Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany




Bukan Ini dan Itu

Dari gerak ayun
Bergoyang api yang menyala
Dengan kata tajam

Diri yang hampa tanda
Cakrawala kosong hakikat keterulangan,
Sementara semesta  kata terus diciptakan
Dari sumber api yang membentuk cakrawala
Meskipun satu keberadaan
Yang membentuk gelombang
Bagi garis-garis pengertian
tak memberikan imaji apapun
Bukan ini dan itu yang berlalu pelan-pelan

Keselaluan memberikan bisik senja
Untuk membuka lembaran baru
Walau tak sebesar harapan waktu

Bisik hari tak terlukis sistematis
Oleh kekinian yang tak menyapa
Sementara semangat masa terus menggumpal
Menjadi darah yang tak bisa luka

Kehampaan yang meluka
Terus menelaah di haluan kesementaraan
Membaca arah angin di pohon akasia

Sedang aku duduk sendiri menjadi luka
Karena menertawakan kehidupan yang penuh bara

Di ruang lain ada banyak diskusi
Membahas bagaimana seharusnya
Karena ini dan itu adalah kita seutuhnya
Sampai detik ini aku belum menemukan ruang baru
Untuk menyimpan tubuh berdarah
Kekinian memang penyakitkan, tapi
Apa yang disimpan hidup ini, seseorang tak ingin pulang
Membangun rumah harimau dan mencatat sederetan peristiwa
Hanya dijadikan sejarah luka melukai

Jogja, 2010

Kebertanyaan yang Tak Terjawab

Tak seharusnya aku bayangkan sesuatu
Yang membuat jiwa gelisah dan merajau
Bintang tak selama kurengkuh
Sementara dipertigaan-perempatan peminta masih gembira
Membiarkan tangan menjadi tempat kekayaan

Tuhan memang tak perlu ditanyakan maksud
Tapi apakah salah sedikit bermaksud
Untuk memastikan bahwa mereka ada bersama kita
Hidup berdampingan menjadi masa yang tak biasa

Kita perlu untuk menghadirkan rasa
Sebagai bekal keberlanjutan kata
Walau tak ada yang menyuruh membias semesta, tapi
Apakah aku akan meng-iya pada hidup?

Berisilah semua kemenanyaanku
Untuk bersimpuh riuh menjadi bisu
Di tengah kekuatan para pemburu

Membiarkan, tak selamanya baik
Sebelum aku mampu menyentuh sesuatu yang paling  terdalam
Itulah hakikat kemenyatuan;
Kemenyatuan bisu dan pemburu
Yang selamanya akan jadi batu

Tak ada jalan menuju keberagaman salju
Selagi kita masih mementingkan sendiri
Untuk mengisi ruang itu, dan mengatakan
“Aku pemimpinmu” yang tak bisa tanggungjawab

Birokrasi memang terlalu kejam
Engkau akan di buang jika tak searah
Padahal banyak angin yang memberi tujuan
Untuk sampai pada kemenangan waktu

Tapi mengapa engkau tak mengikutiku; kata angin

AC terlalu nyaman, sementara engkau terlalu alami
Untuk seorang pejabat tinggi seperti aku  

Aku akan tetap di sini walau tanpa angin yang memeluk
Karena engkau biasa dari ketakmengetian dan membiarkan kenikmatan mati
Jogja, 2010
Kekinian yang Membara

Menyinari kami
Kata-kata datang ke dalam cakrawaku
Sementara mengalir di jiwaku tanda-tanda
Sesungguhnya hidup ini tajam kejam
Tiap aku berjalan
Jiwaku menggigil ngiri dan tertawa
Kepalaku terbakar
Berjatuhan airmataku
Airmata yang bukan simtemental, tapi
Airmata tungganglanggang sorak-sorai
Sementara aku berpuisi dan bicara tanpa arti
Dengan kepastian dan kelembutan yang tak terkatakan

Jogja, 2010

Sepasang Waktu dalam Sepi

Yang aku takutkan bukanlah kesedihan
Bukan Kehilangan wanita yang aku cintai
Bukan pula aku tidak mencinta
Tapi
Yang aku takutkan adalah
Kehilangan kesunyian dalam hidupku

PSPK UGM, 2 Desember 2010

Keberpihakan waktu
Buat Mz Hasta yang terluka dalam waktu

Tak selamanya menjadi duri

Simpan ia baik-baik di bilik jiwa waktumu
Keresahan waktu adalah keresahan diri
Berilah diri untuk membaca dan mencari
Di ladang sunyi
untuk menguak sisi keindahan yang bersembunyi di dalamnya

Kadang ia membutuhkan ruang
Yang tak terbatas untuk hidup bersama
Di waktu yang sama dan di ruang yang sama


7 Desember, 2010, KKY, UGM



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani