Mampukah Kraton Eksis Sebagai Simbol Nilai



Oleh: Matroni el-Moezany*

Percaturan politik di Yogyakarta sudah dimulai. Begitu banyak kandidat yang akan menjadi pemimpin kota Yogyakarta. Berbagai cara sudah dilakukan untuk menarik hati masyarakat. Di jalanan terpampang foto-foto kandidat yang akan melanjutkan kempimpinan kota Yogyakarta. Ini membuktikan kandidat itu ingin menjadi pemimpin. Saya tahu semua memiliki tujuan yang baik untuk agenda ke depan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mampukah Kraton Eksis sebagai simbol nilai. Sejak dulu dunia mengenal Yogyakarta terkenal sebagai kota budaya, menjunjung nilai-nilai kebudayaan (local wisdom). Itu terlihat dari kraton Ngayokyakarto Hadiningrat sebagai simbol nilai. Kroton disamping menjadi penarik wisatawan asing juga untuk mengerti bahwa Kroton memang menjadi simbol nilai yang harus dijaga eksistensinya.
Kroton sebagai institusi harus dipertahankan. Terlepas apakah raja tersebut ingin mempertahankan nilai-nilai luhur atau tidak, karena Kraton sekali lagi menjadi pusat peradaban Ngayogyakarta. Kalau ini sampai hilang karena percaturan politik, amat sangat di sayangkan. Jadi kalau boleh memimjam teorinya Prof. Susetiawan pakar politik UGM politik laksana kita bermain catur, yang ada dalam ruang catur semua saling bersaing untuk menjadi nomor satu. Kalau semuanya bermain catur di sana yang bermain emosi, maka harus ada orang lain yang benar-benar dingin di luar percaturan itu, yang mengamati, membaca dan memahami permainan tersebut. Dalam hal ini, Kraton mestinya menjadi penyejuk dalam percaturan politik. Bukan malah berbaur menjadi satu.  
Salah satunya adalah raja Ngayokyakarta sebagai simbol nilai yang harus mampu meminimalisir konflik yang mungkin akan terjadi di masyarakat. Karena sangat eman-eman ketika kepercayaan masyarakat akan hilang ketika simbol nilai akan hilang oleh percaturan politik di Yogyakarta khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Lagi-lagi simbol nilai bukanlah matematika yang dapat di hitung nilainya. Bukan ekonomi yang mengharapkan materi. Akan tetapi simbol nilai itu adalah sejarah yang dapat di kenang diperjuangkan eksistensinya sepanjang masa. Karena kalau di lihat dari sejarahnya berdirinya kraton tidak serta merta ada dan berdiri, tapi untuk mendirikan Kroton butuh perjuangan, leluhurnya bertapa, meminta petunjuk. Apa pun yang menghadang di dalamnya, tentunya Kroton harus lebih bijaksana menyikapinya.
Banyak penyair, dan budayawan besar yang berproses di Yogyakarta hanya untuk meresap energi atau nilai budaya yang terkandung di dalam Kraton dan masyarakat Yogyakarta, jadi kalau Kraton tidak konsisten menjaga nilai-nilai ke-Kratonan, saya takut pada suatu saat nilai-nilai itu benar-benar hilang dari mata dunia, hanya tinggal jejak, hanya tinggal simbol an sich. Karena selama ini Kraton memang menjadi tonggak sejarah simbol nilai dari masyarakat Yogyakarta itu sendiri, lantas kalau itu di hilangkan, bagaimana nasib para pejuang dalam membentuk Yogyakarta dan Kraton. Akankah para pejuang dan raja-raja Mataram Ngayokyakarta dilupakan?
Sangat disayangkan kalau itu terjadi, apalagi hanya gara-gara percaturan politik. Maka seperti saya tuliskan di atas, sebaiknya Kraton tetap menjadi pendingin dan menjaga kesejukan nilai-nilai luhur.
Saya lihat perkembangan politik di Yogyakarta cukup panas. Jadi Kraton lebih hati-hati agar tidak terjebak oleh hilainya politik yang belum memihak pada rakyat.  
Cukuplah kita belajar pada leluhur Ngayogyakarta yang lebih banyak bertapa, mengabdi pada rakyat, mengabdi pada alam dan bijaksana. Dengan mengabdi pada hal itu para raja berhasil memakmurkan rakyatya. Rakyat di sentuh melalui mental atau jiwa, nilai-nilai, dan sopan santun (unggah-ungguh). Jadi tidak heran kalau rakyat benar-benar percaya pada raja. Jangan-jangan Kraton dan sikap itu (ungguh-ungguh) hanya dijadikan alat untuk memperkaya awak dewi. Tapi itu hanya kecurigaan saya semoga saya salah.
Lagi-lagi simbol nilai bukanlah angka yang dapat ditukar oleh apa pun. Jadi ketika menjadi simbol nilai semua orang akan menilai. Nah agar penilaian masyarakat dunia masih tetap seperti dulu, maka Kraton tetap sebagai Kraton yang lebih banyak mengabdi pada rakyat, menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal.
Ketika orang Kraton ingin mencicipi politik, seharusnya memakai cara berpolitik ala Kraton yang benar-benar murni rakyat. Karena disanalah letak nilai keluhuran itu. Budaya, agama, nilai, etika dan pendidikan untuk rakyatnya selalu digalakkan oleh raja-raja. Walau pun para raja dulu tidak sekolah, tapi mengapa mereka pintar dan tahu keadaan rakyat, paham kemauan rakyat, kata pak Kemis (warga desa Wukirsari).
Pak Kemis kemudian menasehati kami, hati-hati karena alam ini sudah rusak, jadi kalau ada konflik lebih baik mengalah saja. Agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan. Pak Kemis juga berkata bahwa Kraton sebagai simbol nilai kini sudah mulai minim, semakin suram. Padahal Pak Kemis tidak tahu bahwa di bawah (Yogyakarta) percaturan politik cukup panas. Jadi Yogyakarta benar-benar panas, panas oleh uang, panas dengan politik, kalau Kraton belum mampu meredakan hal itu, maka kalau nantinya simbol nilai itu hilang itu bukanlah salah rakyat. Saya tidak ingin menyalahkan orang Kraton atau siapa pun, karena kita semua bertanggungjawab atas panasnya politik yang berkembang di Yogyakarta. Bagaimana perjalanan dan perkembangan politik yang ada, semua pihak harus bertanggungjawab untuk tetap mendamaikan rakyat dan menjaga ketertiban masyarakat Yogyakarta.
Simbol nilai itu tetap harus di jaga eksistensinya. Jika tidak, maka simbol-simbol yang lain Ngayogyakarta dengan sendirinya akan hilang. Pertanyaannya adalah siapakah orang itu yang benar-benar murni menjaga simbol nilai itu? Setidaknya Kraton sebagai institusi masih ada sebagai simbol nilai, simbol budaya, simbol agama dan simbol kemasyarakatan.
Dengan demikian, simbol nilai itu saja yang kemudian ada, walau pun ada kemungkinan didalamnya ada percaturan politik yang kurang cocok dengan Kraton, setidaknya simbol itu jangan sampai di “jual”, artinya ketika nilainya yang hilang, maka Yogyakarta sebagai kota pendidikan, kota budaya dan kota penyair, akan hilang, karena simbol itu adalah nilai yang tidak bisa di tukar dengan uang. Jadi maaf jika saya harus beropini seperti itu, karena saya takut simbol itu hanya sebatas simbol yang tak ada maknanya di kemudian hari.  

*Penyair dan pemerhari.

Hp; 085233199668

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura