan pelan. Pelan sekali, takut duri menusuk kaki. Sepanjang hari, seakan selama abad aku remuk dan api membakar tubuhku.

Wanitaku.
Sepiring kata yang dulu pernah kita susun belum selesai, tiba-tiba kau menghilang. Aku pergi. Aku menjelma kabut, menjelma embun, menjelma matahari, dan terus mengembara menemui sunyi demi sunyi, kabut demi kabut, waktu demi waktu. Lalu kita bertemu di lain waktu. Di sana kita bangun rumah indah penuh warna.  

Wanitaku.
Sampai kapan kau menjadi kegelapan. Percaya Tuhan, tapi tak punya cinta. Tuhan kau jadikan alasan. Itulah kau membunuh Tuhan. Meremukan rembulan. Membunuh bintang. Membunuh dirimu sendiri. Lidah sudah menjadi daging waktu. Kata-kata menjadi bawang hatimu. Lalu, mengapa semua sia-sia. Haruskah aku membunuh pengembaraan ini. Bila semuanya tak bisa kembali?  
Aku pupuk remuk jiwa ini. Untuk hidup lebih berharga. Walau kau membunuh jiwaku. Justeru jiwaku semakin terbakar untuk masa depan semesta. Masa depan yang lebih damai. Tentunya bersama ibu, dan orang-orang suci yang hidup di hatiku.
Aku menjelma damai. Kanan-kiriku banyak pohon menyejukkan.
Wanitaku.
Kau akan gersang. Selama kau tak jujur akan cintamu. Kau gelapkan cintamu. Kau pelesetkan bening matamu. Padahal sungai bening mulai mengalir ketubuhmu.

2011

Sumber: Metro Riau, Minggu 9 Maret 2014, halaman, 11

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura