sajak: Matroni el-Moezany

Kompas.com: Sabtu, 8 Oktober 2011 | 00:30 WIB

Petani Nasibmu Kini Kau semakin terpuruk, di diperbudak kapital Nasibmu kini bagaimana kamu

Apakah engkau ikut atau berdiam di kearifan Menjunjung semestamu sendiri Menguak kekayaan diri Lalu menikmati

Bukankah itu yang kita cari?

Engkau begitu kaya, tapi mengapa tak jua kau tampakkan? Apakah keringatmu hanya untuk orang? Sehingga kearifanmu di biarkan menghilang

Apakah karena darah tak mengalir? Engkau tak sakit atau engkau tak merasa? Padahal luka-luka sungguh mendalam Yogyakarta, 6, Agustus, 2011

Daun Emas Kau terlena pada setumpuk uang nyata Membiarkan yang lain meluka

Kini, mimpi Tinggal nama yang terlukis indah di sana Ia menjadi memori di samping cermin besar Berkaca melihat setumpuk di depan mata

Berhamburan senyum sinis melukis daun-daun Sesekali kekayaan menjadi raja dan tak henti-henti bertadabur meminta Walau sejarah kelam bersisa marah dan luka Daun emas ternyata harapan masa ketika bermimpi

Yogyakarta, 8, Agustus 2011

Tepuk Tangan

29/7/11 Malam menggemah Lampu-lampu menyinari perselingkuhan gelap Kata-kata menyerbu dari sudut-sudut cakrawala

Kata untuk para petinggi: Bangsaku di jual; kau tepuk tangan Rakyatku di gadai; tepuk tangan Petani hancur; tepuk tangan Rakyat lapar; kau tepuk tangan

2/8/11 Hidup memang beda Aku hanya menyampaikan Bunyi tepuk tangan Yang melukai semesta

Aku ingin saja melukiskan, kesakitan-kesakitan Lalu, kubuang, entah kemana

Pertemuan sungai-sungai saling menyapa Tentang api dan puisi dan lautan harus menjawabnya

Kuikuti bunyi, sunyi yang tak pernah di huni Bunyi itu seperti percikan petir, meruntuhkan

3/8/11 Apakah masih di rahim bangsa? Sehingga tak kenal waktu dan pikiran

Aku duduk menghadap selatan Terdengar tepuk tangan lucu, menggores malam

Senja, senja yang sebenarnya Aku menyebar satu bungkus nasi buat tukang becak Terima kasih, sambutnya Sambil teriring senyum kebahagiaan

10/8/11 Sunyi sebenarnya Memperpanjang gelisah mengusai luka Bagaimana nasib niat Yang satu tahun ingin mendamaikan semesta masa?

Masa dimana aku harus bersanding dengan rembulan Dalam waktu yang utuh

11/8/11 Hausku menggersangkan cakrawala Lukuku darah menbanjiri semesta Gelisahku imaji memasuki lekuk kata Diriku ladang menghidupi puisi

Aku berharap pohon puisi hijau, sejuk dan berbuah Dan ditepian kata aku duduk menikmati keindahannya

Hausku tumbuh dari benih musim Lukaku tumbuh dari benih masa Gelisahku lahir dari gumpalan airmata yang bernama luka

Tak ada yang subur dengan airmata Kecuali kata-kata dan tepuk tangan penguasa

Tepuk tangan adalah racun rahasia Engkau bertepuk tangan, karena kearifan kalah oleh capital

Yogyakarta, Juli-Agustus 2011

Gapura-Kalianget

Mengingat Hj. Mariyam Aisyah

Gemetar kata Semerbak rasa Membentur malam menghisap kematian

Suara angin kencang Membawa awan, meliuk seperti ular Malam terakhir Aroma bunga menyebar wangi Berhamburan isak tangis batin Mengisi langit Membuat rumah dari nafas-nafas matahari Beratap bulan, beralaskan malam Sunyi, tapi menderang Sendiri, tapi tenang Sumenep, 2011

*Penyair, lahir di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep. Aktif menulis di media massa baik lokal maupun nasional. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010) “Madzhab Kutub” (2010) dan Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Kini tinggal di Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Tari India Yang Sarat Spiritualitas