Bunuh Diri “Antara Fiksi dan NonFiksi”


Oleh: Matroni el-Moezany*

Hakikat manusia adalah untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Kurangnya analisis dan kritisnya seseorang dalam menghadapi hidup akan membuat dirinya akan kehilangan kendali “diri” untuk membaca sang “diri” ketika di landa bencana, baik bencana ekonomi, rasa malu, dan tiadanya pengakuan dari teman-temannya sendiri.
Tetapi apapun kaitan yang mengiringinya, bunuh diri adalah selalu bersifat personal, dan itu pun sang pelaku memiliki alasan yang sangat personal berkaitan penuh dengan ke-diri-annya, atau secara personal sang pelaku telah kehilangan subjek yang berfikir. Ia telah melebur dalam keseragaman kelompoknya. Pelaku diri memiliki elemen kekuasaan personal, baik melalui kesadaran ataupun ilusi atas kesadaran  itu sendiri. Bunuh diri pun dapat mengartikan seseorang dengan harga diri yang tinggi ataupun sebaliknya, ketiadaan harga diri, dan dua pilihan ini ditentukan oleh pelaku.
Karena bunuh diri memiliki relasi dengan pemaksaan penghilangan nyawa. Nyawa dipaksa hilang dari diri, ini pun membuat sang Diri sangat tersiksa bahwa keterpaksaan apa pun bentuk dan caranya pasti memiliki daya kesakitan yang luar biasa dahsyat menyayat diri.
Ketika nabi menyebut ibu sebanyak tiga kali dan bapak sekali, maka saya bertanya, ibu seperti apa yang dimaksud oleh beliau? Walau pun ibu adalah utusan langsung dari Tuhan, ketika dikaitkan dengan bunuh yang banyak dilakukan seorang ibu dan anaknya. Lantar bagaimana posisi ibu dalam keluarga? Apakah memang ada kriteria seorang ibu yang di sebut nabi dalam hadisnya?
Kalau pun ada, tentu seorang ibu memiliki kecerdasan yang lebih dari yang lain. Ketika bunuh diri terjadi kepada ibu, maka sang diri tenggelam dalam “kelenaan beku” yang tidak memiliki jalan lain selain menghakhiri hidupnya. Apakah itu bentuk lain dari kecerdasan seorang ibu? Saya belum tahu, karena sejak masa Nabi Muhammad ibu adalah sosok yang istimewa, saya pun mengakui hal itu.
Tapi dalam esai ini, saya tidak ingin membahas sosok sang ibu, akan tetepi lebih pada “eksistensi diri dalam hidup” inilah fokus esai ini saya tulis. Untuk masuk ke ranah eksistensi saya ingin mengajukan pertanyaan yang sebenarnya sudah lama dipertenyakan oleh filsuf eksistensialisme, dalam cara apa hidup manusia dibedakan dari berbagai bentuk kehidupan lain? Manusia sadar tentang perbedaan mendasar antara diri mereka dengan bentuk kehidupan , akan tetapi apanya yang berbeda? Apa maksud dari “ada” dan “diri”? inilah yang mungkin harus kita pahami dengan cerdas agar bunuh diri tidak lagi menjadi tradisi kehidupan manusia.
Kalau kita telaah lebih dalam, ternyata bunuh diri bukan solusi terbaik dalam ajaran agama apa pun di dunia. Walau pun keberadaan manusia pada akhirnya akan menemukan kematian. Akankah kematian harus diakhiri dengan bunuh diri? Ini pertanyaan mendasar yang harus kita cerna dengan cerdas. Eksistensi diri padadasarnya adalah proses terhadap pandangan agar eksistensi manusia harus diperhatikan dengan serius.
Saya masih ragu. Apakah bunuh diri itu memang doktrin agama atau mereka yang bunuh diri kurang paham akan dirinya yang sebenarnya. Dalam agama islam apa yang disebut iman. Iman sebenarnya adalah tolak ukur bagaimana seseorang bertindak dan bersikap. Akan tetapi bagaimana ketika keimanan ini dieksplorasi dalam keseharian kita. Inilah tugas sanga “diri” untuk membaca dan menelaah apa-apa yang terjadi dalam diri kita dan lingkungan kita sendiri.
Dalam ajaran filsafat eksistensi keimanan harus memberi ajaran dan jalan yang baik, maka dalam hal ini kita seharusnya mampu menggunakan kecerdasan pikirnya dalam menghadapi hidup. Kalau boleh saya pendapat yang bunuh diri karena mereka kurang paham arti hidup yang sebenarnya. Kalau ada daerah yang memiliki tradisi “Pulung Gantung” di Gunung Kidul, mungkin masyarakat di sana kurang benar memahami peninggalan nenek moyangnya. Coba bayangkan, mana ada orang mau bunuh dalam keadaan sadar?
Dengan melihat realitas yang terjadi akhir-akhir ini, saya ingin mengakhiri esai ini dengan pendapat filsuf eksistensialisme Kierkegaard yang menyatakan bahwa untuk hidup secara eksistensial adalah mengekspresikan dan secara eksistensi pula menyelami kedalaman-kedalaman dari apa yang disebut orang sebagai pandangan kehidupannya. Untuk berekspresi secara eksistensial apa yang dipahami seseorang dari dirinya sendiri, untuk menyatakan secara jelas dan tegas dalalm eksisntensinya apa hakikat manusia itu sebenarnya.


*Penyair

Hp; 08523319968

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani