FKY Vs Pariwisata



Oleh: Matroni el-Moezany*

Sebentar lagi Yogyakarta akan ramai dengan berbagai pertunjukan kesenian. Berbagai persiapan sudah dikerjakan untuk menyambut hari FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) ini salah satu bukti nyata bahwa Yogyakarta masih peduli dan mampu menjaga eksistensi kesenian dari berbagai penjuru, khususnya kesenian Yogyakarta sendiri.
Walau pun kesenian berada di bawah naungan dinas pariwisata, akan tetapi kesenian yang ditampilkan di Yogyakarta kadang tidak ada intervensi dari dinas pariwisata sendiri, entah kenapa? Apakah dinas periwisata memang kurang peduli atau tidak mau peduli terhadap kesenian yang ada? Saya sendiri kurang paham. Kadang ketika ada pertunjukan kesenian di Yogyakarta, ada pihak yang kurang gereget terhadap pertunjukan seni. Entah karena mereka tidak memiliki jiwa seni atau jiwa mereka memang gersang dari kesenian, sehingga ketika ada pertunjukan kesenian dinas pariwisata hanya diam.
Jadi saya sepakat ketika FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) dan Pariwisata memiliki peran masing-masing. Mengapa? Karena kesenian lebih mengedenpan masyarakat, kalau dinas periwisata terlalu banyak diproyekkan atau lebih banyak politik uangnya. Artinya dana itu sangat banyak sekali, padahal kalau hanya ingin membangun wisata tak sebanyak itu harganya. Lalu kemana dana itu? Salah satu bukti pada tahun 2006 dana untuk pariwisata jumlahnya miliaran rupiah untuk membangun wisata-wisata di Yogyakarta.
Saya tidak ingin menyebutkan berapa sebenarnya jumlah itu, yang jelas jumlah itu miliaran. Saya tahu benar dari konsultan wisata yang mengatakan bahwa dana anggaran untuk membangun wisata miliaran rupiah. Kebetulan saya dan konsultan wisata itu juga membangun desa wisata di daerah Sleman. Dana pun saya dan konsultan itu mencari sendiri, usaha sendiri. Saya bertanya mengapa tidak membuat proposal untuk dinas pariwisata? Dia menjawab, kalau di dinas pariwisata di samping waktunya lama, banyak prosedur yang harus dilakukan, padahal dana itu untuk wisata, tapi kenapa ketika ada orang meminta untuk membuat desa wisata prosesnya sangat rumit bahkan dirumitkan. Apakah ini bukan politik agar kita tidak selalu membuat proposal meminta dana. Iya kalau di kasih, kalau tidak? Sia-sia saya membuat proposal.
Saya bertanya kembali, gimana kalau kita bekerja sama dengan dinas pariwisata? Dia menjawab, kalau bekerja sama sangat mudah, tapi kalau kerja sama pasti tujuan mereka berbeda. Kalau kita kan untuk membantu masyarakat. Sementara kalau di dinas itu memiliki tujuan lain kadang untuk proyek. Tujuannya sudah proyek bukan masyarakat. Jadi masyarakat kemudian di jual belikan. Jadi itulah yang kadang membuat saya tidak suka terhadap dinas pariwisata, kata konsultan wisata.
Ketika kenyataanya seperti itu, tidak heran kalau masyarakat sampai saat ini masih belum menikmati hasil wisata yang di bangun oleh pemerintah. Karena sangat jauh berbeda, wisata yang di bangun oleh dinas pariwisata dengan wisata yang di bangun untuk kepentingan masyarakat setempat. Suatu bukti, saya sekarang sedang ikut membangun desa wisata di desa Wukirsari. Saya sudah mengdatangi tempat-tempat wisata lain yang ada di Yogyakarta dan Jawa Tengah, seperti desa Candirejo sebagai desa wisata, Glaga, Parangtritis, Sermo dan lainnya. Sangat berbeda, baik dari cara membangun jalan, gedung, gapura maupun dari arsiteknya. Bahkan visi, misi dan tujuannya pun jauh berbeda Apakah di bangun dengan mengikuti cara keinginan masyarakat sendiri atau dengan cara prosedur negara. Pasti beda.
Inilah sebuah ironi di negeri kita, termasuk di Yogyakarta. Karena kesenian yang dipentaskan hanya itu-itu saja sejak dulu, tahun yang lalu saya juga menulis tentang FKY di MInggu Pagi, tapi keseniannya pun tetap sama, artinya belum ada kesenian tradisional baru yang benar-benar mengangkat kearifan lokal. Padahal potensi seni di Indonesia luar biasa banyak. Banyak sekali. Andai saja pemerintah mampu mengelolah potensi-potensi itu, maka saya yakin kemiskinan dan pengangguran akan berkurang.
Anehnya potensi-potensi itu dibiarkan tanpa makna oleh pemerintah setempat. Sebenarnya ada banyak cara untuk mengentaskan kemikinan dan pengangguran, yaitu dengan mengangkat potensi desa menjadi desa wisata tentunya dengan berangkat dari kemandirian dan kreativitas dari masyarakat itu sendiri. Karena ketika kita bergantung kepada pemerintah, maka kita akan diperalat untuk mendapatkan dana dari bergabagi donatur.
Jadi untuk menguak potensi-potensi itu, maka dibutuhkan kemandirian dan kreativias dalam mengelolah. Di butuhkan keberanian dan semangat untuk meciptakan kesenian yang memiliki makna di mata dunia. Salah satunya adalah lewat jembatan desa wisata. Dengan membangun desa wisata yang berbasis kemandirian, kemasyarakatan, cinta linkungan, filosofi dan sejarah, maka kesenian lokal akan mampu di lihat wisatawan asing untuk menikmatinya dengan pelan-pelan dunia akan melihat bahwa kesenian lokal merupakan kekayaan yang luar biasa. Selama ini kesenian lokal di tutup-tutupi oleh pemerintah sendiri melalui korupsi besar-besaran bantuan untuk dana wisata.
Jadi tidak heran kalau kemiskinan, pengangguran dan kesenian yang ada mati berkalang zaman, di bunuh oleh pemerintah sendiri. Dengan demikian, penting untuk menciptakan visi yang membentuk masyarakat desa yang mandiri, kokoh, cinta lingkungan, dan berdaulat. Dengan misi memberikan pemahaman kepada setiap generasi tentang arti kemandirian dan berdaulat, memberi solusi alternatif bagi persatuan di masyarakat khususnya di bidang perekonomian dan kesenian lokal. Serta memiliki tujuan mempromosikan kepada masyarakat dunia atas potensi dan kemudahan seluruh kawasan desa wisata, berperan serta dalam memajukan sekitar pariwisata di Indonesia khususnya di Propinsi Daerah Istimewah Yogyakarta dan mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan.
Sayangnya pemerintah kita, masih belum menyadari kekayaan itu. Bagi pemerintah kita, kekayaan itu berwujud duit, jadi kalau berwujud seni, budaya, dan potensi desa itu bukan kekayaan. Melainkan petaka yang akan menghabiskan duit negara, kalau pemerintah memiliki pemahaman seperti, jangan harap Indonesia akan kaya, makmur, dan sentosa.

*Penyair, Pengelola desa Wisata di Yogyakarta dan Koordinator IKA Al-In’ Am Yogyakarta.   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani