MBAH MARIJAN DAN HUMANISME EKOLOGIS

Oleh: Matroni el-Moezany*

Kesetiaan, kesederhaan, keberanian, ketulusan dan pengabdian, tanpa gaji, tanpa fasilitas, tanpa tanda jasa itulah yang dijalani Raden Ngabehi Surakso Hargo, yang di kenal Mbah Marijan, yang kini meninggalkan kita yang kemudian berbuah keteladanan yang memang pantas di tiru oleh pemuda bangsa Indonesia. Keteladan yang tak banyak orang mampu mencapai status itu.

Teladan merupakan barang langka di negeri ini, dimana materialisme menjadi Tuhan di atas segalanya. Kesetiaan dan pengabdian selalu diukur dengan penghasilan atau materi. Selama kebutuhan perut belum terpenuhi, jangan harap kesetiaan akan ada dan pengabdian mengiringinya. Era globalisasi dan modernitas membuat mindset kita cenderung lebih kepada memenuhi kebutuhan ragawi daripada rohani atau lebih pada kebutuhan materi daripada spiritual. Sebagian besar dari kita terlena oleh bujuk rayu gombalisasi yang hanya mementingkan nafsu duniawi. Nafsu itulah yang membuat kita saling bertempur, saling sikut-sikutan, saling bersaing memperebutkan pepesan kosong yang tiada arti.

Mbah Marijan adalah orang pertama yang lulus dengan predikat memuaskan dari universitas kehidupan. Kehidupanlah yang membuat Mbah Marijan mampu menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat. Beliau mampu menjaga dirinya dan alamnya karena Mbah Marijan benar-benar paham apa sebenarnya kehidupan.

Mengabdi bukan hanya pada Tuhan, tapi pada alam dan lingkungan itu sangat penting, tugas manusia di dunia ini menjadi penjaga dan pengabdi. Penjaga dalam segala hal. Mbah Marijan menjadi pemenang dalam lomba menjaga. Sebab jarang kita menemukan orang yang benar-benar tulus menjaga, keluarga, dan alam. Kesetiaan menjaga dan mengabdi tanpa pamrih patut ditiru oleh generasi muda kita yang mulai terkikis oleh budaya materialisme dan budaya lupa.

Pengabdian, kesetiaan, ketulusan, pada alam dan orang lain, patut untuk kita baca lebih dalam, mungkin Mbah Marijan tidak menggunakan produk ilmiah atau labolatorium, beliau belajar dari kehidupan, belajar membaca alam, mampu membaca tanda-tanda alam. Itulah yang dipelajari Mbah Marijan selama hidupnya. Mencari sosok seperti Mbah Marijan di negeri ini seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Kalau ada nobel untuk kesetian dan pengadian, Mbah Marijan-lah adalah orang pertama sebagai pemenang.


Kita patut merasa kehilangan karena sulitnya menemukan sosok yang rela berkorban nyawa demi kesetiaan dan pengabdiannya pada alam (gunung Merapi). Salah satu bahwa Mbah Marijan benar-benar setia “Kita semua tidak ada yang dapat mendahului kehendak Tuhan, sehingga tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi, oleh karena itu sebaiknya kita meminta pertolongan dari-Nya”, dan juga “Jangan sebut awan panas itu sebagai wedus gembel, itu penghinaan terhadap Allah dan ciptaan-Nya”. Jangan bilang Merapi mbledos, kata-kata seperti itu hanya akan membuat Allah semakin tak senang” (Metro TV, 14/5/06). Ini membuktikan bahwa Mbah Marijan benar-benar setia dan bersahabat dengan alam.

Alam yang selama ini kita anggap tak bernyawa, bagi Mbah Marijan alam memiliki tubuh bernyawa yang harus dipelihara dan diberi makan, dan kita di tuntut untuk mengabdi pada alam. Alam bukan untuk ditebang atau dibakar, tapi bagaimana memanfaatkan alam sesuai kebutuhan. Kesetiaan dan kecintaan Mbah Marijan terhadap profesinya tidak ada yang dapat meragukan. Telah berpuluh-puluh tahun beliau mengabdikan diri untuk memelihara dan mengawasi aktifitas Gunung Merapi. Entah sudah berapa kali Mbah Marijan menyaksikan dan merasakan akibat dari aksi Merapi, bahkan di tahun 1994 ketika awan panas sudah melintas di atas rumahnya, Sang Juru Kunci ini tetap setia dengan tugasnya.

Terlepas dari kontroversi mengenai benar salahnya sikap Mbah Marijan di atas atau pujian saya yang berlebihan. Aku pribadi sangat salut terhadap Sang Juru Kunci Merapi ini. Jika benar Mbah Marijan wafat, dia telah menepati janjinya untuk menjaga Gunung Merapi sampai akhir hayatnya seperti yang telah dijanjikannya kepada Sultan Hamengku Buwono IX pada waktu diangkat sebagai juru kunci Merapi. Mbah Marijan tipikal yang benar-benar setia pada kata-kata dan janjinya sendiri. Kalau kita bandingkan penguasa bangsa ini, tak satu pun di antara mereka yang setia pada janji-janjinya. Semua “mati”, demokrasi “Mati”, kesetiaan “mati”, entahlah apa yang ditunggu di negeri? Kalau bukan hanya kehancuran.

Ketika Kesetiaan, kesederhaan, keberanian, ketulusan dan pengabdian tidak menjadi karakter penguasa, jangan harap bangsa ini menjadi makmur. Kenapa sikap dan karakter itu ada di diri Mbah Marijan yang mengabdi pada warga dan lingkungannya? Andai saja karakter itu menjadi ciri khas bangsa kita, betapa makmur dan kayanya masyarakat Indonesia, tapi ini hanya imajinasi atau andai-andai sulit rasanya untuk merealisasikan pengandaian seorang penulis seperti saya.

Imajinasilah yang membuat kita mampu bersahabat dengan alam, dengan sesuatu yang paling terkecil di dunia ini, Mbah Marijan adalah sosok yang setia dengan imajinasinya sendiri. Keyakinan Mbah Marijan untuk menjaga Merapi, ada unsur imajinasi yang mendorong untuk setia dan mengabdi pada alam. Imajinasilah yang terus membimbing kita untuk menjaga dan membangun kesetiaan, kalau negeri ini belum setia, dan berani, mungkin imajinasi di negeri kita sudah “mati” kering dan gersang.

Mbah Marijan sebagai sosok yang imajinatif, jadi pantas kalau beliau memperoleh predikat yang lebih tinggi daripada para penguasa bangsa ini. Penguasa yang hanya berkuasa pada kekuasaan, tapi tidak mengerti apa kekuasaan itu sendiri?. Mungkin benar kalau kita belajar mengandi dari Mbah Marijan. Imajinasi-spiritual-humanitas yang dibangun Mbah Marijan membuat warga belajar untuk mengabdi pada alam dan lingkungan, sehingga kita merasa kehilangan sosok yang imajinatif itu.


Selamat jalan mbah Marijan, semoga hatimu bahagia menuju keabadian, pengabdian dan ketulusan yang sejati. Wafatmu dalam sujud menghadapNya semoga menjadi khusnul khotimah di alam sana. Amien.




*Koordinator IKA Al-In’Am Jogja,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura