Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany

Belum 
Tak sempat kuluahkan kata matahari. Hari ini aku memilih uang untuk masa depan kata dan kesemestaan.
Masa depan tak kupegang angin, masa depan doa-doa, perjalanan berlalu sendiri, dan keberhasilan adalah ujung dari segala.
Aku tak lupa pecahan kecil sejarah berceceran menebang cakrawala.
Haruskah airmata berlinang, ketika harapan kosong dan kerinduan mengintai, senja ini aku cipta surau malam, malam ini, malam yang sebenarnya, dimana jangrik, kelelawar, bukit, sungai dan ikan-ikan menemukan gelap, sementara waktu tak menghiraukan apa pun, luka atau lapar sekalipun, manusia terlelap, tidur, rumput-rumput sendiri menikmati malam, memanggil embun, dan bintang menemukan bulan.
Sedang aku yang duduk masih mencari dimanakah ke-belum-an itu?

Jogja, 2011



Jika Kutulis

Jika kutulis huruf-huruf cakrawala, seperti merpati menikmati pagi, huruf-huruf berjajar membentuk baris, tak bisa kubaca, tak bisa kurangkai, ia hanya sekawanan angin yang membawa kalam tuhan.
Jika kutulis masa lampau kelabu, aku ingin membuka jendela melihat matahari, melihat cahaya membakar tubuhku, menapaki waktu.
Jika kutulis namamu perempuan, tuhan dan malaikat tersenyum melihat jejakmu terkulai indah.
Jika kutulis nanamu penyair, langit dan bintang berjajar menyusun ruang untuk kau diami, angin, alam dan hutan kau rengkuh dengan jari, sekedar menyusun kembali surau-surau Tuhan di bumi.

Jogja, 2011

Tegal

Burung kutilang berteriak membuka pintu pagi, memanggil matahari, memulangkan malam pada sunyi, petani di tarik ke tegal, membajak embun, menghaluskan luka, mengucurkan darah.
Sayap-sayap malaikat menaungi jagung yang kau hadiahkan pada waktu, pada hari yang menentukan buah, sekarung senyum mengalir di bibirmu untuk memetik harapan.
Perut yang kau isi dari alam adalah kesehatan tuhan yang dititipkan pada malam.
Hari demi hari kau gantungkan pada perjalanan, pada angin yang hendak pulang, lusa, ketika panen menjelma ruah, tak lupa syukur kau titipkan pada janji kesederhanaan.
Rumput menjaga tegal, jejak sapi menguras hujan, seperti matahari setia pada kehijauan

Jogja, 2011




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura