Seniman Yogya, Makin Jaya Aja

Oleh: Matroni el-Moezany*

Dengan diberangkatkannya seniman ternama dari House of Natural Fiber Yogyakarta, Irene Agrivine, Andreas Siagian, dan Venzha Christ, ke Australia Kamis ini hingga Minggu (30/5/2010) dengan acara pagelaran karya mereka di 2010 Next Wave Festival di Melbourne membuktikan bahwa Yogyakarta masih menjadi kota seni dan sastrawan. Hal ini sangat penting untuk di apresiasi oleh kita untuk menjaga masa depan seni Indonesia. Jadi menjadi moment penting untuk memberikan semangat baru bagi masyarakat seni untuk selalu kreatif dan produktif.
Seni sebagai basis dasar dalam menentukan kemajuan sebuah bangsa, dan juga sebagai bagian dari Next Wave Festival, para seniman Indonesia akan bergabung dengan seniman lainnya dari 10 Prakarsa Seniman Australia dan Asia, organisasi nirlaba ini yang banyak menawarkan kesempatan besar terhadap para seniman di luar sektor galeri komersial dan publik, dalam melakukan pagelaran karya mereka pada Structural Integrity di Arts House Meat Market, Melbourne Utara.
Dalam siaran persnya, Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer, mengatakan, festival tersebut akan memberi kesempatan kepada seniman Yogya untuk memamerkan kreativitas dan keanekaragaman seni Indonesia (Kompas, 13 Mei 2010). Luar biasa apresiatifnya Australia memberikan ruang yang luas bagi seniman Yogyakarta, sehingga menjadi moment terhormat untuk dapat perhatian khususnya budayawan, seniman, sastrawan, dan penyair Yogyakarta, untuk selalu bersama-sama memberikan spirit ke-senimannya dalam mengembangkan seni dan sastra Indonesia ke depan.
Kenyataan yang berlaku di Indonesia ternyata tidak seindah apa yang diharapkan para seniman. Sastra dan seni bukanlah hal penting, apalagi fundamental, dalam ritus kehidupan kita sehari-hari. Dibanding dengan dimensi kehidupan lainnya, misalnya politik, ekonomi, hukum, bahkan hiburan, sastra dan seni masih jauh dari pandangan mata kita bahkan berposisi rendah. Bahkan, mungkin pegiat sastra dan seni sebagian masih dianggap memiliki ”kelainan”. Stigma yang muncul, antara lain, karena sastra tidak mampu memberi garansi pragmatis, ia mencukupi para pegiatnya dari kebutuhan ekonomis atau finansial, sebagaimana yang menjadi tuntutan orangtua pada anaknya. Setidaknya belakangan ini terjadi.  
Bagi kebanyakan ilmuwan dan praktisi pendidikan kita, seni yang merupakan basis sastra dianggap tidak bermanfaat. Beda dengan pengetahuan (epistemologi) yang merupakan basis sains. Maka, pembelajaran dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi hanya diarahkan pada penguasaan pengetahuan (materi). Walau pengetahuan itu milik orang lain kita hanya meniru, dan mereduksi.
Bila kita mengikuti ilmuan masa kini, sia-sialah kita mempelajari pengetahuan yang hanya berisi hafalan dan sistem baku, pemikiran tokoh. Pengajaran seni yang penting adalah pengembangan kreativitas dan produktivitas demi apresiasi dan kreasi.
Melihat apresisnya yang cukup besar, maka tidak salah jika moment ini dijadikan kesempatan yang sangat menarik untuk merayakan hubungan budaya yang erat antara Indonesia dan Australia pada kegiatan terbesar dan paling ambisius dengan kawasan Asia Pasifik di Next Wave Festival selama 25 tahun sejarahnya. Lalu apakah bangsa ini masih akan berpikir pragmatis untuk dirinya sendiri? Tanpa memberikan peluang terhadap para seniman kita, untuk mengembangkan kreativitasnya di negerinya sendiri. Mengapa sejak dulu seni hanya di kenal oleh orang luar? Ini membuktikan bahwa kita masih belum menyadari kesenian kita sendiri, bahkan pemerintah sendiri belum mengenal keseniannya sendiri. Ini ironi yang sangat mengecewakan tentunya.
Apalagi 2010 Next Wave Festival ini didanai oleh Australia. Dimana apresiasi bangsa ini? Padahal ini adalah sebuah kolaborasi seni dan budaya kita untuk diperkenalkan ke luar, untuk membuktikan bangsa ini kaya akan seni dan budaya.
Melihat bangsa ini kurang apresiatif terhadap perkembangan seni, budaya dan sastra, setidaknya ada bangsa lain yang peduli terhadap kita, walau para penguasa kita masih sibuk dengan pragmatisme politik, ekonomi, dan hukum. Saya sebagai penulis seni, sastra dan budaya, mengucapkan selamat kepada mereka, pertahankan tradisi itu dan terus semangat untuk memperjuangkan kesenian kita. Karena seni, sastra, dan budaya adalah dasar dari segala kemajuan bangsa dan kemanusiaan. Itulah sebenarnya salah satu perkembangan makna seni, sastra, dan budaya bagi keberlangsungan masyarakat.
2010 Next Wave Festival adalah jembatan penyampai pesan kepada kita bahwa seni, sastra, dan budaya juga sangat penting dalam menyumbangkan pemikiran dalam masalah sosial, ekonomi, politik, dan hukum. Semoga dengan dilaksanakan Festival ini menjadi penyemangat diri seniman, dan sastrawan kita untuk terus memperjuangkan semangat kesenimannya dan kesusastraan Indonesia ke depan. Semangat untuk selalu memberi pemikiran cemerlang dalam perhelatan seni dan sastra. Agar teks itu tidak lagi menjadi “main-main” di mata penguasa bangsa. Kita buktikan bahwa seni juga memiliki tubuh yang kuat untuk memberi sumbangan pemikiran dalam kemajuan kemanusian.
Seni yang sejak dulu menjadi bahan mentah di negeri ini, maka saat ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan sumbangsih besar bagi perkembangan seni di Indonesia. Kita baru menyadari kalau seni kita di ambil orang, tapi upaya untuk melestarikan masih sangat minim, apalagi sampai memberikan apresiasi lebih, sangat tidak mungkin. Setidaknya seniman sendiri memiliki rasa memiliki walau pemimpin kita tidak. Semoga sukses. Amein.   



*Penyair, dan penikmat seni, tinggal di Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan