Penghianatan Kaum Intelektual


Oleh: Matroni el-Moezany*

Pendidikan semakin mudah di cari, banyak beasiswa ditawarkan dan sekolah gratis, tapi tak banyak yang memiliki kepekaan intelektual seperti apa yang diharapkan Julien Benda dan masyarakat. Kaum intelektual lebih mementingkan karir mencari status. Mengedepankan dirinya sendiri. kaun intelektual berlomba-lomba mencari sekolah dan perguruan tinggi yang berkualitas, walau pun dirinya sendiri tidak sekualitas sekolah dan perguruan tingginya.
Apakah tujuan awal mencari ilmu pengetahuan dan mencari pendidikan setinggi-tingginya hanya untuk mengabdi terhadap masyarakat, bukan malah menyengsarakan rakyat. Banyak sekali perguruan tinggi yang mencetak sarjana-sarjana yang hanya mengabdi dan menjadi guru atau dosen. Padahal dosen dan guru bukanlah tujuan dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan bertujuan mencerdaskan rakyat. Mengabdi pada rakyat. Memelihara rakyat.
Kalau kita mengingat pesan Sunan Bonang, memberikan tongkat pada yang buta, memberikan pakaian pada yang telanjang dan memberikan makan pada yang lapar, sungguh di Indonesia saat ini pesan Sunan Bonang ini bisa di kata tidak ada. Saya yakin dan seyakin-yakinnya bahwa MPR, DPR, Presiden, guru, dosen dan sarjana-sarjana mereka adalah kaum intelektual, tapi mengapa mereka masih berkutat di ruangnya masing-masing.
Yang menjadi dosen atau guru sekedar mengajar, menstransfer ilmu pada anak didiknya setalah itu tidak mau tahu, bagaimana bertanggungjawab sebagai guru dan dosen. MPR, DPR, Presiden juga masih mementingkan sesuatu yang besar dan memiliki keuntungan yang besar, tak memikirkan bagaimana sesuatu yang kecil (rakyat kecil) juga memiliki peran besar. Kalau boleh saya bilang, mereka (kaum intelektua) hati nurani-nya mati alias tak memiliki hati nurani.
Lalu pada siapa mereka berhianat? Pikirkan sendiri. karena dalam tulisan ini saya ingin menjadi guru, dosen, ahli hukum atau berbicara atas nama wakil rakyat, akan tetapi saya ingin berkata bahwa anda (kaum intelektual) lebih cerdas ketimbang saya yang hanya mengabdi pada rakyat kecil yang semuanya menurut anda (kaum intelektual) rakyat adalah orang bodoh, dan berpendidikan. Tapi bersama mereka (rakyat kecil) saya hidup, sambil memikirkan nasibnya.
Walaupun saya hidup di tengah kaum intelektual, tapi kaum intelektual tak memiliki kepekaan, tak memiliki kesadaran, belum menyadari. Yang mereka (kaum intelektual) sadarkan bagaimana besok ke kantor. Tak sedikitpun memikirkan bagaimana nasib rakyat yang hidup di chelter dan nasib rakyat yang miskin dan tak memiliki rumah akibat bencana.
Kini, kaum intelektual di pemikirannya hanya berisi penelitian dan penelitian serta proyek untuk kepentingan statusnya sebagai peneliti, guru, dosen, MPR, DPR dan presiden. Jadi tak ada sedikitpun di pikirannya untuk memikirkan keadaan rakyat.
Saya membaca data para sarjana (kaum intelektual) sangat banyak jumlahnya. Kalau lihat perguruan tinggi di Indonesia yang semuanya mencetak sarjana-sarjana, tapi semuanya memiliki bertujuan untuk mencari status, ada yang berperang menjadi PNS, guru, dosen, MPR, DPR, Presiden tak ada yang berperang untuk menjadi pemimpin rakyat. Saya yakin tidak mungkin anda (kaum intelektual) yang sudah menjadi PNS, guru, dosen, MPR, DPR, presiden yang meluangkan waktunya untuk mengabdi terhadap rakyat. Tapi engkau (kaum intelektual) sudah sibuk dengan statusmu sendiri.
Jadi mengingatkan saya pada tokoh para pejuang kemanusiaan seperti Ronggowarsito, Amanna Gappa, Kartini, K.H. Ahmad Dahlan, Sutan Takdir Alisjahbana, Soekarno, K.H Hasyim Asy’ari, Marsinah, Multatuli, Pattimura, Dipenegoro, Cut Nya’ Dhien, Jaya Suprana, Gandhi, Jabir Ibn Hayyan, Shakerpeare, Walmiki, Kahlil Gibran, Thomas Alva Edison, Affandi, Iqbal, Rendra, Pram dan para pejuang kemanusiaa lainnya. Pejuang-pejuang ini benar-benar mengabdikan dirinya dan pengetahuannya untuk rakyat. Bukan untuk statusnya.
Yang terjadi ketika penghianat kaum intelektual seperti itu, seolah-olah cinta, namun kebencian rahasia. Kesombongan sia-sia. Intelektual sia-sia. Semuanya menjadi sia-sia. Status sia-sia. Pemimpin sia-sia. Wakil rakyat sia-sia. Presiden sia-sia. PNS sia-sia. Guru sia-sia. Dosen sia-sia. MPR sia-sia. DPR sia-sia. Dimanakah ketidaksia-sian itu? Apakah engkau sudah menjadi barang langka? Sepertinya kita harus berguru pada angin yang menjadi wartawan dan pemimpin jujur, membawa bau aroma apa adanya, membawa kabar apa adanya, bau di bilang bau, harum di bilang harum dan lain sebagainya. Tapi hal itu tak mudah bagi manusia seperti kaum intelektual Indonesia.
Lalu bagaimana menyadarkan kaum intelektual yang sudah berhianat itu? Saya tidak menjawab, karena saya sudah bilang di atas, saya adalah manusia bodoh yang hanya hidup bersama rakyat kecil. Jadi anda (kaum intelektual) lebih paham mengatasi hal itu, karena anda sudah banyak menghabiskan banyak buku yang di baca. Tinggal bagaimana menyadarkan dirinya sendiri. Agar tidak hanya sadar, tapi juga harus menyadari. Saya kira kaum intelektuan pasti sadar, buktinya mereka masih berlomba-lomba mencari status, hanya saja mereka (kaum intelektual) belum menyadari.
Melihat realitas itu, betapa banyak penghianat intelektual di Indonesia saat ini. Mereka (kaum intelektual) rela mengabdi pada instansi tertentu untuk mendapatkan status yang diinginkan. Kaum intelektual lebih memilih mengabdi pada instansi, perguruan tinggi, bos, rektor, derektur daripada mengabdi untuk rakyat. Uang lima ribu betapa sangat berharga bagi rakyat kecil. Sementara kaum intelektual bangsa menghabiskan uang 18 miliar dalam satu minggu. Kalau anda (kaum intelektual) tidak percaya pergila ke tempat orang yang membeli ronsokan, di sana anda (kaum intelektual) akan melihat barang-barang bekas yang seharga lima ratus rupiah, tapi mereka senang dengan harga lima ratus rupiah.
Akhirnya penghianatan kaum intelektual tetap meraja rela di bangsa ini, ketika mereka masih memikirkan dirinya sendiri dan statusnya sendiri. mengabdi hanya untuk intansi dan korupsi. Kini tujuan pendidikan sudah melenceng dari awalnya untuk mengabdi pada rakyat menjadi pencarian status.


*Pemerhati sosial

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani