Dosa Penyair “Siapa Takut”

Oleh: Matroni el-Moezany*

Aku ingin mengajakmu berumah di langit lekaslah berkemas kita akan berangkat katanyan tuhan telah lelah menunggu tak perlu membawa baju tuhan  juga lebih suka kita tidak membawa agama.

Penggalan sajak di atas merupakan ajakan kepada kita, agar hubungan kita kepada yang tak terbatas atau tak berhingga tidak menjadi formalitas yang menyesatkan, karena selama ini relejiusitas telah dianggap sebagai suatu hal yang terikat dengan institusi keagamaan, ada baiknya selain hafal 99 nama Tuhan (asmaul husna), orang pun membaca 99 catatan pendosa ini. Acep Iwan Saidi dalam bukunya “Notasi Pendosa: Sembilan Puluh Sembilan Sajak” akan membawa kita pada lembah dan larik-larik puisi yang sangat fenomenal.  
Puisi Notasi Pendosa ini merupakan lantunan kata-kata religius sekaligus terharu yang bermain di antara nota dan notasi. Kegelisahan dan gejolak batin disarikan bak pesan ringkas atau menari-nari dalam rancangan irama dan permainan tipologi yang bervariasi, di antara dua bentuk, ungkapan perasaan, sendiran, kritik sosial sampai pergelutan relijius dilantunkannya dengan sederhana.
Dengan kelimat pendek dan bahasa sederhana, puisi Acep Iwan Saidi kerap mencuatkan emosi spiritual bahkan di dalamnya tersimpan filsafat parennial yang akan menghentak jiwa pembaca. Benda dan peristiwa yang remeh yang ditampilkan pun tak jarang menyimpan kejutan. Ia berbicara tentang doa menjelang lebaran, rambut tertutup jilbab, atau tubuh yang kesakitan. Puisi yang tampak bermain-main, namun menyimpan kedalaman yang tak terduga.   
Dalam kata-kata puisi ini, kita akan menemukan inovasi dalam berusaha mengekang hasrat untuk mengembangkan puisi jadi flash fiction agar betul-betul tetap merupakan puisi asli. Dari sana kita bisa yakin atas komentar Prof. Dr. Setiawan Sabana bahwa Acep Iwan Saidi mengemukakan pisau bermata dua bak bualan untuk meyakin-yakinkan publik maupun demi menyenang-nyenangkan para penyair. 
Tahun 2005-2007 merupakan periode perih bagi Indonesia; pada awal 2005 terjadi tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, kemudian menyusul berbagai bencana alam, banjir bandang, kebocoran lumpur panas Lapindo, termasuk gempa di Yogyakarta, yang sempat merusakkan dan meruntuhkan rumah-rumah. Dia pun menulis puisi tentang tsunami dan gempa, juga terpukul oleh kejadian fatal yang menimpa anak-anak karena kalah oleh kemiskinan. Wajar bila beberapa puisi bernuansa sedih, sekaligus religius, cinta, Tuhan dan peka sosial. Yang terbaik melampiaskan perasaannya terhadap keperihan, antara lain Episode Kota Terbakar, dan Notasi Pendosa.
Menilik subyek yang muncul, Saidi justru banyak mengulang atau makin mengulik tema yang dulu dia perkenalkan dalam Kabar Kamar. Maklumat Laut banyak menggunakan citra cinta dan Tuhan, kondisi sosial, dan tentu saja terus mencari sisi baru citra lama yang membuat penyair ini legendaris, kasih sayang, dan benda-benda rumah. Sisanya macam-macam: menafakuri waktu, harapan, absurditas menghadapi kenyataan hidup, mengejek kepura-puraan, dan eksplorasi terhadap puisi dan bahasa itu sendiri. 
Dengan begitu, Kabar Kamar menghasilkan dua jenis puisi: yang langsung bisa dinikmati, bermakna jelas, menyinggung perasaan jenis mata pisau pertama, karena langsung mengarah, menusuk ego manusia yang profan, ragawi, senantiasa kurang puas dan sulit sekali bersyukur. Lainnya kabur, unik, mengedepankan naluri, menarik-narik pembaca ke batas samar antara makna tersirat dan harfiah jenis mata pisau kedua, yang mengarah lebih pada permainan tafsir dan berbagai kemungkinan yang terkandung dalam puisi tersebut.
Kira-kira demikianlah, pengakuan tulus Acep Iwan Saidi kepada puisi, dunia kata-kata yang digelutinya sejak ia masih remaja. Puisi bagi penyair bertubuh kekang yang biasa disapa Iwan ini, adalah hidupnya. Menyatu. Tak terpisahkan. Bagaikan matahari dengan sinarnya.“Puisi adalah bahasa terbatas menuju pada Tak terbatas. Adalah kehidupannku”, “Aku merasa eksis sebagai Acep Iwan Saidi berkat puisi. Aku paling bisa bicara dengan diriku dan dengan dunia di luar diriku melalui puisi.
Bagi Acep Iwan Saidi yang awam, puisi-puisi penyair ini bagaikan oase menyejukkan, tapi sekaligus juga memerihkan hati. Menyejukkan, sebab di sana saya menemukan kejujuran yang relijius, bukan saja kepada Tuhan, tetapi juga kepada diri sendiri. Kata-kata atau puisi-puisi merupakan cermin diri kita yang serakah dan munafik sembari tetap terus merayu-rayu Tuhan dalam setiap doa-doa kita. Misalnya saja pada puisi dan Aku Ingin Kau Bangkit, Aku Ingin Mengajakmu Berumah Di Langit

(Aku Ingin Kau Bangkit, 2006) 

Atas nama subuh  yang sunyi
Aku ingin kau kembali bangkit
Lalu hidup abadi
Dalam dadaku

(Aku Ingin Mengajakmu Berumah Di Langit, 2006)

Aku ingin mengajakkmu berumah di langit
Lekaslah berkemas kita akan berangkat
Katanya tuhan telah lelah menunggu
Tak perlu membawa baju
Tuhan lebih suka
Kita tidak membawa agama

Dengan demikian, sebagai sebuah catatan yang merekam tema-tema kehidupan, puisi Notasi Pendosa ini bisa menjadi cermin tentang hidup yang dapat membuka pintu kearifan kita bersama. Lebih lanjut lagi, semoga upaya untuk mengembangkan tradisi kepenulisan tradisi sastra, khususnya puisi, dapat bersinambungan dan dapat respon yang baik dari masyarakat.  
Ketika di negeri kita ini kedangkalan dan kegersangan relijius beramai-ramai dirayakan sebagai kesalehan, catatan pendosa semacam Acep hadir sebagai ketulusan relijius yang nakal, namun diperlukan. Agar relijiusitas tidak menjadi formalitas yang menyesatkan, ada baiknya selain hafal 99 nama tuhan, orang pun membaca 99 catatan pendosa ini.

*Penulis adalah Penyair tinggal di Yogyakarta.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani