sajak-sajak: Matroni el-Moezany
KOMPAS.com
Minggu, 30 Oktober 2011 | 09:34 WIB
ASONGAN
Selalu yang di bawa, itu-itu saja, Selalu yang itu-itu saja, rela Selalu yang rela, bimbang bahkan terpaksa
Perkenankan aku menjadi dirimu Bagaimana hidup nyaman Seperti dia yang terkaya
Pergi malam pulang pagi
Lalu datang kembali Seperti hanya ingin menjualnya Menolak sepah dingin
Sebelum lapar mendera Tak perlu orang merasa
Menyusuri malam Sepanjang palataran Malioboro Mewarnai ramai pasar dan rimbun jajan Sepanjang engkau bebas dari negara Dengan seluruh daya, Mempertahankan adamu
Jejak demi jejak yang berlagak, tak henti-hentinya menemukan jalan
Begitulah setelah waktu ajak, kota yang dulu hijau Menjaga dirimu dari asap bangunan Terpaksa menyimpan luka Dalam cela debur ramai orang-orang
Titik itu, pengasong tak tega menuliskan, yang mesti aku harus terperosok
Jika aku putra bangsawan Atau setidaknya pernah korupsi dengan aman Yang melingkari hukum-hukum palsu sepanjang musim Dia hanya diam, berkarya tak di dengar
Hukum-hukum menuntut moral Yang barusan terjadi sebenarnya bagaimana Tetapi tetap saja Membohongi gema bangsa Yang telah mengajarkan perjuangan
Di musim engkau keracunan Seperti patung-patung Engkau hanya orang tak bernyawa Dengan tahu hukum kau benci asongan
Di dada dan mulut, di saku dan perut Alam moral dan kekuasaan Di kata-kata dan bukan yang sebenarnya
Jogja, 2011
KIYARAN
Mata-mata menyala Melihat hamparan sawah Hijau padi dan gemerucuk air bening Dengan ikan-ikan manja Menyimpan beribu kekayaan Kau biarkan indah menyembunyikan Kau iyakan ia berdiam Hingga aku datang, menguaknya Dari kedalaman tanah-tanah
Senyum orang-orang Menyimpan “aku ingin bersama” Tak kuasa aku rendam untuk kau cuci, di sana
Setengah senyum Aku gila di ruang damai Menyibak tembang kenangan
Kau sabar menuai rasa Kau lebar memulai masa Kekayaan kau lantunkan bersama hamparan hijau pepohonan Serta ikan-ikan nakal yang merayunya
Kau sampaikan kata Lewat senyum orang-orang, kau biarkan semua menjadi ada Yang harus kau simpan Karena ia milikmu bukan milikku
Wukirsari, Kiyaran 2011
Bagaimana dengan Dirimu
Engkau menjadi korban bencana alam Ada banyak bantuan, tapi tak sedikitpun tersampaikan, Kau dibiarkan sengsara oleh negara
Hidup itu tidak hanya manusianya, tapi pikirannya juga harus hidup, katanya
Engkau keluarkan keringat perjuangan Tapi tak ditemui, dimanakah engkau Di manakah rasa cintamu untukku Di manakah kepedulianmu
Sekarang aku tak punya apa-apa Rumah, lahan tani, uang, harta, hanyut terkubur pasir, rata
Engkau tak merasa Betapa aku ingin bahagia Anak, isteri, dan orang lain Kau bebaskan dari janji kosongmu
Matahari mencoba membantunya Pagi itu, dengan matahari terang Tumpukan angin segar
Dengan rumpun kata, seperti sorga sedikit nyeri Mengiringi kemana dirimu akan di bawa Hidup di tengah bencana
Lalu, di sebelah timur jalan Atau di bawah pamataran chelter prosokerep Melihatmu tengah mengangguri pikiranmu Dan lekuk puluhan waktu menikam Muara masa
Setelah menelusuri sawah-sawah dengan angin yang sama Mengguyur kata-kata ke lubang-lubang pasir Terus di gali, di semai hingga air mengalir
Di suatu senin pagi, dua orang mendatangimu Ingin tahu sebenarnya di balik chelter itu Orang-orang, isteri, anak-anak dan janda Selalu ingin menikmati kedamaian
Tetapi di bawah langit cangringan Matahari tak sesempurna yang kubayangkan
Pemerintah yang seharusnya menemuimu Di masukkan ke sadarmu, malah mencolong Mental kegembiraan, kalau waktu menuntut kedamaian lebih Di dalam gedek sederhana, kepalanya bingung di pukul kesombongan negara
Bukankah jika senja datang Malam mendatangkan harap Yang rumit di gapai, hanya sedikit marah yang tinggal di sarang
Kemudian agar engkau damai Engkau cipta waktu dalam dirimu Mengajak daging, tangan, kuping, mata, mulut, dan kaki berdandan di bawah rembulan
Di jerit katamu, tiap harinya menampung mental-mental keringat Di sejerit sisanya, di sebuah harapan Tergambar betapa semesta mulai mendiami kedamaiannya
Beberapa bulan kemudian Memintanya secara pribadi Suguhi aku, bantui aku, Atau doakan aku, sedetik saja
Sayang, pemerintah kembali tuli Matahari segera bersenja
Lalu seperti para pencari pasir, kayu bakar, dan sapi perah Kita tak lagi melihat Bagaimana dirimu meringkih dalam keringat Setelah berjam-jam kehausan dan dipermainkan
Cangringan, 2011
*Penyair, lahir di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep. Aktif menulis di media massa baik lokal maupun nasional. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010) “Madzhab Kutub” (2010) dan Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Kini tinggal di Yogyakarta.
Minggu, 30 Oktober 2011 | 09:34 WIB
ASONGAN
Selalu yang di bawa, itu-itu saja, Selalu yang itu-itu saja, rela Selalu yang rela, bimbang bahkan terpaksa
Perkenankan aku menjadi dirimu Bagaimana hidup nyaman Seperti dia yang terkaya
Pergi malam pulang pagi
Lalu datang kembali Seperti hanya ingin menjualnya Menolak sepah dingin
Sebelum lapar mendera Tak perlu orang merasa
Menyusuri malam Sepanjang palataran Malioboro Mewarnai ramai pasar dan rimbun jajan Sepanjang engkau bebas dari negara Dengan seluruh daya, Mempertahankan adamu
Jejak demi jejak yang berlagak, tak henti-hentinya menemukan jalan
Begitulah setelah waktu ajak, kota yang dulu hijau Menjaga dirimu dari asap bangunan Terpaksa menyimpan luka Dalam cela debur ramai orang-orang
Titik itu, pengasong tak tega menuliskan, yang mesti aku harus terperosok
Jika aku putra bangsawan Atau setidaknya pernah korupsi dengan aman Yang melingkari hukum-hukum palsu sepanjang musim Dia hanya diam, berkarya tak di dengar
Hukum-hukum menuntut moral Yang barusan terjadi sebenarnya bagaimana Tetapi tetap saja Membohongi gema bangsa Yang telah mengajarkan perjuangan
Di musim engkau keracunan Seperti patung-patung Engkau hanya orang tak bernyawa Dengan tahu hukum kau benci asongan
Di dada dan mulut, di saku dan perut Alam moral dan kekuasaan Di kata-kata dan bukan yang sebenarnya
Jogja, 2011
KIYARAN
Mata-mata menyala Melihat hamparan sawah Hijau padi dan gemerucuk air bening Dengan ikan-ikan manja Menyimpan beribu kekayaan Kau biarkan indah menyembunyikan Kau iyakan ia berdiam Hingga aku datang, menguaknya Dari kedalaman tanah-tanah
Senyum orang-orang Menyimpan “aku ingin bersama” Tak kuasa aku rendam untuk kau cuci, di sana
Setengah senyum Aku gila di ruang damai Menyibak tembang kenangan
Kau sabar menuai rasa Kau lebar memulai masa Kekayaan kau lantunkan bersama hamparan hijau pepohonan Serta ikan-ikan nakal yang merayunya
Kau sampaikan kata Lewat senyum orang-orang, kau biarkan semua menjadi ada Yang harus kau simpan Karena ia milikmu bukan milikku
Wukirsari, Kiyaran 2011
Bagaimana dengan Dirimu
Engkau menjadi korban bencana alam Ada banyak bantuan, tapi tak sedikitpun tersampaikan, Kau dibiarkan sengsara oleh negara
Hidup itu tidak hanya manusianya, tapi pikirannya juga harus hidup, katanya
Engkau keluarkan keringat perjuangan Tapi tak ditemui, dimanakah engkau Di manakah rasa cintamu untukku Di manakah kepedulianmu
Sekarang aku tak punya apa-apa Rumah, lahan tani, uang, harta, hanyut terkubur pasir, rata
Engkau tak merasa Betapa aku ingin bahagia Anak, isteri, dan orang lain Kau bebaskan dari janji kosongmu
Matahari mencoba membantunya Pagi itu, dengan matahari terang Tumpukan angin segar
Dengan rumpun kata, seperti sorga sedikit nyeri Mengiringi kemana dirimu akan di bawa Hidup di tengah bencana
Lalu, di sebelah timur jalan Atau di bawah pamataran chelter prosokerep Melihatmu tengah mengangguri pikiranmu Dan lekuk puluhan waktu menikam Muara masa
Setelah menelusuri sawah-sawah dengan angin yang sama Mengguyur kata-kata ke lubang-lubang pasir Terus di gali, di semai hingga air mengalir
Di suatu senin pagi, dua orang mendatangimu Ingin tahu sebenarnya di balik chelter itu Orang-orang, isteri, anak-anak dan janda Selalu ingin menikmati kedamaian
Tetapi di bawah langit cangringan Matahari tak sesempurna yang kubayangkan
Pemerintah yang seharusnya menemuimu Di masukkan ke sadarmu, malah mencolong Mental kegembiraan, kalau waktu menuntut kedamaian lebih Di dalam gedek sederhana, kepalanya bingung di pukul kesombongan negara
Bukankah jika senja datang Malam mendatangkan harap Yang rumit di gapai, hanya sedikit marah yang tinggal di sarang
Kemudian agar engkau damai Engkau cipta waktu dalam dirimu Mengajak daging, tangan, kuping, mata, mulut, dan kaki berdandan di bawah rembulan
Di jerit katamu, tiap harinya menampung mental-mental keringat Di sejerit sisanya, di sebuah harapan Tergambar betapa semesta mulai mendiami kedamaiannya
Beberapa bulan kemudian Memintanya secara pribadi Suguhi aku, bantui aku, Atau doakan aku, sedetik saja
Sayang, pemerintah kembali tuli Matahari segera bersenja
Lalu seperti para pencari pasir, kayu bakar, dan sapi perah Kita tak lagi melihat Bagaimana dirimu meringkih dalam keringat Setelah berjam-jam kehausan dan dipermainkan
Cangringan, 2011
*Penyair, lahir di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep. Aktif menulis di media massa baik lokal maupun nasional. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010) “Madzhab Kutub” (2010) dan Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Kini tinggal di Yogyakarta.
Komentar