Kapan Kita Bersama


Refleksi Akhir Tahun
Oleh: Matroni el-Moezany*

Sepanjang tahun 2010 banyak kita saksikan kompleksitas kehidupan. Kehidupan dipemerintahan, keagamaan, kebudayaan, politik dan partai yang semua ingin berjuang demi kebenaran masing-masing. Entah kebenaran itu memiliki makna atau tidak. Tentunya tak pantas menyebutkan apa secara detil kompleksitas itu. Penulis yakin masyarakat Indonesia, mulai dari kalangan atas sampai dusun pun tahu, apa sebenarnya yang terjadi di negeri ini?
Koruptor dan pelecehan seksual yang tak kunjung usai di meja hukum menjadi wajah indah tahun 2010. Walau ada bencana, gempa, tsunami, letusan Gunung Merapi dan Bromo. Di samping banyak problem kehidupan yang lain belum tuntas.
Apakah problem itu hanya berjalan di ruang subyektivitas kata Kierkegaard, sehingga ia menjadi tangisan perangnya melawan para menteri atau hanya sebagai pembelaan bagi orang awam? Problem yang memang tanggungjawab negara dibiarkan saja, belum selesai masalah ini, kita munculkan lagi isu itu. Apakah perjalanan politik harus seperti itu? Kalau harus. Dalam hal apa kita menjalankan politik seperti itu?
Belum lagi kita disibukkan dengan euforia persepakbolaan Indonesia yang terlalu terpesona dengan hasil yang tak seberapa itu. Saya melihat bangsa ini selalu terpesona, sehingga kita lupa bahwa keterpesonaan merupakan perangkap maling indah untuk lupa terhadap kehidupan dan problem kemanusiaan yang sedang terjadi. Di ruang sana mereka tertawa, melihat timnya bermain, tapi apakah mereka sadar di luar sana masih banyak teman-teman kita yang manangis, tak punya rumah dan kelaparan akibat bencana?
Refleksivitas kritis sangat penting ditanamkan dalam diri kita, agar keterpesonaan yang menjadi kehidupan pelan-pelan kita sadari, kalau kita terlalu lama hidup di ruang keterpesonaan, kita akan “mati” di makan lahar dingin keterpesonaan. Jadi refleksi akhir tahun 2010 ini menjadi sangat penting untuk menyadarkan diri kita. Apa yang sudah kita lakukan selama tahun 2010? Mengapa tahun 2010 ini penuh dengan bencana? Apa yang akan terjadi tahun 2011 nanti jika kita  belum bergegas untuk menyadarkan diri? Haruskah bangsa ini hidup dengan berbagai masalah dan hukum yang tak memihak pada rakyat?
Terorisme yang semakin ganas, orang-orangnya pun tak sadar bahwa meledakan bom merupakan dosa besar. Dosa sosial, dosa kegamaan dan dosa kepada pencipta, karena Allah menciptakan mereka (manusia) bukan untuk di bunuh atau saling membunuh satu sama lain, melainkan kita harus saling mengenal, membaca, dan menghormati, inilah ajaran agama yang sebenarnya. Tugas kita hidup di dunia untuk menciptakan kedamaian, keharmonisan, kebersamaan, toleransi, dan saling membantu. Dengan mengerti itu, maka kita akan paham bahwa hidup itu sangat beragam, jadi keberagaman dan keberagamaan itu wajib hukumnya untuk saling menghormati dan saling menghargai.      
Refleksi merupakan lahan paling sederhana untuk mengingat apa yang sedang terjadi. “Mengingat” lebih penting daripada membiarkan berlalu tanpa makna. Bangsa ini yang sudah banyak meninggalkan masa lalu tanpa makna merupakan efek dari keterpesonaan menikmati globalisasi, kapitalisme, hedonisme, individualisme, dan ketidakmandirian.
Kehidupan manusia adalah frustasi atau dalam bahasanya Sartre manusia adalah sebuah hasrat yang sia-sia. Mengapa kemudian refleksi penting? karena kita hidup adalah untuk berupaya membaca dan mempelajari dunia dan benda-benda yang ada di dalamnya dengan mencoba memahami sebab adanya benda-benda itu.
Kalau pun kita enggan atau males karena dunia ini penuh dengan ke-instan-an serba cepat, maka tidak heran kalau refleksi hanya di isi dengan maen-maen hampa, ziarah hampa, silaturrahmi kosong, dan semuanya penuh dengan kehampaan, sehingga kehidupan dipenuhi dengan kerisauan, kegalauan dan ketakutan.
Ketika keberadaan bangsa dan kehidupan dipenuhi problem, tentunya kita membutuhkan obat dan tempat yang damai, tapi kita belum menemukan tempat kedamaian itu. Walau pun ada banyak cara untuk mendamaikan, manusia masa kini sulit menemukannya, karena mereka terlalu jauh berjalan mengikuti jembatan globalisasi, kapitalisme, hedonisme, dan induvidulisme tanpa refleksi yang intens.
Tidak heran kalau mencari ruang kedamaian belum kita temukan, di samping jiwa kita sudah gelap dan kehidupan sudah dipenuhi dengan kehampaan yang terlalu lama. Untuk itu, kita membutuhkan waktu lama, mencari kedamaian dalam menjalin kehidupan di antara kita.
Hidup damai, dan kebersamaan merupakan sikap yang penuh kebijaksanaan. Tapi akankah kita mau untuk melakukan hal itu, ketika problem hidupmu dipenuhi dengan ketidakmenentuan dan kehampaan? Manusia merupakan tempat tertinggi yang memutuskan kebaikan-kebaikan moral dan nilai-nilai etis, kita makhluk yang memberikan aturan, hubungan dan tujuan dalam dunia, kebebasan kita merupakan sesuatu yang mutlak. Sementara kesadarannya lebih penting dengan suatu aktivitas yang esensinya melibatkan eksistensi orang lain (Jean Paul Sartre).
Dengan demikian, kedamaian sebenarnya berada di orang lain, jadi selagi kita belum damai dengan orang lain, jangan harap dirimu akan damai. Ledakan bom dan problem bangsa terjadi karena mereka tak ingin ketahuan bahwa dirinya berbuat salah, padahal kalau mereka menyadari kesalahannya, masalah akan selesai. Masalahnya adalah bisakah ruang dalam diri kita menerima keberagaman dan keberagamaan? Cobalah untuk hidup di tengah samudera, agar kedamaian selalu menyertaimu. Karena di tepian samudera gelombang selalu berhembus, jadi sangat sulit menciptakan kedamaian.
Kesuksesan seseorang dalam menciptakan kebersamaan dan kedamaian dalam suatu bangsa, bukan di ukur siapa presiden dan menterinya, tapi di ukur seberapa besar keberpihakan mereka terhadap orang lain (rakyat) dan menegakkan hukum dengan seadil-adilnya. Sebenarnya kemakmuran suatu bangsa bukan berada dikebijakan dan undang-undang, tapi kemakmuran ber-ada di rakyat itu sendiri, ketika rakyat makmur bangsa pun makmur.  
Jadi, keberanian dan ketegasan seorang pemimpin itu sangat penting. Agar mimpi dan keinginan untuk merubah tidak sia-sia. Akankah kita selalu bermimpi dan di bayang-bayangi perubahan?


*Penyair dan koordinator IKA AL-In’Am Jogjakarta


Hp; 085233199668
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani