di Muat di Suara Merdeka, 12 Agustus 2012


Puisi, Wahyu yang di Firmankan
Oleh: Matroni el-Moezany*

Ada banyak definisi sebenarnya apa yang dimaksud dengan puisi, tapi dalam hal ini penulis ingin menuliskan kegelisahan tentang tanggungjawab penyair (penyair yang sebenarnya) dalam karyanya. Bagaimana pun penyair adalah orang yang bertanggungjawab terhadap puisinya. Kenapa? karya dalam hal ini puisi merupakan wahyu yang difirmankan lewat penyair, maka jangan sampai kita menulis puisi tapi diri kita tak sadar bahkan tak mengerti apa yang kita tuliskan dalam puisi. Sungguh ironi. Menurut penulis puisi adalah sebuah ketukan-ketukan rahasia yang datang tiba-tiba dalam jiwa. Dia datang dari realitas lalu berlabuh di kedalaman jiwa dan di dalam jiwa dia di olah lalu dilahirkan dalam bentuk simbol dalam imajinasi dan dikeluarkan dalam bentuk kata-kata. Inilah yang disebut pengalaman eksistesial kalau dalam filsafat. Pengalaman eksistensial menurut Mulyadi Kartanegara adalah pengalaman yang dimiliki oleh aspek batin jiwa manusia, emosional, mental dan spiritual (2005).   
Apa yang dimaksud dengan; puisi, wahyu yang difirmankan adalah sesuatu yang lahir lewat rahim imajinasi dan intuisi atau dengan bahasa lain lewat ketuka-ketukan imajinasi dan intuisi. Mengapa penulis berkata demikian, karena kalau kita mengatakan akal yang melahirkan puisi tidak mungkin, karena akal terbatas, benar apa yang dikatakan oleh filsuf Prancis Henri Bergson seperti yang dikutip oleh Mulyadi Kartanegara dalam bukunya “menembus batas waktu, panorama filsafat islam, 2005” bahwa ketidakmungkinan akal untuk menangkap objek penelitiannya secara langsung karena kecendrungan akal untuk selalu memilah-milah atau meruang-meruangkan segala sesuatu, termasuk ruang dan waktu, akal telah memasang jurang yang lebar antara subjek dan objek, sebuah jurang yang tidak mungkin dapat dijembatani dengan pendekatan intelektual.
Jadi jelas penyair untuk menghasilkan puisi harus benar-benar berjuang berdarah-darah untuk mengeluarkan bahasa imajinasi dan bahasa intuisi agar keluar menjadi puisi dan dimengerti oleh banyak orang. Nah, untuk membahasakan yang benar dan enak di baca inilah yang kemudian bahasa tidak mampu menolong penyair, kecuali dengan simbol-simbol sederhana yang juga membutuhkan kecerdasan dan kreativitas agar paham apa makna dari simbol dalam puisi. Mengapa? Karena bahasa merupakan produk akal kata Mulyadi, dan bahasa akan menjadi kendala untuk menembus jantung realitas. Itu disebabkan bahasa baik yang berbentuk suara atau tulisan, tidak lain adalah simbol dari objek yang sedang di lihat oleh penyair, maka penyair akan berhenti pada simbol dan tidak pernah menembus realitas yang sebenanrya.
Maka tugas penyair adalah bagaimana berjuang dengan kata-kata dan mengeluarkankannya dengan indah agar wajah dan bentuk tubuhnya tak memiliki cacat apa-apa. Sebenarnya apa yang dituliskan penyair belum semuanya terwakili oleh bahasa. Kata-kata tidak akan mampu mengungkap pengalaman-pengalaman eksistensial yang mendalam, seperti keharuan, kebahagiaan yang meluap-luap, atau kerisauan dan penderitaan jiwa penyair. Apalagi pengalaman religius ketika seorang penyair berhadapan dengan sang Causa Prima. Maka tidak heran orang-orang sufi mengekspresikan pengalaman mistiknya lewat puisi. Hal ini karena bahasa puisi itu bersayap kata Mulyadi dan mampu mengungkap makna yang berlapis-lapis, sesuai dengan kamampuan si pembaca. Tapi bagaimana pun bahasa puitis tetap saja merupakan ungkapan simbolis dari realitas yang dialami penyair.
Secara tidak langsung penyair adalah “nabi” yang memiliki tugas untuk menyampaikan pesan tuhan kepada masyarakat lewat puisi-puisinya. Jadi menjadi penyair merupakan posisi yang sangat tinggi derajatnya daripada presiden dan rektor, karena menjadi penyair tidak mudah, menjadi penyair harus berhadapan dengan ujian-ujian langsung dari Yang Maha Kuasa dan ujian batin, sementara untuk menjadi presiden dan rektor hanya dengan bermodal uang pasti jadi artinya bisa di beli. Seperti yang terjadi di zaman sekarang yang semuanya serba materi. Bahkan kampus-kampus dijadikan tempat untuk berbisnis. Akhirnya kampus bukan lagi tempat untuk mencari ilmu, mencari hakikat ilmu dan substansi ilmu, akan tetapi hanya untuk membayar orang-orang yang sedang terkenak penyakit akut materialistik-pragmatik.
Menjadi penyair harus bangga, karena dunia penyair tak bisa di beli dengan apa pun. Jadi tidak mudah seseorang menjadi penyair. Walau pun dunia penyair dunia penuh kesejukan, kedamaian dan keindahan. Nah, penyair sebagai sosok yang sangat istimewa seperti Yogyakarta tetap istimewa, maka sudah sewajarnya dan seharusnya menjaga nilai-nilai kepenyairan agar nilai etika penyair tak luntur oleh kepingan-kepingan modernitas yang kini mulai gersang dan usang.
Dari sini, penyair bisa mengerti betapa sulitnya untuk mencapai puncak tingkat kemanusiaan sebagai manusia penyair, yaitu manusia atau penyair yang telah mampu merealisasikan semua gambaran imajinasi yang dikaruniakan Tuhan kepada penyair. Inilah yang seharusnya senantiasa penyair cari dan penulis percaya panyair-penyair besar sudah menemukannya dan bukan manusia-manusia yang lemah, tidak berdaya dan manusia yang males-malesan dalam berpikir dan bertindak. Maka beranilah untuk memulai.


*Penyair dan mahasiswa filsafat pasca UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Hp; 085233199668


     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura