Indonesia Merdeka dengan Sastrawan dan Seniman

Oleh: Matroni el-Moezany*

Judul di atas sengaja kami angkat untuk membuktikan kepada Indoneia bahkan dunia bahwa seniman dan sastrawan sangatlah penting, karena sastrawan dan senimanlah yang sadar akan dasar Negara Indonesia (pancasila) baik dari pengaplikasian maupun dari segi isinya. Kalau kita melihat para politik, mereka belum mampu menciptakan Pancasila yang seutuhnya. Mengapa? Saya tidak tahu. Dengan dorongan apa mereka berbuat seperti itu. Kita banyak melihat bukti yang riil bahwa pejabat masih memikirkan dirinya sendiri, misalnya adanya korupsi, ini perbuatan siapa dan salah siapa dan perbuatannya siapa?. Kalau tidak para pejabat yang tuli dan apatis terhadap seniman dan sastrawan Indonesia. Apakah karena adanya seniman-sastrawan bermasalah dengan ekonomi-sosial? Tidak!.    
Melihat permasalahan sosial-ekonomi kehidupan para sastrawan-seniman saat ini, seperti juga halnya dengan keadaan di tanahair atau di manapun bahwa untuk menjadi sastrawan-seniman diperlukan tekad sepenuh hati. Ia bukanlah profesi yang ringan dan bukan pula profesi sambil lalu.Tapi alangkah sunyinya semesta kehidupan tanpa sastrawan dan seniman. Alangkah sunyinya hidup jika tanpa suara musik, drama, tari dan lain-lain bentuk seni. Akankah manusia menjadi benar-benar manusiawi tanpa sastra dan seni? Uang memang raja dewasa ini, dan para sastrawan dan seniman juga bertarung melawan jari-jarinya beracun yang ingin menghancurkan kedaulatan "Pancasila merdeka" saastra dan seni. Ada yang kalah, ada yang menyerah, ada yang terus bertarung. Dan kita....?
Inilah kata yang pantas kita dibicarakan dewasa ini, karena kapitalisme, hedonisme, modernitas dan krisis yang selama ini menjadi masyarakat Indonesia sampai sekarang. Sekalipun para seniman dan sastrawan pada umumnya sering dipandang sebagai jenis manusia yang "berciri sendiri" “berciri khas sendiri”, tapi apa yang aku lihat di sini, mereka sebagai warga negara termasuk kelompok yang paling sadar akan hak dan kewajiban mereka, yang paling bersolidaritas.
Kesadaran demikian merupakan konsekwensi wajar dari penguasaan uang atas hidup sehingga memaksa para sastrawan dan seniman bertarung mempertahankan kedaulatan "pancasila" mereka. Artinya keadaan sosial, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, membentuk kesadaran para sastrawan dan seniman untuk bertarung dan tahu politik tanpa harus terlibat langsung dalam politik praktis. Kesadaran ini juga kemudian tercermin dalam segala macam bentuk karya mulai dari puisi, roman, novel, cerpen, teater, patung bahkan sampai kepada pantomim yang sering kita saksikan di tempat-tempat terbuka yang banyak dikunjungi para wisatawan. Oleh banyaknya pertunjukan-pertunjukan terbuka ini maka aku menyebut Indonesia juga sebagai kota pertunjukan. Sastra dan seni merupakan bagian dari kehidupan Indonesia  dan mengabdi kepada kehidupan.
Organisasi sastrawan dan seniman selain berfungsi membela kepentingan, hak dan wajib sastrawan-seniman, ia juga alat untuk mendorong kreativitas. Agaknya organisasi termasuk keperluan yang dilahirkan oleh keadaan social, ekonomi, dan politik, tanpa menghambat kreativitas para sastrawan dan seniman.
Kita perlu berkaca pada negeri lain. Seperti saat Jack Lang saat menjadi menteri kebudayaan, pada masa pemerintahan Partai Sosialis ketika Teater Nasional Odeon kelihatan lebih ramai dari biasa. Keramaian yang berbeda. Nampak kerumunan orang-orang berada di atas atap teater sambil menurunkan bendera-bendera Eropa dan melemparkan bendera Prancis biru-putih-merah, ke tanah. Polisi anti huru-hara yang berpakaian serba biru gelap dengan pentungan di pinggang nampak siap-siaga di berbagai pojok jalan. Suasana tidak biasa itu tentu saja menarik perhatian siapa saja, orang-orang yang nampak marah. Setelah berbincang-bincang akhirnya yang aku ketahui bahwa orang-orang ini adalah para seniman pentas yang menuntut perhatian pemerintah terutama menteri kebudayaan Jack Lang salah satu menteri sosialis yang paling populer karena kebijakan-kebijakan dan terobosan-terobosannya di bidang kebudayaan dan pendidikan. Salah satu di antaranya adalah menciptakan Pesta Musik Rakyat (FĂȘte de la Musique) guna menggalakkan perkembangan musik pop Prancis dan Pesta ini terus berlangsung tiap tahun sampai sekarang.
Ini suatu bukti bahwa Indonesia belum mampu menciptakan gerakan “pancasila merdeka” yang bisa bergerak dalam menggalakkan perkembangan seni Indonesia khususnya karya sastra, bagaimana kita bisa bersungguh-sungguh dalam menjadi seniman dan sastrawan untuk berperan penting dalam menegakkan sikap apatis orang-orang politikus dan pejabat kita yang enak sendiri tanpa penduli akan seni dan kreativitas masyarakat.
Saya kita melalui unjuk rasa kita dapat menarik perhatian pemerintah, khususnya Menteri Kebudayaan dari tiap pemerintah, baik kiri ataupun kanan, akan kondisi seni dan sastra. Misalnya seniman mendirikan teater yang bisa menduduki Teater Nasional dan ini adalah salah satu cara. Dan hal semacam itu saat ini sangat diperlukan. Tapi reaitas sekarang lain, bukannya makin terpecahkan tetapi justru makin memburuk (précaire).
Seniman dan sastrawan tidak hanya melentingkan ke tanah tak berjejak. Ia berpeluh-peluh mengejar kebenaran sejati. Ia melakukan penyingkapan apa pun. Yang ia kejar semata-mata kosakata baru dari realitas. Muara perbincangan ini adalah filsafat yang membujur kaku. Refleksi atas senimana dan sastrawan adalah akhir hayat kreativitas.  Para seniman dan sastrawan terkaget-kaget saat mendapati bangkai epistemologis yang disisakan puisi, seperti saat Nietzsche menemukan "yang tak berasal" setelah merefleksikan puisi-puisi klasik Yunani. Atau Heidegger yang menghentikan proyek ontologi fundamentalnya setelah membaca puisi-puisi Holderlin. Pembelokan sastra, literary turn, sedang menggayuti jagat pemikiran kontemporer. Nalar yang notabene merupakan peranti rohani utama filsafat dalam membuka segel epistemologis sedang mencapai titik nadirnya. Saya membaca gejala ini sebagai gejala metamorfosis nalar menuju bentuknya yang seni.

*Penyair




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani