Puisi dan Relasi Realitas


Oleh: Matroni el-Moezany*

Bagi puisi, kenyataan selalu sudah menampilkan dirinya dalam kata-kata. Realitas adalah semata-mata soal modus pengucapan dan materi. Maka, ketimbang mencari ketelanjangan sebuah rahasia, puisi mengerahkan tenaganya untuk menelusuri modus pengucapan baru.
Puisi tidak melentingkan kita ke tanah tak berjejak. Ia tak berpeluh-peluh mengejar kebenaran sejati. Ia tidak melakukan penyingkapan apa pun. Yang ia kejar semata-mata kosakata baru dari realitas itu sendiri. Refleksi atas puisi adalah awal keberlanjutan. Karena dengan merefleksikan realitas kita akan menemukan banyak wajah yang tertuang dalam puisi dan mampu mempengaruhi pembaca.  
Gaya penyajian puisi yang singkat dan padat misalnya, sangat berguna. Gaya singkat dan padat sebuah puisi mampu memberi sentuhan estetis yang luar biasa terhadap realitas. Karena bentuk tulisan tidak menentukan kepenyairan. Karena penulis prosa pun bisa melahirkan penyair.
Persentuhan puisi dengan realitas ditentukan oleh roh yang melekat di tubuh kata-kata dalam puisi. Roh yang melekat pada puisi bukan sekadar kecengengan dari gaya ungkap sentimentil. Akan tetapi,  lebih terkait dengan kandungan makna dan nilai yang luas dan mendalam. Roh kata merupakan segmentasi tersendiri di dalam kepenyairan.
Dalam perspektif romantisme menunjukkan bahwa jalinan tese kepenyairan yang menggali pengalaman kemanusiaan seperti sedih, senang, tangis, tawa, penindasan, kemiskinan, dan sebagainya. Jadi, ketika realitas tersentuh oleh rasa kemanusiaannya karena menemukan sesuatu di dalam asosiasi, konotasi, dan  simbolisme yang diterapkan penulis puisi, pada dasarnya pembaca telah bertemu dengan sebuah nilai puitik yang di tulis oleh si penyair.
Karena sampai hari ini masih ada puisi yang hanya berkutat di ranah romantisme hampa, atau dengan kata lain romantisme kosong. Itulah mengapa puisi selalu jauh dari realitas. Jadi relasi penyair dan realitas selalu ada jarak yang di barasi oleh simbol yang kosong dari realitas. Simbol dalam puisi haruslah membumi, artinya bagaimana ketika realitas membaca sudah meraba bahwa maksud puisi seperti ini-itu.
Benda dan realitas yang di anggap remeh kemudian ditampilkan dengan berbagai bentuk keberkmaknaan yang menyimpan kejutan-kejutan. Puisi yang tampak bermain-main seperti itu, namun menyimpan kebermaknaan yang tak terduga.
Dunia kata-kata yang digeluti penyair. Realitas seharusnya bagi penyair bertubuh ceking yang biasa disapa puisi. Sehingga puisi yang lahir memiliki makna yang luar biasa, itu terlihat dari kemengertian realitas ketika membaca puisi. Sebab kesia-siaan dalam menulis puisi akan terjadi, katika penyait menulis puisi tanpa dilandasri realitas itu sendiri.
Karena sangat berbeda mana puisi yang lahir dari realitas dan mana yang hanya romantisme kosong. Setiap orang bisa menuis puisi tanpa harus membaca terlebih dahulu buku puisi. Misalnya putus cinta, kelaparan, masalah orang tua. Itu bisa ditulisa oleh siapa pun tanpa harus membuka buku puisi. Jadi sangat sulit untuk menentukan dari mana kemudian penyair lahir, apakah karena Koran membuat puisinya atau karena dia menulis puisi yang lahir dari realitas.
Mereka sama-sama menulis puisi. Di sinilah sebenarnya masalah kita, siapa sih sebenarnya penyair itu? Apakah semua orang yang menulis puisi? Apakah orang yang putus cinta lalu menulis puisi di muat Koran, menjadi penyair?.
Kalau saya boleh menjawab, menurut saya penyair itu lahir dari pergolatan rasa dan benturan imaji yang kemudian di eksplor dengan berbagai simbol kata-kata dalam puisi. Dengan kata lain, ada kesalingterkaitan antara realitas dan puisi. Penyair harus benar-benar menulis apa yang terjadi di ranah realitas. Karena realitas itulah yang memberi roh terhadap puisi.
Walau pun realitas itu menegaskan keberagaman gaya dan tema dari puisi, tapi paling tidak puisi berangkat dari pergulatan realitas. Itu yang penting. Kalau pun tidak ada yang lahir dari realitas itu bukanlah salah penulis, tapi kurangnya sensitifitas dari penulis puisi. Bagaimana pun kepekaan terhadap realitas itu sangat penting, untuk menunjang kebermaknaan puisi itu sendiri.
Sehingga tidak heran kalau kelahiran angkatan sastra terbaru itu kurang mendapatkan posisi yang kuat dalam sejarah sastra Indonesia, karena ciri estetik yang menyatukannya dianggap kurang meyakinkan. Korrie, sebenarnya sudah mencoba merumuskan ciri estetik yang menyatukan angkatan tersebut, namun karena wajah heterogen sastra Indonesia lebih tampak dipermukaan, ciri estetik yang dikemukakan Korrie kurang meyakinkan untuk menandai lahirnya sebuah angkatan baru.
Kita tidak harus berpikir siapa penulis yang menghasilkan tulisan dahsyat yang lahir dari realitas. Karena Indonesia sudah terlalu banyak contohnya. Rendra, Pram, Goenawan, dan yang seangkatan dengan mereka. Pada sisi lain, fenomena fiksi Islami terus melahirkan karya-karya best seller, meski secara kualitas dipertanyakan, juga menampakkan tanda-tanda kejenuhan pembaca.
Walau saat ini perbincangan ataupun polemik tentang puisi sepi, bisa jadi ini karena secara  estetik tidak ada nuansa baru yang lahir dari realitas yang kemudian mengejutkan dan mampu menghentak perhatian para pembaca, pengamat dan kritisi sastra. Pembaca, pengamat atau  kritisi sastra masih melihat sajak-sajak yang bertebar itu hanya memiliki kualitas estetik yang romantisme kosong. Alias, tidak ada kejutan estetik baru, yang menonjol di antara ribuan sajak yang dipublikasikan itu.
Itulah mengapa lahirnya sebuah puisi tanpa dibarengi dari pergulatan realitas tidak akan menghasilkan gaya estetik baru dan tiada roh dari puisi itu. Dan itu pasti, mengapa puisi yang mampu menggugah Presiden Amerika dulu, karena puisi yang dibacakan itu menampilkan nuansa rakyat dan realitas bangsa. Maka menulislah untuk realitas dan dari realitas karena itulah yang memberi roh dahsyat terhadap puisi kita.




*Penyair tinggal di Yogyakarta  





    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani