Puisi. Dimanakah Kuburmu?

Oleh: Matroni el-Moezany*

Akhir-akhir ini kita banyak berdiskusi tentang penyair atau kepenyairan, akan tetapi jarang kita menemukan diskusi apa itu puisi? Bagaimana puisi itu seharusnya? Mengapa harus puisi? Siapa puisi itu sebenarnya?
Berangkat dari pertanyaan inilah, kemudian puisi akhir-akhir ini hanya berada di ruang-ruang koran dan di ruang-ruang diskusi setelah itu hilanglah puisi. Lalu kemana puisi itu sebenarnya mengalir, tidur dan “mati” dimana?
“Mati” bukan berarti puisi itu terkubur dan tidak dibaca dan di tulis, akan tetapi “mati” yang maksud adalah “mati” dalam ranah apresiasi, baik dari kalangan penguasa, kalangan penerbit, dikalangan anak-anak didik dan negara masa kini. Maka “mati” di sini adalah kurangnya penghargaan terhadap semua penulis. Kalau kita berkaca ke negara tetangga (Malaysia) di sana ada penyair negara. Jadi apresiasinya begitu besar terhadap para penulis. Indonesia saat ini belum ada hal itu dan ini di aku oleh semua kalangan penulis, terutama penulis sastra. Sebenarnya ada apa dengan bangsa kita? Kalau kemaren saya silaturrahmai ke rumah Presiden Cerpen Indonesia. Joni Ariadinata beliau berkata Indonesia agamanya tidak jelas, maka tidak heran kalau agamanya tidak berkah, negaranya tidak berkah yang terjadi adalah negara terkutuk, agamanya pun terkutuk. Gimana kita mau makmur kalau bangsa ini masih dalam kungkungan terkutuk. Penguasa-penguasanya pun terkutuk, tak tanggungjawab terhadap rakyatnya sendiri.
Kalau kita ingin berkaca pada puisi-puisi lama mulai dari periode balai pustaka tahun 1920-1940. Periode pujangga baru 1930-1945. Periode angkatan 45 pada tahun 1940-1955. Periode angkatan 50 sekitar tahun 1950-1970. Periode angkatan 70 pada tahun 1965-sekarang, kita akan melihat dalam buku pelajaran SD, SMP dan SMA puisi-puisi mereka di baca oleh anak SD, anak SMA, dan anak SMA, akan tetapi ketika masuk pada periode “sekarang” inilah puisi-puisi itu bisa dikatakan mati di kalangan anak sekolah dan perguruan tinggi. Pertanyaan yang kemudian lahir adalah mengapa hal ini terjadi?
Kalau kita menjawab dari perspektif pendidikan akan terlihat sekali bahwa buku-buku yang terbit adalah hanya berisi puisi Chairil Anwar, Rendra, Sanusi Pane, HJ, Jassin, Armijen Pane, Taufiq Ismail dan sekaliber dengan mereka, jadi tidak heran kalau puisi sekarang “mati” dikalangan anak sekolah dan perguruan tinggi. Misalnya ada tidak puisi yang ditulis dalam buku pelajaran anak-anak SD, SMP, SMA, yang sampai sekarang masih di tulis oleh penyair Gus Mus, Ahmad Tohari, Iman Budhi Sentosa, Joni Ariadinata, Raudal Tanjung Banua, Evi Idawati, Bandung Mawardi, Mardi Luhung, S.Yoga, Gus Tf, Setok Srengenge, Jamal D. Rahman, Asep Zam-Zam Nor, Mochtar Pabot Tinggi, Amien WangsitaLaja, Heru Kurniawan, Achmad Wahib BS, Kuswaidi Syafi’ie, Hamdi Salad, Binhad Nurrahmat, Faizal Kamandobat, Mahwi Air Tawar, Bustan Basir Maras, Sunli Thomas Alexander, Salman Rusdi Anwar, Ahmad Muchlis Amrin, Abidah el-Khaliqi, dan penyair-penyair muda berbakat lainnya?
Saya lihat buku pelajaran sekolah sebenarnya sama dengan buku pelajaran-pelajaran yang dulu, hanya saja penerbit lebih cerdas mengubah sampul dengan lebih menarik bahkan saya miris ketika apa yang di singgung oleh Darmaningtyas di harian Kompas “Buku yang memperbodoh dan memikinkan masyarakat” beliau tidak setuju dengan ungkapan bahwa buku merupakan gudang ilmu pengetahuan atau pelita ilmu. Menurutnya buku yang memperbodoh masyarakat adalah buku-buku ajar sekolah untuk TK-SMA yang dicetak dan dipasarkan tiap caturwulan/semester. Buku-buku tersebut dikatakan memperbodoh masyarakat karena kualitas buku ajar dibawah standar, terutama menyangkut soal struktur dan nalar berpikir sehingga dengan sendirinya akan berdampak buru pada proses berpikir murid. Yang lebih miris lagi kepala sekolah dan guru memakai buku-buku yang kualitasnya kurang dengan dijanjikan komisi yang lebih tinggi meskipun buku-buku itu jauh di bawah standar (baca:adakah buku yang memperbodoh dan memiskinkan masyarakat, Danuyasa A.).
Melihat kenyataan seperti itu, tidak heran kalau puisi akhir-akhir ini “benar-benar mati” di kalangan anak TK dan SMA karena yang dibaca hanya puisi-puisi balai pustaka dan angkatan 70, setelah itu puisi hilang, padahal puisi terus berkembang mengikuti arus penyair-penyair muda bergerak dan menulis puisi.
Salah satu solusinya adalah buku-buku ajar mulai dari TK-SMA harus benar-benar di tulis dengan serius, jangan hanya mengejar dan detline dan honor, misalnya Bab pertama kita menulis puisi-puisi balai pustaka-angkatan 70, Bab kedua puisi-puisi sekaliber Gus Mus, Bab ketiga menulis puisi-puisi penyair muda dan begitu seterusnya, sehingga mereka tidak hanya mengetahui puisi Chairil Anwar, Taufiq Ismail akan tetapi sampai detik ini puisi masih ada di tulis dan terus berkembang.
Melihat realitas masa depan puisi yang gelap, penyair kini harus banting tulang sendiri. Ada teman saya mau berangkat ke Malaysia dalam rangka acara sastra di sana, teman saya ini mengeluh meminta uang transportasi dari kampusnya tidak ada yang memberinya seratus rupiahpun tak ada padahal dia mahasiswa sastra di kampusnya. Ini salah satu bukti kecil yang terjadi di dunia sastra masa kini bahwa apresiasi terhadap sastra memang sudah minim. Akhirnya dengan ngotang sana-sini teman saya pun berangkat dengan saku terbatas. Jadi siapa pun yang ingin hidup di dunia sastra, bersabarlah dan berjuanglah demi sastra. Di tengah zaman yang begitu kotor, mungkin puisi begitu suci, sehingga tidak banyak orang yang ingin hidup bersamanya.


*Penyair dan koordinator Ikatan Keluarga Alumni Al-In’Am Yogyakarta.

Hp; 085233199668

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani