Sajak-Sajak: MAtroni el-Moezany

KOMPAS.com
Senin, 8 Agustus 2011 | 22:52 WIB


Jodhi Yudono | Jumat, 29 Juli 2011 | 11:08 WIB

Kerudung Terpanjang :Untuk orang yang mengaku suci dan benar

Kehidupan merayap dalam kerudung-kerudung panjang Memanggul bom dan menenteng jenggot Gelombang kehidupan bergemuruh di pojok-pojok serakan Rumah-rumah hancur dan renta tak berpenghuni Menguburkan agama dan merapukan eksistensi Langit tanpa warna menawarkan kejernihan Memberikan kabar keabadian derita

Ayat-ayat Tuhan terlempar tanpa makna kemanusiaan Jari-jari menyampaikan pesan sia-sia Tak terbaca dalam kumpulan sejarah

Dan ayat suci menerima detak waktu yang mati Dan luka terus menganga, akibat tangan-tangan bodoh

Irama damai, tak kuasa berteriak, suara habis, tenggorokannya serak Sebagai manusia yang gagal, aku biarkan rumah hancur, dan melahirkan kesia-sian….

2011.

Kerudung Ketuhanan

Kau tutup mukamu dengan kerudung panjang tak bertepi Kau bilang itu perintah Tuhan, apa benar seperti itu? Bukankah itu ketidakadilan? Engkau melihat leluasa, sementara kita separuh, dasar! Apakah benar wanita surga seperti itu?

Engkau ledakan tatapan manusia Hanya untuk kebenaran pribadi Kebenaran sia-sia

Kau menenteng dosa sendirian Menutup pintu cahaya menemui malam Sementara kesendirian dengan dosa panjang di wajahmu Terus engkau gelisahkan pada manusia

2011

Ibu Sembarang Waktu

Perempuan itu berkata, mencari lahan sendiri Mana yang lebih utama dari meledakkan bom untuk bangsa Bom yang tak memiliki makna bagi Tuhan dan manusia

Di sembarang tempat engkau sia-sia, tapi Tidak untuk ibu sendiri Yang selalu bermakna untuk semesta

Ibu sembarang waktu menerjemajkan dosanya sendiri Karena tak paham makna tuhan sebenarnya Sehingga perempuan itu memilih sendiri Pemahaman yang kurang benar

Membangun surga di tengah airmata Menciptakan dosa sepanjang abad bagi manusia

2011

Anggapan

Engkau anggap dirimu benar pada tuhan Padahal manusia banyak ragam dalam diri dan kediriannya

Aku selalu ragu mereka yang mengaku benar, Karena tak ada kebenaran di dunia ini Selain hanya dan Cuma perjalanan proses untuk sampai

Aku boleh beranggapan apa saja Tak penting berdebat lagi, Ruang ini kosong, kau ciptakan kantuk yang masih panjang Padahal tak semudah itu engkau berikan kebenaran

Waktu mungkin terlalu cepat bagi siapa saja yang lena Padahal hujanan masa di teras senja terus berkelana Lalu….

Anggapan macam apakah itu

2011

*Penyair keliharan Sumenep, Madura, bergiat di komunitas Kutub Yogyakarta. Aktif menulis di media massa baik lokal maupun nasional. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (Obsesi Press, 2010) “Madzhab Kutub” (Pustaka Pujangga, 2010) dan Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Kini Pengok, Demangan, Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani