Di Muat di Suara Merdeka, Minggu, 5 Agustus 2012


Di Muat di Suara Merdeka, Minggu, 5 Agustus 2012

Kedamaian, Engkaulah yang Ia Cari

Kata-kata mengapung,
angin lenyap di pangkuan malam.
Gabalau daun ketakutan melihat hujan di tengah kematian.

Jalanan luka, teraba masa dan kegersangan
Meraba waktu, ketiak-ketiak waktu
Berlumut panjang tepi pun hilang
Fragmen melankolis tak mampu terbendung
Lagu-lagu asing berdesing ramai
Kudiamkan ruang, helai-helai sajak,
foto-foto dinding terlukis senja

Kulihat perempuan naik becak,
pakai baju, lalu turun dan masuk ke kamar.
Kukira dia hujan di mataku

Desember, 2011

Jarak

Di embun pagi, terbentang ladang hijau bisu
Terdengar aroma pagi di ufuk kegelapan
Harummu bersama nyeri

Di surau tanpa cinta,
seperti rancak kering menunggu mati
Sepanjang hari, setengah waktu antara nyeri dan kenanangan, berlabu
Merobek lembah duka, lembah seharusnya rumput lahir,
menata tubuh yang rapuh

Duku berpeluk nyeri, mengasingkan sunyi
Melafalkan airmata yang tak berbunyi

Embun seperti jiwa berpelukan dari jauh,
sambil menata menciptakan sebuah musim

Surau-surau menghijau, melihat bentangan luka,
Ia rebah di atas tumpukan airmata,
Membaca sebuah rasa yang habis dimakan jarak

Jarak bertaburan airmata
Meleleh memenuhi ladang sukmaku

Duka berjalan mengukuti angin,
memenuhi aliran sungai, hingga sampai ke samudera
Jarak memeluk duka, gigil musim merasuk ke pori-pori,
Mata tumpah lalu beku di dada, membatu

Di danau ia berdiri, tidur bersama kebekuannya sendiri
Angin datang membawa api, pecahlah beku-beku.
Ada yang jadi batu,
ada yang jadi perahu dan pula yang jadi salju

Dingin, hangat lalu pergi bersama waktu
Waktulah yang berbuah jarak
Membuat segala nyeri menjadi duri
Jiwa berlobang. Bocor.
Tumpalah darah dan airmata

Ladang-ladang becek, surau-surau basah
Jarak pun ada di balik segala waktu

Dimanakah cinta bercocok tanam kembali?
Ia ingin sekali memetik untuk pagar hati
Berjajar kehijauan dan rumah sejuk dan damai

Kudapatkan kembali biji surga yang jatuh dari matamu
Bibirmu yang mungil memancarkan cahaya
Menerangi tubuh musim

Nyeri menampar pipi,
luka akan basah dan tanah dukaku kembali membujuk waktu
Untuk bersama dalam hati

2011


Luka Seorang Penyair

Bunga-bunga  bermekaran, menyeruak aroma
Menempel di dada, lalu kembali ke bumi

Inilah luka yang sebenarnya
Luka yang sempurna, di antara luka-luka

2011


*Penyair, lahir di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep, Madura. Alumni Al-in’Am. Alumni MA Al-Karimiyyah dan Fakultas Ushuluddin UIN Suka Jogja. Aktif menulis di media massa baik lokal maupun nasional. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010) “Madzhab Kutub” (2010), Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim, Suluk Mataram, 50 Penyair Membaca Jogja (2011). Menyirat Cinta Haqiqi (Malaysia 2012),   
hp; 085233199668

No, rek, 0112529222, BNI, Cab, UGM, Jogja, a/n Matroni

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura