Puisi: Matroni el-Moezany
Dimuat di harian umum Koran suara pembaruan
Minggu, 13 November 2011
Bertemu
Engkau benar memberi pada langit
Memuntahkan bulan pertama meledakkan matahari
Untuk diserahkan waktu engkau simpan
Di harian buku dan ayunan puisi
Kata berlutut di lisan malam
Merapat di yogya, memanen buah gedek
Dan menabur gelisah bermalam gelombang
Kereta silau menyambar
Bayang melukis jejak tanpa nama, tanpa sapa,
Tanpa gerak
Debu melintang di angkasa memetik kesadaran
Bila engkau benar cahaya
Mendekap semesta
Tak apa, kecuali satu: engkau pasti bertemu
Yogyakarta 2008, 09/2011
Terbang Tengah Malam Setelah Bermimpi Melihat Kapal
Tahuakah engkau sepasang sayap menyepi
Merinai symbol perjalanan sebagai mimpi sebagai waktu
Sebagai pernak-pernik ungkapan bahasa suara
Dan pasir mengisi tepian meliahat sayap mengalir seperti air.
Yogyakarta 28 Mei 09/ 2011
Insturmen
Tergenang dalam-dalam
Kisah ruang hampa ternoda
Getar jiwa tak bisa diraba
Dan dikatakan sebenarnya
Bagaimana mungkin
Kisah ini sangat indah
Bila air mata selalu ada
Dan kata-kata tak rendah?
Kekasih, jangan enkau harap
Bulan ini menjadi waktu
Sehingga jejak tiada arah utuh
Simpan saja di ruangmu
agar tubuh tak merana berwaktu-waktu
Yogyakarta, 08-09/2011
Nafas Sunyi
Tak ada butir tersisa
Pada ruang sunyi di dapur itu,
Ibu menangis
dan engkau biarkan terjatuh di matanya
terdiam mengeraskan bibir
berjalan demikian rantai mengikat bukan kata,
tapi mata
Satu rasa yang belum selesai
Terlambat tak ada yang tau
Kecepatan hati di wajahmu
Tiba-tiba menjadi cinta
Semua malam bersunyi
Antara tanah dan langit
Do’a dan sesal
Kau penyair, rupanya.
Yogyakarta 2008-2009/2011
Licin meluka
Engkau meluka menjadi waktu
Bukan kematian yang menggerakkan hati
Tapi hidup yang tak beradap
Dan bintang-bintang membuat diri tidak ada
Kadang merasa bahwa ada berbicara tapi
Mereka tidak mendengar
Mulut berbusa hanya sekedar makan
Gerimis menampar
Dimanakah dirimu
Apakah engkau mengerti kesepian.
Yogyakarta 2008-2009/2011
Minggu, 13 November 2011
Bertemu
Engkau benar memberi pada langit
Memuntahkan bulan pertama meledakkan matahari
Untuk diserahkan waktu engkau simpan
Di harian buku dan ayunan puisi
Kata berlutut di lisan malam
Merapat di yogya, memanen buah gedek
Dan menabur gelisah bermalam gelombang
Kereta silau menyambar
Bayang melukis jejak tanpa nama, tanpa sapa,
Tanpa gerak
Debu melintang di angkasa memetik kesadaran
Bila engkau benar cahaya
Mendekap semesta
Tak apa, kecuali satu: engkau pasti bertemu
Yogyakarta 2008, 09/2011
Terbang Tengah Malam Setelah Bermimpi Melihat Kapal
Tahuakah engkau sepasang sayap menyepi
Merinai symbol perjalanan sebagai mimpi sebagai waktu
Sebagai pernak-pernik ungkapan bahasa suara
Dan pasir mengisi tepian meliahat sayap mengalir seperti air.
Yogyakarta 28 Mei 09/ 2011
Insturmen
Tergenang dalam-dalam
Kisah ruang hampa ternoda
Getar jiwa tak bisa diraba
Dan dikatakan sebenarnya
Bagaimana mungkin
Kisah ini sangat indah
Bila air mata selalu ada
Dan kata-kata tak rendah?
Kekasih, jangan enkau harap
Bulan ini menjadi waktu
Sehingga jejak tiada arah utuh
Simpan saja di ruangmu
agar tubuh tak merana berwaktu-waktu
Yogyakarta, 08-09/2011
Nafas Sunyi
Tak ada butir tersisa
Pada ruang sunyi di dapur itu,
Ibu menangis
dan engkau biarkan terjatuh di matanya
terdiam mengeraskan bibir
berjalan demikian rantai mengikat bukan kata,
tapi mata
Satu rasa yang belum selesai
Terlambat tak ada yang tau
Kecepatan hati di wajahmu
Tiba-tiba menjadi cinta
Semua malam bersunyi
Antara tanah dan langit
Do’a dan sesal
Kau penyair, rupanya.
Yogyakarta 2008-2009/2011
Licin meluka
Engkau meluka menjadi waktu
Bukan kematian yang menggerakkan hati
Tapi hidup yang tak beradap
Dan bintang-bintang membuat diri tidak ada
Kadang merasa bahwa ada berbicara tapi
Mereka tidak mendengar
Mulut berbusa hanya sekedar makan
Gerimis menampar
Dimanakah dirimu
Apakah engkau mengerti kesepian.
Yogyakarta 2008-2009/2011
Komentar