Wajah Baru Masterpiece Sastra Tua



Oleh: Matroni el-Moezany*

Sampai saat ini karya-karya sastra tua “seakan-akan” sudah tak lagi dibaca oleh rakyat, kita hanya mengenal, bahkan ada yang hanya pernah mendengar an sich. Itulah mengapa delapan karya sastra tua dikemas dengan wajah baru secara luks dilengkapi hologram dan sertifikat (Tempo, 2/08/09) untuk diperkenalkan kepada rakyat bahwa sastra masih memilki sumbangsih besar terhadap tubuh Indonesia. Yang pertanyaan adalah akankah karya yang dikemas secara bagus akan laku di pasaran? Padahal karya sastra di Indonesia masih banyak rakyat yang belum suka?
Buktinya ketika saya melihat karya sastra khsususnya puisi yang diterbitkan menjadi buku masih sangat banyak bertumpukan di rak-rak toko buku, padahal harganya hanya 5000, sampai 15.000 rakyat kita lebih memilih beli buku akuntan dan ekonomi, itu penting sih. Inilah sebuah realitas kecil yang terjadi di sekeliling kita. Lantas bagaimana dengan sastra tua ini yang harganya 2,15 juta dengan alasan bahwa budaya bisa diapresiasi dan sasarannya adalah generasi muda.
Kalau kita berbicara apresiasi, semua yang ada di dunia bisa diapresiasi, sejauh kita bisa peka terhadap realitas. Sepertinya sastra tua masih diperjuangkan untuk dijadikan cermin bagi kaum muda. Perjuangan itu menjadi kehormatan bagi sastrawan muda, dan menjadi spirit kepenyairan, mungkin itu yang menjadi visi dari masterpiece sastra tua itu.
Delapan karya sastra yang terpilih ini mewakili tiga angkatan. Angkatan Balai Pustaka untuk karya yang muncul pada 1920-an, seperti Salah Asurahan dan Siti Nurbaya. Angkatan Pujangga Baru pada 1930-an diwakili oleh karya seperti Layar Terkembang dan Habis Gelap Terbitlah Terang. Dan angkatan 45 diwakili dengan Dari Ade Maria Ke Jalan Lain Ke Roma Dan Atheis. Karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di motori oleh Taufiq Ismail. Itulah yang dijadikan karya masterpiece dan diakui oleh komunitas sastra Indonesia. Dan kita dituntut untuk berkiplat pada usia muda para sastrawan saat menuliskan karyanya. Seperti Achdiat K. Mihardja yang saat ini hidup tinggal di Australia.
Kalau kita masih dituntut untuk berkaca terhadap mereka mungkin sebagian dari sastrawan muda bisa, tapi yang menjadi persoalan adalah apakah sama masa muda mereka dengan masa muda kita saat ini, seperti apa konteks realitas yang terjadi pada kita saat ini. Itulah sebuah pertimbangan besar yang saat ini masih basah oleh problem politik sastra. ok, kita berkaca terhadap semangat Inggris yang memiliki karya besar Hamlet dan Romeo and Juliet milik William Shakespeare yang hingga kini tetap digandrungi. Tapi apakah Indonesia mau untuk diajak memperjuangkan sastra kita sebagaimana Negara-negara lain. Saya tidak yakin Indonesia mau untuk diajak kesana (baca:Matroni el-Moezany; Matinya budaya kontemporer di Indonesia, Minggu pagi, minggu iii Juli, 2009).
Masalah lama selalu menjadi kendala dalam sastra yaitu karya sastra sulit dipahami, penuh makna ganda dan multiinterpreteble. Tapi semangat sastra untuk memberi pemahaman sangat panjang mulai dari bahasa yang disederhanakan. Mamas S. Mahayana yang mencontohkan Hamlet yang disederhanakan lewat perubahan bahasa yang lebih mudah. Tapi bagi saya itu bukanlah persoalan, yang menjadi problem kita saat ini adalah betapa minimnya budaya baca sastra di Indonesia, khsusunya puisi. Inilah yang seharusnya dipertanyakan mengapa rakyat kita masih minim dalam membaca karya puisi.
Betapa sangat sulit untuk membangun tradisi kesadaran membaca di Indonesia, entah itu karena dampak dari globalisasi atau karena yang lain, saya tidak menyalahkan globalisasi atau siapa pun. Kita lebih fokus pada persoalan sastra tua sebagai cermin yang sampai saat ini masih utuh untuk kita apresiasi di ranah kontekstualitas sehingga lahirnya makna dalam teks tersebut menjadi nyata di lapangan. Agar Indonesia tahu bahwa sastra juga mampu memberi spirit kehidupan di tengah ketakmenentuan ini.
Kita kenal Kartini, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan Bung Karno dan tokoh lain yang memperjuangkan spirit kepenyairannya untuk Indonesia dan rakyatnya. Tapi apa yang terjadi dengan mereka, hukuman, dan siksaan yang diberikan oleh Indonesa sudah menjadi kata-kata dalam karya mereka. Indonesia memang seperti air, di sisi lain ia sangat sejuk, dan di sisi yang ia akan menghantam tembok-tembok raksasa sampai mereka menyerah dan roboh tak berdaya.
Kalau pun itu menjadi saksi kata-kata, lalu siapakah untuk saat ini yang pantas dijadikan pembuat sejarah sebagai museum kata-kata yang tersimpan rapi oleh Indonesia. Kita masih bertanya-tanya, karena sastrawan kita masih selalu mengemas ulang karya tua yang seharusnya dijadikan referensi teman jejak kita nanti. Tapi kalau kita terus selalu mengemas karya tua, lalu dimana karya sastrawan muda, dimana kreativitas penyair muda sehingga mampu menyamai sastrawan tua, apakah karya sastrawan tua ingin memendam kreativitas sastrawan muda sehingga karya sastrawan tua selalu dikemas sedekian rupa?
Saya berbaik sangka saja, sebab tidak mungkin sastrawan tua tega membuang anaknya sendiri di tengah hutan. Mereka pasti memiliki niat baik. Memberi pelajaran kepada kita untuk mengikuti jejak proses kreativitas sastrawan tua. Itualah semangat kita untuk selalu berpacu dalam memerangi media untuk sharing dalam kepenulisan sastra yang hingga detik ini masih diperjuangkan oleh sastrawan muda. Misalnya Temu Penyair Muda Indonesia yang saat ini ditempatkan di Bangkal Pinang, Bangka. Itulah bukti bahwa kita masih tetap akan bertahan walau pun Indonesia sebagai rumah kami tidak menghargai kami sebagai sastrawan.
Kami memang belum memiliki modal besar untuk berkampanye partai sastra, tapi setidaknya kami diakui sebagai rakyar kecil yang hanya mampu makan dari kata-kata, mencari pendidikan dari kata-kata. Kata yang memiliki makna nyata di dalam jiwa dan rakyat. Kata-kata dalam sastra tidak sama dengan kata-kata yang ada dalam politik. Kata-kata dalam sastra tidak sama dengan janji-janji kosong. Kata-kata dalam sastra adalah kata-kata yang mampu memberi semangat luar biasa terhadap rakyat, dan mampu membuat sejarah baik dari pada Indonesia.


sumber: http://www.qureta.com/post/wajah-baru-karya-agung-sastra-tua






                
   
   
    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura