Dari Ide Ke Puisi

Oleh: Matroni el-Moezany*

Sampai hari ini hermeneutika tetap menjadi interpretasi yang berorientasi pada teks, dan dalam banyak teks-teks, di samping hal-hal lain, juga puisi, tidak ada sebuah teori interpretasi ketika tidak bersentuhan dengan problem puisi. Dalam hal ini, Paul Ricoer filsuf Prancis memberikan dasar untuk menyeimbangkan antara ide dan tulisan pertama kita harus memperlihatkan bahwa transisi dari berbicara ke menulis memiliki persyaratan kemungkinan dalam teori wacana. Kedua bertujuan untuk menghubungkan eksteriosasi intensional bahwa menulis terlibat dengan problem sentral hermeneutik, yaitu disntansiasi.
Kritik Plato terhadap tulisan atau puisi sebagai suatu bentuk alienasi akan memperlihatkan titik alih dari penelusuran deskriptif menjadi kritis terhadap eksteriosasi wacana terutama terhadap tulisan atau puisi.
Apa yang ada dalam puisi adalah manifestasi sepenuh-penuhnya dari suatu yang berada dalam keadaan virtual, sesuatu yang bermula dan muncul, dalam perbincangan hidup, yaitu melahirkan suatu makna dari peristiwa itu sendiri. Tetapi makna yang terkandung dalam puisi tidak terlepas dari straktur fundamental wacana yang di tulis oleh para penyair. Artinya puisi yang lahir tetap menjadi tanggungjawab untuk berdialektika terhadap peristiwa dan makna. Karena puisi adalah manifestasi sepenuhnya dari diri.  
Untuk melihat bagaimana teks memiliki sesuatu yang terluka Jacqes Derrida memiliki akar yang berbeda dari pembicaraan dan fondasi ini yang telah disalahpahami berkaitan dengan atensi eksessif yang telah kita curahkan pada persoalan berbicara, suara dan logosnya yang berarti memahami secara seksama landasan ke dua model aktualisasi wacana dalam bentuk dialektikal wacana.
Apa yang kita tulis, apa yang kita tuangkan, adalah norma aksi pembicaraan, makna peristiwa pembicaraan, bukanlah peristiwa sebagai peristiwa yang kita resap melalui diri kita sendiri. Setiap gerak atau tindakan akan memberi jalan bagi dialektika peristiwa dan makna. Begitupun dengan puisi juga memiliki gerak atau tindakan yang sudah tertuang di sana.
Berkat kepekaan penyair yang mengekspresikan dalam sebuah eksistensi, dalam eksistensi penyair memperlihatkan keseluruhan bentuk perbuatan berbicara. Tindakan penyair untuk mengekspresikan dirinya dalam puisi sehingga menjadi sama dan untuk itu dapat dituangkan dalam bentuk apa pun khususnya puisi dapat di tulis dan dipertahankan di pentas eksistensi si penyair dan puisinya.
Hingga pada tahapan kepekaan dan rasa berkat paradigma dan proses kreatif kepekaan yang mengekspresikan kekuatannya, tindakan juga mampu dituliskan menjadi sebuah puisi. Seperti yang dikatakan oleh penyair Matroni el-Moezany bahwa ketika anda menemukan ide, tuliskanlah, karena dengan menuliskan anda akan memenukan keberlanjutan ide-ide berikutnya, yang penting adalah kata-kata.
Puisi yang disampaikan dengan kata-kata dan kekuatannya terletak pada roh yang dimiliki setiap kalimat atau paragraf dari puisi, akhirnya ilmu perpuisian harus diperkenalkan bahwa kekuatan puisi tidak dapat di tulis secara jelas. Akhirnya tindakan dari puisi merupakan aspek realitas yang paling dalam dikarenakan alasan-alasan diri dan keterlibatan penyair untuk memberikan karakter bahasa yang diucapkan atau dituliskan.
Dalam keseluruhan peristiwa yang dialami penyair, hanya peristiwa yang menyentuh diri penyair yang cocok dilapisan yang berbeda dari perbuatan berbicara yang membuat kekuatan puisi menjadi mungkin, untuk itu dalam analisis realitas dari peristiwa setara dengan sesuatu yang ada di luar diri penyair dalam perbuatan berbicara dengan segala struktur multidimensionalnya.
Sekarang apakah problem-problem diri sendiri penyair dan puisi menghapus makna yang terkandung dalam puisi-puisi? Dengan kata lain, apakah setiap puisi hanya menjadi akar persoalan suatu medium perubahan, di mana kata-kata, kalimat dan paragraf dari puisi digantikan oleh sebuah peristiwa kosong?
Bila kita renungkan rangkaian perubahan budaya dan politik bangsa ini dapat dihubungkan dengan penemuan puisi. Kita dapat memperkirakan bahwa puisi lebih sekedar fiksasi material (tanda tulisan). Seharusnya kita mengingatkan diri sendiri akan puisi yang sangat dahsyat terhadap kemungkinan mentransfer tatanan peristiwa yang telah terjadi di Indonesia dalam waktu yang lama tanpa distoris serius berkemungkinan dapat dihubungkan dengan munculnya aturan politik yang dihadapi oleh Indonesia.
Jalan yang terbaik untuk memperkirakan sampai sejauh mana substansi, roh, atau makna dari puisi adalah dengan melihat rangkaian perubahan yang terjadi di antara penulis dengan pembaca atau dengan kata lain antara puisi dengan proses komunikasinya.

Makna dan Pembaca
Dalam dunia kepenulisan khususnya puisi yang harus dipertimbangkan adalah makna yang akan disampaikan kepada pembaca. Tentunya makna sendiri merupakan rangkaian peristiwa yang sangat kompleks dan membutuhkan refleksifitas dari penyair dan pembaca, sebab keduanya akan mempengaruhi suatu situasi keberadaan kita sebagai keseluruhan peristiwa.
Hubungan antara makna dan pembaca sama-sama ditransformasikan ketika hubungan itu berhadapan dengan makna yang sangat kompleks yang kemudian menghasilkan makna langsung dari pembaca. Hubungan antara makna dan pembaca juga menjadi suatu peristiwa keberlanjutan.
Bila kita pertimbangkan hubungan makna dan pembaca, kita akan melihat bahwa referensi puisi yang mengacu balik kepada pembacanya melalui indikator subyektifitas dan personalitas yang sangat kompleks. Karena kompleksitas adalah puisi itu sendiri.   


*Penyair


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura