sajak-sajak: Matroni el-Moezany
Sketsa Sebuah Perjalanan
Kurangkai semua yang terbaca
Dalam kilasan surau-surau semesta
Kuserahkan kerinduan itu
Pada ikan-ikan di pagi hari
Pagi yang membuat aku paham
Makna persahabatan dan kesetiaan
Rindang malam
Tak serindang kata-kata
Kubertanya pada Liya
“Sudah kau serahkan kesedihanmu pada ikan-ikan”
“belum”
Kesedihan tak membuat
Penguasa lari,
Biarkan mereka menikmati indahnya semesta
Menikmati lumatan-lumatan rasa
Menikmati luka-luka massa
Agar Kesedihan semu
Kau harus biarkan bibirmu mengalir pada orang-orang
Aneh, kesedihan itu menjadi uang-uang bernilai di saku para raksasa
//
Kubakar semua kesemuan itu, tapi
Dengan apa aku harus membakarnya
Api, aku tak punya
Bara, masih belum nyala
Darah, belum mengalir
Aku jadi bingung melihat ke(semu)an itu,
kulihat ternyata kertas bermakna kekuasaan
kulihat kata-kata ternyata kosong
kulihat senyum tenyata menyakitkan
lalu, apa yang harus kulihat di masa depan
ulama, intelektual, budayawan, seniman
mereka mencari pasar? Mereka mau, di bayar
kemana aku harus melangkah dan mendamaikan jiwa ini?
///
Kini semua menjadi pasar
Segalanya bisa diuangkan,
Kata-kata, pikiran, hati, jiwa, rasa karena uang
Tak kusangka ternyata haluan.
Liku yang tak memiliki refleksi
Keberlanjutan jalan itu
Belum membuahkan keranuman
////
Hijau daun di pangkas
Ditudungi berjuta tubuh penguasa
Walau panas hati kami
Ini sketsa di tengah bangsa
Kuletih bersandar ke tiang pancasila
Budaya datang merayap
Di tambah nyanyian maling-maling
Mengantuk karena kegelapan
Bangsa buruk di daerah kami
Atap langit bumi pun gersang
Mengambil uang tak usah permisi
Tidur pulas tak mandi-mandi
/////
Di jalan pulang aku berjumpa
Matahari meniduri bumi
Dimana hatiku takkan pilu
Mandang kerakusanmu
Yogyakarta, 12 Mei 2010
Perempuan Itu Akhirnya Tahu
Setelah berlama-lama bersembunyi
Di balik tirai keangkuhan
dirimu menjadi ada ketika malam
Membayangi cakrawala
Pengok, 11 Mei 2010
Januari Bisu
Banyak yang terlihat jelas
Tapi tidak mau mengakui dirinya terluka
dirimu kau lukai
negerimu kau curi
rumahmu kau kotori
mengapa seperti itu
membasahi bibir indah dengan minyak wangi
membasahi bibir di restoran mahal
dirimu kekenyangan
tapi jangan sampai habis makanan itu
aku akan mengambilnya
menjadikan rempah-rempah istimewa
dan di olah dengan perut lapar
sebelum matahari terbit
sisa itu akan kubagikan pada rakyat
agar bibir mereka mengalir sungai-sungai bening
dan mandi dengan senang
karena tak ada yang lebih istimewa
selain menunggu sisahmu
tak ada lain selain butir-butir
yang harus mereka makan
walau pun itu juga masih ada unsur kotoran
tapi tidak bagiku, uang itu milik kami, katanya
Yogyakarta, 2010
Sumber:
Kurangkai semua yang terbaca
Dalam kilasan surau-surau semesta
Kuserahkan kerinduan itu
Pada ikan-ikan di pagi hari
Pagi yang membuat aku paham
Makna persahabatan dan kesetiaan
Rindang malam
Tak serindang kata-kata
Kubertanya pada Liya
“Sudah kau serahkan kesedihanmu pada ikan-ikan”
“belum”
Kesedihan tak membuat
Penguasa lari,
Biarkan mereka menikmati indahnya semesta
Menikmati lumatan-lumatan rasa
Menikmati luka-luka massa
Agar Kesedihan semu
Kau harus biarkan bibirmu mengalir pada orang-orang
Aneh, kesedihan itu menjadi uang-uang bernilai di saku para raksasa
//
Kubakar semua kesemuan itu, tapi
Dengan apa aku harus membakarnya
Api, aku tak punya
Bara, masih belum nyala
Darah, belum mengalir
Aku jadi bingung melihat ke(semu)an itu,
kulihat ternyata kertas bermakna kekuasaan
kulihat kata-kata ternyata kosong
kulihat senyum tenyata menyakitkan
lalu, apa yang harus kulihat di masa depan
ulama, intelektual, budayawan, seniman
mereka mencari pasar? Mereka mau, di bayar
kemana aku harus melangkah dan mendamaikan jiwa ini?
///
Kini semua menjadi pasar
Segalanya bisa diuangkan,
Kata-kata, pikiran, hati, jiwa, rasa karena uang
Tak kusangka ternyata haluan.
Liku yang tak memiliki refleksi
Keberlanjutan jalan itu
Belum membuahkan keranuman
////
Hijau daun di pangkas
Ditudungi berjuta tubuh penguasa
Walau panas hati kami
Ini sketsa di tengah bangsa
Kuletih bersandar ke tiang pancasila
Budaya datang merayap
Di tambah nyanyian maling-maling
Mengantuk karena kegelapan
Bangsa buruk di daerah kami
Atap langit bumi pun gersang
Mengambil uang tak usah permisi
Tidur pulas tak mandi-mandi
/////
Di jalan pulang aku berjumpa
Matahari meniduri bumi
Dimana hatiku takkan pilu
Mandang kerakusanmu
Yogyakarta, 12 Mei 2010
Perempuan Itu Akhirnya Tahu
Setelah berlama-lama bersembunyi
Di balik tirai keangkuhan
dirimu menjadi ada ketika malam
Membayangi cakrawala
Pengok, 11 Mei 2010
Januari Bisu
Banyak yang terlihat jelas
Tapi tidak mau mengakui dirinya terluka
dirimu kau lukai
negerimu kau curi
rumahmu kau kotori
mengapa seperti itu
membasahi bibir indah dengan minyak wangi
membasahi bibir di restoran mahal
dirimu kekenyangan
tapi jangan sampai habis makanan itu
aku akan mengambilnya
menjadikan rempah-rempah istimewa
dan di olah dengan perut lapar
sebelum matahari terbit
sisa itu akan kubagikan pada rakyat
agar bibir mereka mengalir sungai-sungai bening
dan mandi dengan senang
karena tak ada yang lebih istimewa
selain menunggu sisahmu
tak ada lain selain butir-butir
yang harus mereka makan
walau pun itu juga masih ada unsur kotoran
tapi tidak bagiku, uang itu milik kami, katanya
Yogyakarta, 2010
Sumber:
Sabtu, 14 Juli 2012 | 21:54 WIB
Komentar