Dilema Sastra Masa Kini



Oleh: Matroni el-Moezany*

Saya kagum sekaligus gelisah ketika membaca Kompas edisi Minggu 27 Maret 2011 yang berisi Sastra Mati di Gudang Sejarah.  Kagum karena masih ada orang yang rela menyimpan naskah-naskah di perpustakaannya sendiri sampai saat ini, walau pun tanpa imbalan (gaji), gelisah karena tidak ada perlindungan dari negera. Sampai saat ini perpustakaan yang di tutup karena alasan materi (tidak ada dana) untuk mengelola.
Ini dilema yang luar biasa, kejadian penutupan perpustakaan dan tiadanya perawatan naskah ini terjadi di negara kaya seperti Indonesia. Pertanyaannya adalah mengapa tidak ada anggaran untuk perawatan naskah-naskah yang ada di perpustakaan? Apakah ketika ada hubungan dengan pendidikan negara memang kurang perhatian bahkan dibiarkan? Padahal perpustakaan merupakan pusat informasi dan gudang ilmu pengetahuan?
Akhir-akhir ini perpustakaan sepi. Entah apa yang menyebabkan hal itu semua terjadi? Ketika perpustakaan umum demikian ngeri (sepi), dan perawatannya pun semakin tak karuan, apalagi naskah sastra yang pada saat ini tidak banyak disukai. Apakah ini kesalahan sastra sendiri atau pengarangnya, sehingga naskah sastra mati di gudang sejarah. Tak ada perlindungan dari negara. Tak ada dana dari negera. Lalu apa kemudian yang membuat negara kita lebih semangat dalam memperjuangkan ilmu pengetahuan? Politikkah? Kekuasaankah? Korupsikah?
Apakah negara akan sibuk dengan persepakbolaan, korupsi, partai, politik kekuasaan yang tak selesai-selesai? Sehingga ketika ada hubungannya dengan daya perkembangan ilmu pengetahuan dan semangat kreativitas, negara beku dan tak mau tahu? Padahal naskah itu merupakan bukti sejarah dan menyimpan beribu peradaban untuk kemudian di baca ulang dan di kritisi kembali, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan terutama sastra menjadi lebih maju dan kuat. Kalau kenyataanya demikian adanya tidak heran kalau sastra selalu di anak tirikan, terpinggirkan bahkan di matikan.  
Padahal kemajuan sebuah negera bukan di ukur dari berapa hebat partainya, politiknya, kekuasaannya, demokrasinya dan korupsinya, akan tetapi proporsional-lah yang menjadi ukuran dari kemajuan dan kedamaian sebuah negera. Proporsional dalam artian semua potensi negara harus dilindungi dan di berdayakan untuk masyarakatnya dan manfaatnya pun terasa di warganya.  
Sastra sebagai salah satu potensi itu, kini hanya menjadi penonton diam, di mata para penguasa negera. Naskah-naskahnya dibiarkan tanpa daya bahkan di biarkan mati berkalang tanah sejarah. Ini dilematisme dari masyarakat sastra, karena akhir-akhir ini sastra selalu menjadi perbincangan dalam hal kematian, literer, dan terpinggirkan. Lantas apakah kita hanya akan diam di ruang politik, kekuasaan dan masalah negera yang tak kunjung usai, karena hukumnya tak jelas?.  
Saya ikut sedih dan merana hidup di negera kaya seperti Indonesia, tapi semua potensi di komersialkan begitu saja, dan dibiarkan sia-sia, tanpa makna, tanpa ada upaya untuk memberdayakan, malah di biarkan, lihat saja orang-orang bukan berlomba-lomba memberi fasilitas murah dan nyaman, tetapi justru mengomersialkan toilet, tempat ibadah, sekolah, parkir, tempat umum, lapangan, stasiun, bandara, museum, pasar dan lain-lain.
Apakah ini yang dinamakan era edan alias gila, sehingga apa pun yang terjadi pada dirinya sendiri, mereka hanya santai-santai saja, bahkan biarin saja apa kata orang, wong aku kerja sendiri, tanpa bantuan orang lain. Padahal mereka bukan Allah yang mampu sendiri, mereka tidak menyarai bahwa dirinya bukan Allah, kita itu manusia yang selalu membutuhkan sesuatu di dunia ini. Ketika kegilaan yang menjadi keseharian mereka, tidak heran kalau kehidupan negara menjadi tak karuan dan potensi-potensi yang ada juga amburadul, tidak jelas bahkan di biarkan di ambil orang lain.  
Begitulah ketika mereka gila, yang penting mereka makan sendiri, hidup sendiri, kalau tidak punya mereka rela mencuri, membiarkan dan membunuh apa pun yang ada di depannya, termasuk temannya sendiri. Saling sikut, saling menghina, dan saling membohongi. Itulah dunia para penguasa kita saat ini. Mereka itu bukan orang-orang bodoh, mereka semua intelektual-intelektual cerdas sekaligus cerdik. Sehingga mereka mampu menaklukkan lawanya sendiri, mulai dari pajak, hukum, politik, partai, dan kekuasaan.    
Sastra yang kini menjadi sasaran “pembunuhan negera” harus lari kemana dan siapa yang mampu melindungi sastra untuk melanjutkan kehidupannya? Apakah harus keluar atau harus melawan. Melawan kemungkinan besar kalah dengan politik kekuasaan, kalah dengan bajingan-bajingan negara, kalah dengan uang, kalah dengan bangunan yang bernilai 1.16 triliun dan kalah dengan orang-orang kapitalis. Kini sastra dilema sendiri, gelisah sendiri, menangis sendiri bahkan membunuh dirinya sendiri.    
Dari sanalah kita akan melihat betapa sastra butuh perjuangan, semangat juang, dan semangat kemandirian, karena saya sendiri yakin sastra pada akhirnya akan menjadi tempat pulang kita semua. Tempat semua orang sangat membutuhkan sastra. Jadi ayo kita saling melengkapi satu sama lain, negera bukan milik pribadi, politik bukan milik pribadi, partai bukan milik pribadi, dan potensi negera pun juga bukan milik pribadi, tapi milik bersama dan harus dikelola secara bersama.  
Kebersamaan-lah yang harus menjadi dasar pijakan demokrasi, sastra dan pijakan seluruh tatanan negera. Karena sekali lagi, kita bukan Allah. Kita manusia biasa yang selalu lapar, haus, dan cemas. Maka dari itulah negara seharusnya mampu mengelola potensi itu semua. Sastra juga merupakan potensi besar dalam membantu perkembangan masyarakat dan negera. Karena seperti apa yang saya katakana di atas, proporsional-lah dalam melihat semua sehingga terlihat ke holitik-kan dan ke-universalan.
Dengan melihat secara holistik-universal, memberdayakan potensi Negara dan kelola secara proporsional maka kematian sastra di gudang sejarah tidak akan terjadi.


*Penyair

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan