Bayang-Bayang Perubahan

Oleh: Matroni el-Moezany*

Setelah wakil kita terpilih pada Pemilu 2009, banyak harapan yang bertumpu pada DPR. 560 sosok anggota DPR baru itu menjadi harapan yang berlebihan lantaran mereka memiliki kemampuan dibidangnya. Karena sepanjang sejarah para wakil kita di negeri ini, periode itu yang mencatat komposisi potensi individu yang paling menjanjikan, di samping mereka lebih mudah, juga pendidikan mereka lebih tinggi. Mungkin periode itu yang terbaik dibanding pireode sebelumnya. Usia muda dan pendidikan lebih tinggi adalah potensi untuk memberikan perubahan nyata dari sebelumnya.
Setelah kita melihat kinerja dalam jenjang setahun mereka sama sekali tak tampak untuk merubah kinerja DPR, justru yang terjadi adalah ekspresi ketidakpuasan yang menyeruak. Akhirnya harapan kita hanya menjadi bayang-bayang perubahan tak bermakna, pupus harapan untuk memuji anggota DPR yang katanya pendidikannya lebih tinggi. Ternyata nol kecil.
Walau pun banyang-bayang perubahan selalu menyertai kehidupan kita, kali ini bayang-banyang hanya menjadi kegagalan. Benar apa yang dikatakan Sindhunata dalam pengantar buku Bayang-Bayang yang ditulis A.Sudiarja bahwa bayang-bayang, itulah kenyataan yang selalu menyertai hidup manusia. Bisa jadi bayang-bayang itu adalah lamunannya, impiannya, atau cita-citanya. Tapi bisa jadi bayang-bayangnya itu adalah kegagalannya, kesia-siannya, atau kesedihannya. Manusia tak mungkin ada tanpa bayang-bayangnya. Di mana pun ia berada, ke mana pun ia mengembara, bayang-bayang itu tak mungkin lepas dari hidupnya.
Sejauh ini tidak tertutup terjadinya suatu perubahan bayang-bayang itu. Hanya saja para wakil rakyat untuk memotori terjadinya perubahan di negeri ini tidak terlalu menggembirakan. Bisa saja hal ini lantaran orientasi penyikapan DPR saat ini yang cenderung konservatif dalam melihat berbagai permasalahan.
Salah satu bukti dalam menangani hal yang berkaitan dengan moralitas bangsa, politik, dan penyikapan dalam ekonomi. DPR hanya ikut arus yang ada, mereka belum memiliki semangat baru untuk merubah bayang-bayangnya sendiri sebelum menjadi anggota DPR. Betapa mereka bersemangat untuk mengabdi pada rakyat, betapa semangat mereka untuk merubah kinerja DPR sangat membara, dimana semangat itu mereka simpan? Apakah ini dampak dari ketidakkonsistenan DPR dalam menangani problem bangsa atau DPR tidak mampu karena diselimuti asap sistem yang terlalu tebal.
Kita memang selalu merasa telah meraih sesuatu, tapi mereka masih tetap tak merasa puas, karena bayang-bayang itu selalu menghantui untuk meraih sesuatu yang lebih tinggi. Kalau kita membaca buku Bayang-Bayang A.Sudiarja kisah Raja Asoka yang menemukan kesia-siannya ketika ia berada di puncak kekuasaan, kejayaan, dan kemegahannya. Itu terjadi karena mendengar kisah Siddharta yang meninggalkan segala kemewahan istana untuk memperoleh sebagai seorang Budha. Bayang-bayang Budha membuat Raja Asoka menjadi pemimpin yang tidak ingin mengalahkan musuh-musuhnya, tak ingin menjalankan politik kekerasan, tak ingin menjalankan kepentingan pribadi, tapi ia beralih menjalankan politik dhammavijaya, politik yang memenangkan hukum, kebenaran, kasih dan pengertian.
Socrates mengatakan orang bijak bukanlah orang yang kaya dengan pengetahuan dan ajaran, melainkan justru orang yang berani mengakui dirinya tak cukup berpengetahuan. Maka ia tidak membuat pernyataan tentang kebenaran, melainkan mengajukan pertanyaan apakah kebenaran itu. Plato juga pernah mengatakan bahwa kekuasaan itu menipu. Kekuasaan yang paling sempurna adalah kekuasaan yang bisa mengatur ketentraman hidup negara pun bukanlah instansi terakhir yang membahagiakan kita. Seorang filsuf Boethius tahu bahwa kecukupan tak ada kaitannya dengan kekayaan dan kekuasaan. Kekuasaan tak mampu memuaskan ketamakan, sedang kekuasaan tak juga mampu membuat orang mengusai dirinya.
Dengan melihat kisah seorang penguasa adakah para pemimpin kita yang menyadari dan berani bentindak seperti raja Asoka, Plato dan Boethius yang mampu menyetir kekuasaannya, bukan kita di setir oleh kekuasaan. Di sinilah pentingnya penguasa untuk memberikan bukti nyata terhadap rakyat bahwa ketidakadilan harus diperjuangkan demi kepentingan orang banyak.
Bagaimana dengan problem bangsa ini yang tidak kunjung usai? Salah satu kendala, terletak pada penguasa kita, apakah penguasa berani bertindak untuk memperjuangkan keadilan atau tidak. Karena ketentraman sebuah negara itu tergantung pada pemimpin, ketua jika organisasi, raja jika kerajaan. Itulah yang menjadi bayang-bayang perubahan, perubahan yang diharapkan banyak rakyat kini hanya menjadi bayang-bayang tak bermakna. Rakyat hanya di buat terpesona oleh janji-janji manis, tapi semua itu ternyata sangat pahit di lidah.
Ketika kapitalitasme, hidonisme, liberalisme, dan modernitas menjadi keseharian kita, membiarkan perubahan bangsa mati bunuh diri, tak kuat karena selalu di injak-injak oleh orang-orang modern. Maka salah cagar terkuat bangsa adalah kaya akan budaya, kesadaran, moral, etika, keberanian, keadilan, untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih tentram inilah yang menjadi dasar perubahan bangsa, dasar kepribadian bangsa, dan dasar jati diri bangsa. Maka kita tidak usah heran menyaksikan jika perubahan hanya sebatas bayang-bayang yang belum menjadi kenyataan.
Mungkin saatnya kita menikmati “kematian perubahan” menikmati sisa-sisa bangsa Barat yang dibuang di negeri kita. Tak mampu menampung banyaknya sampah, akhirnya pemerintah pun pusing dan gila memikirkan semua. Makanya semua menjadi berantakan, tak terurus, sehingga menjadi bangsa yang tak menghargai karya dan kreativitas para seniman, budayawan, penyair, intelektualitas, dan sastrawan. Bangsa kita hanya menghargai sesuatu yang bernilai untuk negara asing. Padahal kreativias itu adalah salah satu bukti nyata dari bayang-bayang perubahan.
Bayang-bayang perubahan bisa dilihat dari sejauh mana peran kita untuk kepentingan orang lain. Sejauh mana keberanian kita untuk menomersatukan rakyat. Salah satu saku yang paling canggih adalah mengakui dan memberikan keadilan dalam pemimpin negara. Maka kita perlu membuktikan bayang-bayang itu, demi kesejahteraan rakyat, agar kemiskinan, penindasan, sewenang-wenangan, ketidakadilan, seksualitas, ketidakjujuran, tak menjadi problem bangsa kita ini. Mungkin ini sangat berat bagi kita, tapi cobalah untuk bertindak.  



*Penyair

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura