Pragmatisme Sastra, Adakah?


Di muat di koran Minggu Pagi Minggu V Oktober 2010
Oleh: Matroni el-Moezany*

Ada yang menggelitik pikiran saya, ketika membaca pengantar Antologi cerpen “Tiga Peluru” pilihan Minggu Pagi yang ditulis Joni Ariadinata di paragraf ke enam dari terakhir bahwa seni selalu menghamba pada materi, kualitas seni, selalu berkaitan dengan harga, semakin mahal sebuah karya seni, maka semakin akan dianggap berkualitas karya itu. kalau pertanyaanya adakah? Mestinya ada unsur materi, karena selama ini yang terjadi ketika sebuah karya itu memiliki kualitas tentu harganya sangat mahal, buktinya banyak penyair, sastrawan, dan budayawan Yogyakarta naik daun yang diperantarai kualitas karya itu sendiri, apakah harus menyebutkan siapa mereka? Tentunya tidak usah, sebagai masyarakat sastra kita mengetahui siapa mereka, bagaimana mereka, dan mengapa mereka di Yogyakarta.
Walau pun pragamatisme bukan tujuan dari segalanya, namun tetap tidak bisa dipungkiri bahwa nilai uang di situ pasti ada. Pragmatisme menyelinap tanpa di sadari tiba-tiba ia menjadi keseharian kita, Apakah semua karya itu bernilai pragmatis? Pasti! Koran Minggu Pagi sejak dulu sampai sekarang masih konsisten dengan ruprik cakrawalanya di samping memberikan ruang gerak kreativitas penulis, juga persaingan nama yang tidak mudah, dengan nilai uang lumayan tinggi, mengapa saya bilang tinggi, karena banyak penulis sekaliber Joni Ariadinata dan Abidah dan penulis-penulis tua yang masih ingin memberikan semangat kepenulisan remaja melalui ruprik cakrawala Minggu Pagi.
Mengapa? Disamping mereka memberikan semangat baru bagi kita, juga semangat pencarian nama dan karakter bahkan kualitas tulisan itu sendiri, tanpa menghilangkan semangat revolusi sosial, artinya sastra tidak hanya bergerak di ruang koran tapi bagaimana sastra juga mampu merubah dunia, sebagaimana tugas filsafat. Sastra yang lahir dari empirisisme juga harus memiliki relasi gerak revolusi untuk menyumbangkan untuk mengatasi kegelisahan masyarakat saat ini.
Terbitnya cerpen Tiga Peluru, juga penting untuk mempertimbangkan bagaimana kemudian cerpen itu memiliki daya efek sosial, agar terbitnya buku cerpen yang lain tidak menyesakkan rak-rak buku, tapi memilih roh sosial atau memberi semangat silaturrahmi ilmiah di antara diri sendiri dan orang lain.
Sastra juga harus mampu memberi perubahan-perubahan yang melecut seperti kecepatan globalisasi, dimana kecepatannya tak bisa dibendung dan dikendalikan dan perubahannya tak dapat dipergunakan. Kecepatana sastra jangan sampai seperti itu, tapi sastra melecut dan perubahannya bisa di nikmati dan dirasakan oleh orang lain dan diri sendiri.
Contoh nyata dari dunia melecut adalah krisis kebermaknaan atau efek dari tulisan itu sendiri. Diakui atau tidak, Yogyakarta diam-diam telah mempraktikkan krisis kebermaknaan yang egois. Kelihatannya banyaknya buku sastra yang terbit di koran dan buku sungguh mengakibatkan ketakmengertian kita, bahkan Pram pernah berkata membiarkan karyanya, biarkan dia menjadi anak-anak rohani atau anak-anak sejarah, tanpa memikirkan bagaimana karya itu memberi sumbangsih nyata bagi proses mobilisasi sosial.
Kalau sastra terus seperti itu, jangan heran jika sampai saat ini belum ada sastra yang mampu memberikan semangat sosial, kita kalah satu langkah dengan kapitalisme, dan globalisasi, mereka lebih canggih, sementara sastra tak ingin bersaing. Ayo kita pikirkan bagaimana seharusnya sastra kita ke depan, biar tidak hanya silaturrahmi di masyarakat sastra an sich, tapi bagaimana sastra lintas silaturrahmi.
Begitu badai pragmatisme, globalisasi, dan kapitalisme itu melanda, sastra seakan mati dalam semalam. Di Yogyakarta, sastra sosial begitu saja meninggalakan kita, kita diam saja, tak ada keinginan untuk mengejarnya, masih jauh untuk menangkapnya. Memang kita sudah sampai, tapi belum juga beranjak dari kubangan krisis, yang ditinggalkan oleh kereta kebermaknaan. Ketika karya lahir dari realitas sosial, seharusnya kita memulangkan kembali karya itu ke habitatnya, bersosialisasi tetapi tidak sedikit pun melupakan ayah (realitas sosial) dari karya itu sendiri. Realitas selalu ada dimana-mana namun bagaimana kita menyikapi, memahami, dan meresapi maknanya, agar itu semua mengantarkan kita kesana.
Lalu apa tawaran sastra untuk mengentaskan krisis ini? Apakah kita ingin menawarkan jalan ketiga yang masih kabur seperti Anthony Giddens? Atau biarkan saja karya itu bicara sendiri?. Sungguh rumit melahirkan tradisi kesadaran di dunia sastra. Kita dibenturkan dengan idealisme yang hampir gersang. Belum lagi egoisme berkepanjangan yang merasuki tubuh kita.
Memang banyak para pengkritis sastra, yang masih tergoda mencemooh penulis bahwa sastra memang kabur, dan rumit, mestinya ada gereget untuk melihat kembali karya yang kita tulis, kemudian kita kontekstualisasikan. Tapi masalahnya adalah apa di antara kita yang benar-benar mengkontekstualisasikan karyanya? Jadi  heran jika kita melihat itu sederhana. Padahal jika kita menyadari perkembangan sastra ke depan lebih padat, kompleks dan mendalam bahkan rumit. Jauh lebih penting bagaimana sastra itu benar-benar merakyat, agar tidak hanya dijustifikasi dengan berbagai kata pengantar dari tiap buku sastra.
Dengan demikian, kita tetap membutuhkan peran individu dan orang lain. Dalam abad ini sastra tidak mungkin menyelesaikan semua persoalan. Apalagi negara. Jika sastra ngotot, sebaliknya kita harus mampu menerjemahkan bahasa cerpan dan puisi sebagai bahasa sehari-hari, lalu siapa yang bertugas? Penyairlah, yang harus bertanggungjawab untuk selalu berkomunikasi dengan realitas, agar keberadaan sastra tidak menjadi ruang hampa bagi masyarakat.



*Penyair tinggal di Demangan, Pengok,


HP, 085233199668      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan

Matinya Pertanian di Negara Petani