Aku Membangun Wisata


Mereka membangun wisata di kerakusannya, kata konsultan.
Agar hanyut kemiskinan dari jiwamu, kata seseorang
Memperebutkan ikan-ikan waktu. Tak pernah menangis meminta luka di kepalanya.
Tak meminta kekosongan di ruas tepi, aku tak penjarakan ikan-ikan sungai bermain di halaman rakusmu.

Ketika tiba menjadi tangga, kau geser tempat menampung bara masing-masing.
Kehijauan menari di matamu, makam-makam kau hiaskan kemesraan, sementara batang perjalanan kau biarkan terbakar dan kegersangan melewati pasir tak bertuan.

Jalan sepatak kau bangun batu langit, kau hidupkan bunga cakrawala matamu.
Sejuk rumah mengawali pembangunan, sawah-sawah terbentang kaku, pupuk mulai menggila membunuh tanah.

Benih-benih ditawarkan penjajah, menjadi buru di ladangnya sendiri.
Petani tak lagi bertenaga menjual keringat, menjual waktu dan menjual kaki.
Sebuah tanya di ladang sunyi kembali menyeruak dari bilik airmata.
Panas di kedalaman peluh tak terkuak cahaya, menari di detik ladang kemanusiaan.

Gerak kemanusiaan tak lagi bermakna apa-apa, terkadang aku harus menjual ludah.
Menjual proyek, menjual rakyat dan menjual harga diri.

Hijau malam tak biasa kita lukai menjadi bahasa, kehadiran senja tak kembali terselesaikan, arus masa di lubang rahasia tertutup rapat oleh selembut uang yang menari seperti perempuan india.

Lelah kemanjaan, mengalir di kuburan tua, sungai mati dari kelegaan jiwa-jiwa.
Kotoran mulai menyeruak dari lidah-lidah kerakusan tawa.

Cukup waktu menjadi penajam dan penjara.
Agar kelenaan terkuras pohon tumbang dari bulu alismu yang mengerucut emosi.

Bahasa tak lagi mampu mewakili rakusmu.
Halaman hanya gudang airmata kegersangan kosong, malam-malam lewat dengan sederhana. Sementara luka kau biarkan menganga.

2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani