Penyair dan Minimnya Modal Sosial

di Muat di Minggu Pagi tanggal 18. Nopember 2011
Oleh: Matroni el-Moezany*

Saya sepakat apa yang dikatakan Dr. Aprinus Salam (Minggu Pagi,1/11/12) yang mengatakan bahwa penyair perlu modal sosial. Walau pun penyair banyak melahirkan puisi, tetapi tidak memiliki modal sosial, maka status sosial seorang penyair tidak akan terangkat. Aprinus mencontohkan Ayu Tinting dan Iman Budhi Sentosa dimana Iman Budhi Sentosa bertahun-tahun hidup di dunia puisi akan tetapi status sosial-ekonominya belum mapan, sedangkan Ayu Tingting baru selangkah sudah menghasilkan miliaran rupiah.
Saya yakin Iman Budhi Sentosa tidak begitu mementingkan arti penting sebuah “status”, karena beliau sudah paham dan mengerti bagaimana meyalani puisi, pengaruhnya terhadap perkembangan sosial dan bagaimana mengelolah dirinya.
Penyair yang seumuran Iman sudah tidak diragukan lagi, mungkin Aprinus berkata demikian, karena Aprinus memiliki dunia yang berbeda dengan Iman Budhi Sentosa. Kalau Aprinus memiliki modal sosial akademik yang kadang jauh dari realitas sosial, sedangkan Iman modal sosialnya adalah puisi. Dimana puisi lahir dari realitas itu sendiri. Sangat jauh berbeda realitas akademik dan realitas yang dihasilkan oleh puisi. Dan Iman Budhi Sentosa sudah banyak makan garam realitas sosial sejak beliau merambah dunia puisi.
Saya tidak memihak pada siapa pun (Aprinus maupun Iman), karena keduanya saling melengkapi dalam menata sosial dan perkembangan masyarakat. Yang menjadi masalah bagi saya adalah “anak muda masa kini” yang belum paham realitas, lalu berbicara realitas. Maka tidak heran kalau ada banyak pengamat yang meragukan anak muda.
Seperti hasil yang dikeluarkan Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang kepercayaan publik terhadap kepemimpinan generasi muda (batas usia 50 kebawah), hasilnya persentase responden yang memberi kepercayaan kepada calon pemimpin muda, sangat kecil. Di bawah 4 persen. Padahal, negeri ini sangat berharap kepada anak muda untuk melanjutkan cita-cita kemakmuran bangsa.
Sebenarnya masa muda adalah kesempatan untuk mengasah kreativitas dan mengasah prestasi yang banyak manfaat terhadap orang banyak, sayangnya mereka terjebak dengan teknologi yang kurang bermanfaat terhadap perkembangan dirinya. Ini sangat disayangkan, ketika semua masyarakat percaya kepada anak muda, justeru mereka lebih cerdas bermain intitusi untuk membuat lembaga gerakan anti kurupsi, akan tetapi hal itu hanya menjadi wadah mencari uang.
Mungkin kesalahan itu tidak sepenuhnya berada di anak muda, sebab kalau kita melihat pemimpin kita yang sudah tua, justeru lebih parah, jadi tidak heran kalau anak muda mencontoh yang tua (seniornya). Kalau kita boleh menganalisis lewat pisau analisis eksistensialis, anak muda gugur dalam menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan perjuangan, karena anak muda lupa akan “diri-nya” yang sebenarnya lebih agung daripada “diri” yang diluar dirinya (realitas).
Maka tidak heran kalau filsuf eksistensialis lebih dulu memapankan dirinya sebelum terjun ke sosial. Salah satu jembatan untuk memapankan dirinya adalah puisi atau seni.
Jadi kebersamaan tentunya sangat dibutuhkan dalam proses memapankan diri. Baik kebersamaan dalam di dunia budaya, anak muda, agama, dan politik agar paradigma yang beragam itu mampu menjadi utuh.
Menyangkut kreativitas anak muda yang lebih banyak bermain (ngegame) biasanya akan lupa akan waktu dan dirinya sebenarnya untuk apa? Sikap itu kiranya perlu diimbangi pertanyaan serius apa kita mau menjalankan alih teknologi, membangun SDM, dan memicu inovasi?. Tapi saya sendiri, kurang percaya apakah anak muda mampu menjalankan tugas nasionalisme, perjuangan dan mengenali dirinya.
Banyak main dan kurangnya daya berpikir, inilah sebenarnya yang membunuh karakter anak muda, anak muda sekarang lebih baik “jalan-jalan” atau “game” daripada membaca dan berpikir. Kalau keadaannya sudah demikian, apa dan siapa yang mampu masuk dalam diri anak muda untuk merubah atau mengetuk dirinya dalam memperjuangkan “diri yang agung”, kecuali dirinya sendiri.
Akan tetapi hal ini sangat sulit dan rumit, karena anak muda sudah kadung terjebak dan menikmati hal itu. Maka tidak heran kalau perkembangan puisi anak muda sangat jauh dari realitas sosial. Justeru yang lahir puisi-puisi rindu, dan melankolis yang sebenarnya makna dan pengaruhnya juga sangat minim dan pengaruhnya juga kurang.
Saya sendiri banyak mengikuti pembacaan puisi dan diskusi puisi atau sastra, hasilnya pun sama, puisi yang dibacakan hanya puisi-puisi cinta dan rindu, mereka jauh dari realitas sosial, padahal masyarakat tidak membutuhkan rindu, dan airmata, akan tetapi masyarakat membutuhkan bantuan bicara bahwa seperti keadaan masyarakat. Masyarakat sangat di tindas dan di dera oleh penguasa dan kekuasaan. Dan alam yang banyak di rusak oleh tangan-tangan kapitalis, maka inilah yang penting untuk direfleksikan bersama, sehingga lahirlah puisi yang benar-benar puisi.
Maka penyair memang penting memiliki modal sosial, sehingga puisi yang dihasilkan tidak hanya mengisi blog-blog melankolis, yang sebenarnya tidak penting untuk di baca atau di apresiasi. Ini bukan soal nasionalisme, bukan juga soal melahirkan puisi. Persoalannya adalah mengatur masa depan hidup bersama dan menata sosial dengan baik. Itulah makna luas puisi yang lahir dari realitas sosial.


*Penyair dan Koord Ikatan Keluarga Alumni AL-In’Am Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura