Pak Ben



Oleh: Matroni el-Moezany*

Matahari siang sangat terang, jalan-jalan berdebu, udara panas, Yan, di ajak mas Mas Hasta ke jalan Godean, dan ketemuan di jalan Timoho, Yan lebih dulu sampai di sana, menunggu, Yan tak tahu mau kemana dan ke rumah siapa, yang jelas Yan ikut saja ajakan mas Mas Hasta. Di jalanan Yan diam saja, menyetir motor, selain hanya bertanya, masih lurus atau belok dan penuh tanya yang belum terjawab.  
  Sesampainya di lampu merah. Ntar ada rumah warna pink masuk kiri. Akhirnya Yan sampai juga di sana. Yan belum tahu juga apa maksud dari pertemuan mas Hasta dan pak Ben, sesampainya di kantor pak Ben, kita bertemu, dengan asyiknya mereka berdua ngobrol, tentang kehidupan diri sendiri dan proyek yang akan di kerjakan ke depan.
Ruang warna pink di dalamnya penuh dengan triplek, design-design bangunan dan mibel cukup mewarnai berbincangan kita bertiga, jarum jam siang menunjukkan sebelas kosong-kosong. Pak Ben dengan tubuh pendek, memakai kaca mata putih, kira-kira berumur tujuh puluh, masih terlihat sehat dan semangat dalam menjalankan profesinya sebagai designer. Pantai Glaga yang mendesign itu aku, katanya.
Sebagai sarjana arsitek, pak Ben mengabdikan hidupnya untuk pembangunan yang berbasis lingkungan, kembali ke lingkungan, natural. Banyak gambar designnya sendiri yang didukumentasikan dan selalu di bawa ke mana-mana pak Ben pergi. Di tunjukkan kepada orang yang ingin tahu hasil karyanya.
Di kantor Magowo pak Ben banyak bercerita tentang keluarganya yang dulunya orang kaya raya, dan kini kekayaan ini di ambil alih oleh pemiliknya, yaitu Tuhan. Kini pak Ben hidupnya seperti orang biasa, di rumah dan di kantor pak Ben sendiri, bekerja mandiri.
Pak Ben menunjukkan foto-foto masa lalu, mulai dari bapak, ibu, anak-anak dan cucunya, bahkan foto itu di dukumentasikan bersama hasil karya-karyanya, entah apa maksud dari foto-foto itu.
Siang semakin terang, mas Hasta dan pak Ben masih asyik membicarakan proyeknya, di luar motor-mobil mengisi jalan siang, Yan hanya diam, lalu tertawa mendengar obrol penuh makna masa depan itu. Ntar kalau sebelas tiga puluh kita ke rumahku, ajaknya. Sekarang jam berapa? Tanya pak Ben. Masih sepuluh seperempat.  
Lalu kami melanjutkan obrolan penuh makna masa depan itu. Sekitar tahun 1990-an saya dapat proyek yang menguntungkan seratus enam puluh juta rupiah, wah, waktu itu aku senang, aku beli mobil lima, anak-anakku kubelikan motor satu persatu, beli rumah, beli tanah. Kudirikan usaha cetering, semua peralatan aku beli, yang kerja pun keluarga sendiri. isteri saya masak, anak-anakku ada yang memasarkan dan mengantarkan, jadi di rumah lengkap, akhirnya, anakku yang satu tak suka sama kakaknya, karena masih mudah kerjanya hanya di dapur, motunglah anakku yang ke dua, berantakanlah sauah ceteringku. Yang anak sudah tak cocok dengan kerjanya, sementara isteri hobinya jalan-jalan. Catering pun tak jalan, bubarlah usaha cetering pak Ben.
Rasa kasihan Yan muncul dalam jiwanya, tapi itu hanya kasihan yang harus di simpan dalam-dalam, dari sanalah Yan tertarik untuk selalu mendengar cerita pak Ben, di samping Yan masih mudah dan banyak lekuk hidup yang harus di lalui, mungkin dengan belajar dari pengalaman pak Ben, Yan lebih hati-hati menjalani hidup ke depan. Mengelola moral, hidup, keluarga, anak-anak, isteri dan kekayaan perjalanan bersama waktu nantinya.   
Pelan-pelan namun pasti, peralatan cetering terjual satu persatu, walau pun tak ada niat menjual, tapi ada tamu datang ke rumah, ada yang suka beli, kujual saja tanpa ada niat untuk menjualnya. Satu-satu persatu peralatan sudah habis terjual, kini yang ada hanya memori, mulai dari masih sukses menjalankan catering, kehidupan keluarga yang makmur, serba kecukupan, fasilitas serba ada, sampai jalan-jalan ke tempat-tempat wisata yang ada di Yogyakarta semua telah pak Ben kunjungi. Ke Bali, Singapura, pak Ben sudah dikunjungi bahkan tempat wisata di Indonesia.
Kini, kata mas Hasta, aku kasihan, pak Ben di rumah sendiri, isteri tidak mau tahu, tak peduli, dan selalu menyalahkan pak Ben. Sudah tua seperti itu, anehnya pak Ben diam saja, mengalah, dia memang orangnya sabar, selalu mengalah, bahkan karyanya di akui orang pun diam. Wah! Kalau karyaku diakui orang lain, aku tidak mungkin tinggal diam, kata Yan, sambil ketawa.
Sabtu pagi Yan sms mas Hasta, “hari ini mas Hasta di rumah?” Mas Hasta lalu telfon “kalau sekarang aku mau keluar ada acara, kalau kamu mau ke kantor siang aja, karena Hai, Bowo, Putri juga mau ke sini, sekalian makan siang di kantor, gimana? Ya tidak apa-apa, Yan, mau nginep? Tanya mas Hasta. Mmm,,, o ya, besok kan hari Minggu, ya sudah saya ngenep saja, kalau mau nginep kita ajak pak Ben sekalian bermalam di kantor. Oke, aku tunggu ya Yan.” Oke-oke mas.
Pagi pun hilang bersama siang, mas Hasta telfon lagi “Yan, gimana kalau makan siang kita urunan, kamu beli krupuk, Hai buah-buahan, ya tidak engga apa-apa” Yan, membeli krupuk seharga dua belas ribu, Yan langsung berangkat di antar sama perempuanku, sesampainya di kantor, ternyata Hai, dan Bowo belum juga datang, hanya Hendy yang bantu-bantu mas Hasta masak. Di dapur.
Beberapa menit kemudian Hai datang bawa buah dan Bowo menyusul datang, berkumpulah sahabat selava di kantor. Tertawa melepas kangen, setelah lama tak jumpa.   
Yan, ngobrol sama perempuanku, pelan-pelan ada suara yang memanggilnya, Yan, Yan, tapi Yan diam saja tak menghiraukan suara itu, dengan tanpa sengaja Yan ke dapur, ternyata panggilan itu benar, Yan minta tolong aduk sambel itu, kata mas Hasta pelan, ya mas, Yan mengaduk sampai halus, lalu mas Hasta menggoreng, di campur terasi, rasanya sedap dan mantap sekali makan dan untuk krupuk. Karena Yan suka sekali makan krupuk+sambel.    
Jarum jam menunjukkan dua siang, kami makan siang bersama, ada gorengan, buah-buahan, es batu, sambel, krupuk, dan es campur ternyata kebersamaan luar biasa nikmatnya apalagi makan bersama, minum bersama. Makan siang pun selesai, pak Ben baru datang, naik motor sendiri gerimis menemaninya.  
“Bisa naik motor sendiri pak” tanya mas Hasta
“Bisa, pelan-pelan” jawabnya
Mari pak masuk, sapa mas Hasta, pak Ben masuk, langsung makan pak, ya, ya, yang lain sudah”, tanya pak Ben,
“Sudah semua pak”
“Jadi aku makan sendiri ini”
“Ya”
“Sip-sip, aku makan dulu ya”
 “Silahkan-silahkan”
Waktu terisi obrolan sahabat selava, Yan bersama perempuanku, Hai bersama Bowo, sementara Hendi sendiri sedang menikmati es buah.
Pak Ben pun makan dengan santai, sambil ngobrol santai, sambil ketawa-tawa, karena biasa kalau berkumpul dengan sahabat selava, ketawa lepas sudah biasa terjadi, tanpa sunkan sama siapa pun.  
Beberapa jam kemudian, kita tinggal bertiga, Yan, pak Ben dan mas Hasta. Pak Ben masih saja berbicara pengalaman hidupnya, tapi asyik untuk sharing pengalaman untuk Yan yang masih mudah dan banyak waktu untuk mengisi umur panjangnya.
Jam sore kita tidur, cuaca di luar mendung, awan tipis menutup langit, gerimis mengisi waktu, sunyi ruang rumah itu mengajak kantuk tak tertahan, Yan sendiri menikmati hal itu, tak ingin matanya terlelap, karena adzan magrib belum terdengar, bagi Yan tidur senja tak baik untuk kesehatan. Sambil memainkan handphone, Yan menunggu suara adzan menjamui telinga, detik jam yang Yan tunggu juga datang, adzan terdengar sunyi, karena ruang yang Yan tumpangi mengajak suara adzan menemui ladang sunyi telinga jiwanya. Yan berwudu’ mengerjakan shalat tiga rakaat lengkap dengan zikir panjang yang di tutup dengan tangan mengusap wajahnya. Pak Ben dan mas mas Hasta masih nikmat di jamah tangan lelap lelah mulai senja tadi. Sedetik sehabis meluapkan kewajiban manusia yang memiliki keimanan pada Tuhan, Yan pun mengikuti jalan lelap yang terisi pak Ben dan mas mas Hasta.
Jam sepuluh malam bangun, tiga gelas kopi sudah siap menemani ngobrol panjang malam itu. Ternyata mas Hasta bangun lebih dulu, menyiapkan kopi. Yan, pangilnya sambil senyum malam penuh makna detik sunyi.  
Kita bertiga lalu duduk melingkari nampan kopi hanyat. Sambil melempar senyum dan pengalaman pak Ben, kita asyik mendengarkan cerita masa lalu pak Ben yang penuh pesan moral, pelajaran, pengajaran, dan pengetahuan berarti untuk lebih hati-hati melalui jembatan keberlanjutan hidup ke depan.
Yan banyak belajar dari pengalaman pak Ben. Mulai hidup yang serba ada, duit selalu ada, hidup enak, makan enak, jalan-jalan ke tempat wisata di Indonesia, naik pesawat dan naik mobil kemana-mana dan keluarga yang kaya-kaya serta anak-anak yang sudah kerja sukses. Tapi bagi pak Ben hal itu sudah menjadi pengisi ruang masa lalu, kini pak Ben tak memiliki apa-apa, mobil, duit, dan harta dalam hidupnya tak ada, yang ada hanya dirinya yang menjadi museum hidup.


*Penyair, buku antologi cerpen bersama bisa di lihat Rendezvous di Serayu” (2009) “Bukan Perempuan” (2010). Kini tinggal di Yogyakarta.   



Hp; 085233199668

  
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura