TBY dan Spirit Kesenian Yogyakarta


Oleh: Matroni el-Moezany*

Nopember 2010 menjadi ladang subur bagi kesenian Yogyakarta, bentuk kesuburan adalah akan digelar Seni Pertunjukan Sepanjang Tahun yang dimulai 6 November hingga akhir 2010. Inilah salah satu cara Yogyakarta untuk menjaga dan melestarikan kesenian yang ada. Ada 36 kelompok seni Jogja yang akan mengisi pertunjukan di TBY (Harjo/4/11/2010), seperti Angguk, Thitung, Campursari, Tari Klasik, Kethoprak dan masih banyak yang lain.
Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sebagai tempat digelarnya kesenian Yogyakarta, sekaligus menjadi ikon dari perkembangan kesenian yang ada. TBY sebagai tempat berkumpulnya seniman, penyair, budayawan, dan pertunjukan seni, merupakan kekhasan Jogja sebagai daerah Istimewa.
Berbicara Kesenian Jogja dan dinamika yang digeluti dari pergelaran seni senyatanya akan sampai pada bagaimana kita mampu membaca, meresapi, memahami, dari seni itu sendiri. Bukankah seni merupakan realitas yang lain dari masyarakat. Sampai disini, seni pun akan berusaha bersua dengan masyarakat, khususnya Yogyakarta, pribadi yang sampai detik ini mampu membawa kesenian Jogja semakin subur dan berkembang.
Menurut saya, esensi dari seni adalah penyapaan kepada orang lain, di samping juga kepada Tuhan. Artinya, seni yang berhubungan langsung dengan realitas dengan bagaimana usaha sang seniman pemahat untuk berhubungan dengan orang lain, meskipun itu tergantung pada bagaimana pengetahuan dan imajinasi serta peran seniman dalam kehidupan nyata, baik secara rasional maupun spiritual.  
Eksistensi sebuah seni tidak terlepas dari peran pemerintah untuk selalu mendukung dan mengeluarkan dana. Mengapa? Agar seni lahir, tidak hanya untuk seni. Bagaimana orang lain juga menikmati. Dengan adanya pergelaran seni secara tidak langsung orang lain juga ikut merasakan bahwa seni seperti ini dan itu. Jadi penting untuk dipublikkan seperti TBY yang menampilkan 36 kelompok seni Jogja.
Seni yang akan di gelar tentunya orang lain sebagai tujuan utama. Nilai yang terkandung di dalamnya benar-benar nilai kemanusiaan dan alam. Hal ini seolah-olah yang membedakan seniman pemula menjadi orang lain sebagai bidikan lebih pada usaha menumpahkan kerinduan pada perubahan sebuah masyarakat. Seni pun lahir sebagai usaha memberikan kearifan kepada orang lain. Hal inilah seharusnya seni memberikan pencerahan. Pencerahan karya seni yang baik tentunya mampu membuat orang lain ketika melihatnya tercerahkan dengan sendirinya. Pencerahan itu merupakan nilai, pengetahuan, dan kearifan. Di sinilah tapak-tapak pencerahan ber-ada. Karena itu, seni yang indah bukanlah sekedar formalitas pertunjukan, tetapi sesuatu yang bersifat pengetahuan dan kearifan.
Memperbincangkan menyapa orang lain,  tentu kita tidak boleh terlepas dari realitas. Pasalnya seni memang menjadikan pertunjukan (atau apa pun namanya) sebagai area utamanya. Dan ketika membahas seni pertunjukan tokoh-tokoh seni senantiasa menemukan titik konfirmasinya. Begitu pun dengan menampilan kelompok seni Jogja harus memberikan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Agar Seni yang ada tidak larut pada gerbong hiper-modernitas, yang semua akan sia-sia, hampa rasa, yang ada hanya tontonan dan keterpesonaan. Inilah yang membahayakan seni, buat apa pertunjukan seni kalau hanya untuk mengisi waktu senggang, tanpa ada ruang ferleksivitas kritis dari seni itu sendiri.
Ketika seni hanya untuk mengisi waktu senggang, jangan harap seni mampu memberikan pencerahan. Dalam seni kita membutuhkan refleksi kritis, dan ruang untuk bersilaturrahmi ilmiah. Dengan ruang ini seni akan menemukan titik lemah yang akan diperbaiki selanjutnya. Artinya bagaimana seni itu mampu melahirkan semangat baru dan nilai-nilai atau kearifan yang terkandung dalam seni itu sendiri.
TBY merupakan sebuah usaha untuk menyapa kita. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Taman Budaya? Yaitu sebuah usaha menjumpai orang-orang yang memiliki kreativitas. Maksudnya seni menjadi semangat memberikan Taman dengan orang lain sebagai tujuan, sebagai cita-cita utama. Ini menurut saya yang merupakan semangat sejati adanya pertunjukan seni Jogja. Jika memang menjadikan seni ruang gerak seniman, maka semangat perjuangan dengan orang lain seharusnya menjadi spiritinya.
Orang lain adalah diri kita. Kita ada karena orang lain. Begitu pun dengan seni. Seni adalah kita, kita adalah seni. Ini mengingatkan saya pada pertanyaan Rumi “Apakah debu beterbangan tanpa angin”, “Apakah sebuah kapal mengambang tanpa samudera” Keduanya menjadi satu perjuangan dalam memberikan kearifan dan nilai estetik. Dalam hal ini kita membutuhkan keberanian untuk tetap berjuang. Seniman harus berani dengan diri sendiri dan berani demi orang lain. Kita boleh menyontoh tokoh pemberani seperti murid Husserl dan Hiedegger yaitu Jan Patocka filsuf dari Ceko. Dan Elina Michalina yang juga berani memperjuangan dirinya dan orang lain. Lha, bagaimana juga seni memiliki spirit keberanian untuk berdarah-darah dalam melawan ketidakadilan melalui pertunjukan-pertunjukan itu.  
Mungkin itulah salah satu tujuan TBY untuk menampilkan 36 kelompok seni yang ada di Yogyakarta. Dalam angan-angan, Saya melihat Yogyakarta menjadi kota kedua setelah Leiden, dimana Yogyakarta adalah kota Universitas, kota penulis, dan kota penyair yang terkenal. Cuma bedanya belum ada tembok-tembok Jogja yang tertuliskan sajak-sajak yang menghiasi.
Dengan TBY yang merupakan taman kita untuk menampung segala kreativias, khotbah-khotbah puisi dan seni membuat saya semakin percaya bahwa Yogyakarta pada akhirnya menjadi kota puisi, kota seni, kota moral, kota pengetahuan, kota penulis, dan kota budaya yang terkenal di dunia. Artinya dari TBY kita akan memperkenalkan seni, puisi, dan budaya pada dunia. Tapi itu hanya imajinasi liar seorang penyair, entah itu menjadi kenyataan atau tidak itu tergantung bagaimana kita dan orang lain peduli terhadap perkembangan seni. Sungguh cukup jika seni menjadi ruang romantis bagi perkembangan bangsa Indonesia ke depan.  




* Penyair, dan Koordinator IKA Al-In’Am Jogja.


HP; 065233199668    
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani