Menguak Ketersisihan Seni Tradisional



Oleh: Matroni el-Moezany*

Pada tanggal 9 Maret 2011 kompas, menerbitkan bahwa seni tradisional tersisih. Kalau melihat perkembangan dan perubahan zama dan semakin maju ilmu pengetahuan dan teknologi, kekayaan budaya Indonesia yang seharusnya bisa diberdayakan menjadi kekuatan ekonomi justru semakin tersisih. Inilah yang sangat mengkhawatirkan kita karena akan menimbulkan pergeseran nilai dan fungsi kesenian, baik sebagai hiburan, filosofi, religi maupun fungsi sosialnya
Semarak Budaya Nusantara (SBN) 2011 yang diadakan di Galeri Nasional Jakarta seharusnya menjadi ajang untuk memberi kabar terhadap departeman kebudayaan dan pariwisata untuk lebih memiliki sikap dan bertanggungjawab. Bagaimanapun juga pemerintah tetap menjadi objek berkembangnya seni tradisi, karena penilaiannya terlalu formal, jadi kalau tidak sesuai dengan format yang ada maka, seni tradisional akan di justifikasi tersisih.
Ketika pemerintah tidak perhatian lagi, terhadap seni tradisi, maka masyarakat pun enggan untuk mempertontokan, karena di samping taka da bayaran tak ada semangat untuk mengembangkan. Buktinya kemarena, ketika batik dijadikan warisan budaya dunia, masyarakat berlomba-lomba membali bahkan memakai batik, anehnya perguruan tinggi ikut intervensi mewajibkan memakai batik.
Ini salah satu bukti nyata bahwa pemerintah memiliki peran formal untuk menjaga dan melestarikan seni tradisional yang ada di Indonesia. Walau pun pemerintah mencoba mencari melalui Semarak Budaya Nusantara (SBN), pemerintah mencoba mencari masukan dari praktisi kesenian dan budayawan untuk mengangkat kembali seni pertunjukan tradisional. Ini merupakan trik pemerintah, tapi itu hanya wacana belaka untuk melihat kenyataan di pemerintah tak ada waktu untuk benar-benar mencari dan melestarikan.
SBN diadakan sebagai ajang silaturahmi budaya, memperluas apresiasi seni kepada masyarakat, dan juga untuk mengidentifikasi permasalahan terkait dengan pengembangan seni tradisional. Format ini benar-benar sangat formal dan penuh trik politik yang akhirnya akan sia-sia, jadi kalau Remy Silado, Radhar Panca Dahana, Rizaldi Siagian, dan Sardono W Kusumo harus hati-hati, agar kalian tidak diperalat untuk mencuri perhatian masyarakat dan akhirnya juga tak memiliki makna apa-apa sesuai apa yang di janjikan sebelumnya.
Selain ada pergelaran seni tradisi dan kontemporer dari sanggar-sanggar seni di Indonesia, SBN juga menggelar dialog bertema ”Masih Adakah Ruang untuk Seni Pertunjukan Tradisional”. Dialog itu dihadiri para praktisi kesenian seperti Radhar menyoroti soal karakter seni tradisi Indonesia yang adaptif. Sejak sebelum kolonialisme masuk Indonesia, budaya masyarakat Indonesia sudah menyerap kultur bangsa lain sehingga melahirkan budaya multicultural (kompas, 9/3/11).
Kalau kesadaran kita sesuai apa yang dipaparkan Radhar, mungkin ketersisihan seni tradisional tidak seperti apa yang ada sekarang. Multikuralisme yang ada di negeri ini terlalu di agung-agungkan, jadi tidak heran kalau masyarakat lebih banyak mengesampingkan budaya sendiri dan memakai budaya keberagaman, sehingga tidak jelas, mana yang asli milik sendiri dan mana yang tiruan.


*Penyair

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura