Mempertanyakan Identitas Penyair

(Tanggapan tulisan Latief Noor Rochmans) 
Ada hal penting yang ingin saya tanyakan terhadap Mas Latief Noor Rochmans dalam tulisannya “Demokrasi di ranah puisi” Minggu Pagi No 40 TH 64 Minggu I Januari 2012 yang menjustifikasi ada tiga kriteria puisi yang masuk dalam “Antologi puisi Suluk Mataram, 50 Penyair Membaca Yogya” pertama adalah penyair “Jadi”, kedua penyair baru belajar menulis puisi dan ketiga penyair fesbuk. Dalam tulisannya, Mas Latief belum memberikan ukuran seperti apa penyair “Jadi”, penyair baru belajar menulis puisi dan penyair fesbuk. Apakah penyair “jadi” adalah penyair sekaliber Iman Budhi Sentosa, Mustofa W. Hasyim, Ulfatin Ch, Otto Sukatno CR, Ismet NM Haris atau bagaimana? Atau penyair baru menulis adalah penyair yang hanya pra-menulis puisi? Penyair fesbuk adalah penyair yang selalu mem-fosting puisi di fesbuk? Atau bagaimana? Pertanyaan-pernyataan inilah yang menganggu tidur saya. Karena dari ketiga kriteria tersebut, kalau boleh saya memilih, saya berada di nomor dua, sebab sampai saat ini saya masih belajar menulis puisi bahkan baru pra-menulis puisi. Tapi apakah ketika saya menulis di fesbuk lalu saya di anggap penyair fesbuk. Terus terang saja, saya pernah 2 puisi di fosting puisi di fesbuk. Apakah saya di anggap penyair fesbuk? Tapi bagi saya sendiri tidak ada masalah. Apakah saya di anggap penyair atau tidak itu urusan lain. Yang paling penting bagaimana analisis dan penjelasan lebih detil dan logis oleh mas Latief tentang ketiga hal itu, agar penyair-penyair yang masuk di Suluk Mataram mampu mencerna dan “tahu diri” bahwa puisi yang ada di antologi tidak semuanya berkualitas. Mas Latief sendiri mengacu pada kualitas. Atas dasar inilah kemudian saya ingin paham seperti apa penyair “Jadi”, penyair baru menulis dan penyair fesbuk. Sebab, sangat mudah seseorang ketika menulis puisi, lalu dia menyebutkan dirinya adalah penyair, akan tetapi apakah mereka mampu bergelut, berkelahi dan mau untuk berdarah-darah dalam mempertahankan puisi dan hidup bersama puisi. Jadi benar apa yang ditulis mas Latief mengutip KPH Purbodiningrat SE MBA, pembina PSM moment ini teman-teman penyair sudah bekerja keras menghasilkan karya. Ini yang harus dihargai, saya kira tak semudah apa yang dikatakan. Akan tetapi kerja keras adalah proses panjang dan tak mudah. Karena banyak teman-teman saya yang mulai bergeser dari dunia puisi beralih pada sesuatu yang lebih pragmatis-trends. Karena bagi mereka puisi tidak menjamin kekayaan dan keharmonisan dalam hidup (mungkin). Ketika seseorang benar-benar masuk di dunia puisi, hidup bersama puisi, minum dan makan dari puisi betapa banyak ke-remuk-an yang terjadi, betapa banyak darah yang mengalir dan betapa banyak keringat dikeluarkan hanya untuk melahirkan puisi berkualitas. Menulis puisi tidak serta merta lahir lalu diposting di fesbuk, itu memang puisi, tapi itu tidak menjamin puisi berkualitas? Saya kira belum tentu. Karena proses lebih mahal dari sebuah oretan-oretan estetik-romantik-melankolik. Pun puisi yang memenuhi halaman fesbuk seperti yang dikatakan mas Latief. Dari proses panjang itulah penyair-penyair masa lalu seperti Rendra, Chairil Anwar, Taufiq Ismail. Emha, Gus Mus, Iman Budhi Sentosa, Ahmad Tohari, bisa di kenal sampai sekarang, karena mereka benar-benar memikirkan kualitas, filosofinya dan karakter yang dibangun untuk menghidupkan puisinya. Di sini saya berposisi sebagai orang yang masih berproses dalam menulis puisi. Dan kalau penyair “Jadi” kita artikan orang masak nasi lalu mateng di makan selesai (jadi), tapi kalau “Jadi” kita maknai sebagai proses berkelanjutan untuk terus membaca dan menulis, bagaimana dengan penyair baru menulis puisi yang menulis di fesbuk yang kebanyakan hanya ingin menampilkan romantisme cenging? Maka mas Latief penting untuk menjelaskan bagaimana kriteria ketiga justifikasi itu? Jadi sebelumnya saya minta maaf karena tidak menyinggung RUUK DIY, karena bagi saya kraton adalah simbol kebudayaan, dan Raja harus mampu dijadikan patokan rakyat, karena Raja juga manusia yang sama seperti rakyat, hanya kedudukannya yang berbeda, maka seharusnya Raja memikirkan rakyat Yogyakarta sendiri daripada memikirkan politik dan kekuasaan. Jadi yang paling penting untuk kita kuak dalam hal ini adalah “demokrasi di ranah puisi” yang kemudian lahir penyair-penyair yang sebenarnya tidak sesuai apa yang diharapkan mas Latief, Mas Sigit dan teman-taman PSM untuk dibukukan. Kalau mas Latief mengacu pada kualitas mengapa dengan terpaksa menerbitkan antologi tersebut. Walau pun saya sendiri juga “bangga” puisi saya masuk dalam antologi tersebut, lagi-lagi yang masih mengganggu adalah kriteria penyair tersebut, kita benar-benar ingin tahu bagaimana sebenarnya penyair “jadi”, penyair baru menulis dan penyair fesbuk yang mas Latief katakan. Penting untuk diberi pencerahan agar justifikasi yang dilontarkan Mas Latief tak selamanya menjadi pengetahuan semu bagi kita, terutama bagi saya sebagai manusia bodoh. Terlepas dari semua itu, maka ayo kita bersama-sama melihat kualitas-realitas puisi secara menyeluruh. Bagaimana strategi yang dipakai untuk melihat realitas kualitas puisi lebih matang dan tidak mudah menjustifikasi apa yang baru saja terjadi pada dirinya sendiri. Dan terakhir saya berterima kasih pada Latief Noor Rochmans yang sudah meluangkan waktunya untuk mendadar ulang puisi Suluk Mataram yang sudah di baca banyak orang di Nusantara. 

*Penyair dan Koordinator Ikatan Keluarga Alumni Al-In’Am Yogyakarta (IKA-AY).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura