Perjalanan Spiritualitas Puisi


Oleh: Matroni el-Moezany*

Penyair adalah orang yang mampu menciptakan atau melahirkan puisi. Cerpenis adalah orang yang mampu menciptakan cerpen. Novelis adalah orang yang mampu menciptakan novel. Esais adalah orang yang mampu melahirkan banyak esai. Seniman adalah orang yang mampu menciptakan seni. Dan begitu seterusnya dalam dunia sastra.  
Sebenarnya penulis hanya ingin fokus saja menulis spiritualitas dalam puisi, agar pembaca tidak bingung, siapa dan bagaimana sebenarnya sastra. Banyak wacana yang bergelimang mengatakan bahwa puisi merupakan karya yang sangat rumit dan sulit dipahami, selintas itu memang benar, tapi apakah kebenaran itu tidak boleh untuk dipertanyakan kembali? Tentunya boleh. Kecuali kebenaran itu sendiri.   
Bahkan dalam satu diskusi ada teman saya mengatakan bahwa puisi tidak memiliki makna dan fungsi apa-apa. Apakah memang benar begitu. Kalau pun benar, mungkin orang itu belum pernah merasakan berjalan dan “tidur bersama” bahkan hidup bersama dalam puisi.
Sejauh yang saya jalani, puisi benar-benar memiliki ruang yang sangat luas. Berjalan bersama puisi benar-benar membutuhkan pemikiran dan renungan yang tidak sembarangan, kita membutuhkan energi panjang untuk menempuh jarak yang sebenarnya dekat yaitu spiritualitas diri.  
Dalam hal ini, puisi mampu menggiring kita mencapai puncak spiritualitas, artinya sulit dan rumit menjelaskan bagaimana kebertemuan puisi dengan spiritualitas. Sama halnya dengan hubungan kita dengan Allah yang tidak semua orang harus mengetahui. Tapi hanya sebatas kata (simbol), karena kata-kata belum mampu memberikan penjelasan yang jelas bagaimana sebenarnya pertemuan aku dengan spiritualitas puisi.
Begitulah ketika kata-kata ingin menyentuh spiritualitas, karena kata-kata memiliki keterbatasan, sulit menjangkau, puisi mampu mengantarkan kita ke alam spiritualitas.
Perjalanan yang penuh haluan dan warna membuat penyair mampu menskplorasikan imajinasinya dalam bentuk puisi “transendental” yang kemudian membuat kita sadar bahwa perjalanan itu memang penuh keberagaman, dan keberagamaan, jadi kita di tuntut untuk jujur pada diri sendiri dan orang lain. Kejujuran boleh kita sampaikan lewat puisi, dan cerpen atau karya sastra yang lain, karena untuk mengeksplorasikan kejujuran tak membutuhkan biaya mahal. Tapi yang rumit melaksanakan kejujuran itu sendiri.
Puisi merupakan kejujuran yang lahir dari penyair, kalau sekarang banyak orang hidup di dunia materi yang penuh keramaian tanpa menyadari hal itu, penyair lebih memilih kesunyian untuk menikmati keramaian dunia.
Spiritualitas puisi adalah sebuah konsep “sederhana” dalam proses kehidupan penyair. Dari tiada menjadi ada. Dari lahir, tua, lalu kembali pada sang pencipta. Puisi dalam perjalanannya lebih mengeksplorasi proses spiritual. Mengapa kita selalu di tuntut untuk berpikir, merenung, dan mengingat karena keberagaman adalah kehidupan. Ketika kita berhadapan dengan hidup itulah sebenarnya keberagaman. Penyair sebagai salah satu jembatan untuk memaknai hidup melalui puisi dan tanda-tanda kemudian sampai di spiritualitas.
Padadasarnya puisi berakhir di spiritualitas, hubungan manusia dan Allah. Perjalanan panjang yang di tempuh penyair tidak serta merta hampa, tapi bergelutan dengan diri sendiri dan dunia luar biasa rumit. Tidak mudah menyelesaikan satu masalah dengan satu keputusan. Teks yang ada kadang tidak sesuai dengan realitas.
Puisi merupakan proses perjalanan hidup yang mengikuti pola keilahian untuk menjawab kompleksitas itu. Dari sinilah pemikiran ini muncul dan melingkupi penyair. Abstraksi dalam puisi merupakan refleksi penyair. Perubahan dan gerakan hidup tidak hanya dalam satu titik. Keberagaman yang dilahirkan merupakan keberlanjutan hidup yang selalu bergerak dan berubah. Keberagaman yang dihasilkan lebih bersifat monokromatik, yaitu sebagai refleksi-kritis atau refleksivitas dari konsep pemikiran spiritualis dalam menjalani kehidupan.
Puisi adalah manifestasi penyair. Memiliki sejarah, dan memiliki perjalanan panjang, puisi tidak serta merta lahir secara tiba-tiba, tapi membutuhkan endapan-endapan yang lama untuk lahir ke bumi, menjadi anak-anak penyair. Jadi benar, puisi merupakan karya orisinil yang dilahirkan dari perjalanan hidup. Ketika kita membaca puisi dan menikmatinya, tentunya tak ada bosan-bosannya untuk selalu melihat, membaca dan menikmati. Inilah yang membedakan puisi dan produk labolatorium.
Sebenarnya bukan pada kata hakikat dari puisi itu, tetapi sucinya tinggkah laku yang mencerminkan bahwa kita benar-benar sadar, menyadari dan menciptakan kesadaran untuk apa puisi itu di lahirkan.
Prilaku ini lahir karena kontribuisi puisi terhadap perjalan sosial sudah banyak dipengaruhi dari berbagai aspek. Eksistensi, agama, budaya dan politik. Maka lahirlah puisi untuk membaca realitas itu dengan jalan yang berbeda. Ajaran esensial puisi yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan. Sejauh yang saya pahami, kontribusi puisi dalam mengantarkan ke spiritualitas adalah kedamaian, kebahagiaan, ke-enjoy-an dan kebersamaan.
Puisi mengajarkan pengabdian pada Tuhan dengan jujur, apabila keyakinan penyair tulus, mengidamkan orang mampu menciptakan pendamai, dan mengidamkan bisa menjadi penyair sebenarnya, maka spiritualitas puisi sosial akan menjadi keseharian kita. Perjalanan puisi tidak hanya di ruang cinta, tetapi puisi memiliki banyak ruang yang harus kita sadari dan kita baca untuk menemukan spiritualitas puisi yang sebenarnya.
Dengan demikian, era baru yang dipenuhi dengan perdamaian, keadilan, kebersamaan, akan segera lahir. Dan penyair akan gembira demi menjumpai Tuhan secara langsung. Semoga perjuangan spiritualitas penyair dan harapan bisa menjadi kenyataan. Amien.


*Penyair dan Koordinator IKA Al-In’Am Jogjakarta


Hp’ 085233199668

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani