Mencari “Juru Kunci” Sastra Indonesia



Oleh: Matroni el-Moezany*

Tempat-tempat imajiner. Sudah lama saya lakukan. Tepatnya sekitar 1993.  Sewaktu di Yogyakarta saya melakukan bersama Zainal Arifin Thoha (alm) dan teman-teman.
Dalam perjalanan yang lebih khusyuk belakangan ini, terpetik dari perjalanan itu kesimpulan awal sekaligus akhir bahwa setiap penulis dan pengarang pastilah, harus memiliki waktu khusus, memiliki tempat dan semesta ruang di mana perjalanan imajinasi lebih sistematis, kritis dan tajam. Di sanalah ada pilihan untuk berhenti dan meninternalisasikan. Internalisasi tentang perjalanan sistematis dan serumpun peristiwa yang ditransendensikan menjadi buah karya.
Demikianlah saya kemudian mendengar ada orang yang suka sekali menjadikan bak mandi sebagai kubangan imajinasi, seperti yang dilakukan Archimedes di kota Syracuse, melahirkan proklamasi pengetahuan terpenting: Dan, Karl Marx dengan dingin membiarkan satu per satu keluarganya mati kelaparan lantaran bertahan dalam tempat pemujaan, Perpustakaan London, untuk tujuan agung menuntaskan Das Kapital (Muhidin M.Dahlan).
Indonesia banyak pengarang yang mampu melahirkan karya dahsyat. Seperti Bumi Manusia, Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer. Dan mungkin Pram yang pantas menjadi juru kunci sastra Indonesia saat itu. Pertanyaan kemudian siapa penerus bahkan pengganti Pram? Untuk saat ini belum ada. Andre Hirata karena bukunnya best seller, Andrea bukanlah tipikal pejalan yang keras, atau Ayu Utami, dan Habiburrahman Al-Sirazi dan pengarang masa kini, mereka belum cukup sebagai penerus apalagi pengganti Pram? Jadi pertanyaan siapa Juru Kunci sastra Indoesia masih menjadi tanda tanya besar dalam percaturan sastra Indonesia sampai saat ini.
Kreator seharusnya berusaha menjelajahi, menapaki jalanan berbatu, mencium realitas, mencecap ulang percakapan-percakapan tokoh-tokoh cerita, mencicipi makanan, dan yang lebih penting dari itu menemukan kehidupan nyata dari sebuah fantasi. Agar tidak terkesan ingin mencari popularitas melalui karya itu. Karya Pram mampu menyentuh jiwa dan realitas rakyat, dia benar-benar murni realitas, tanpa ada unsur intertainment, apalagi sampai di film-kan. Makanya Pram bilang bahwa karya itu anak-anak rohani, jadi Pram tidak memikirkan apakah karya dia laku atau tidak, tapi bagaimana karya dia mampu menyentuh jiwa rakyat kemudian mampu merubahnya ke arah yang lebih positif.
Sebuah novel yang di filmkan, jika kita belum mampu menyetting apalagi si sutradara belum benar-benar menyatu dengan karya itu, jangan harap film itu mampu merubah realitas, paling-paling sekali nonton kita bosan melihat lagi. Hanya sekali dalam hidup.
Berbeda dengan perjalanan biasa yang dipandu oleh peta pasar, Pram sepenuhnya memercayakan karyanya sebagai pembimbing langkahnya menyusuri seluruh ceruk realitas yang pernah digambarkan dalam karyanya sendiri. Sungguh, Pram percaya tanpa syarat bahwa pengarang besar selalu membaca perjalanan kecil dengan wawasan holistik-universal atau membaca sesuatu yang paling terkecil di dunia ini, siapa sangka kobaran yang sederhana dapat membanjiri semesta. Dan, tanpa disadari, metode mengarang dan kadang aneh yang dipilihnya, telah membuat Pram menjadi pengaram buku sekaligus pemandu realitas waktu itu.
Dia memberikan pemaknaan lain dari apa yang disebut ”Indonesia”. Ia menuntun dunia untuk melihat ”Indonesia” dari mata hati diri sendiri dengan segala jerihnya menghidupkan cerita-cerita realitas kehidupan dari sebuah zaman yang silam. Dan, setiap realitas selalu memiliki penutur yang lihai, penutur yang membangun dasar sebuah bangsa dengan sihir kata-kata, intensitas percakapan, tokoh-tokoh fiktif yang hidup, serta mitos-mitos yang mengelilingi pemikirannya.
Mencari di Indonesia

Jika setiap Negara memiliki tokoh sastra yang luar biasa. Indonesia siapa? Kita belum menemukan juru kunci yang kita harapkan. Kalau kita ingin menjadi juru kunci, mumpung belum terlambat, mari kita jalankan realitas itu dengan sebenar-benarnya, agar realitas tidak di ambil oleh Amerika, Jerman, Eropa, Cina dan India. Kita perlu untuk memupuk diri sendiri agar lebih terangsang dalam memberikan roh pada rakyat melalui mulut kata-kata.
Walau pun ada pengarang yang mampu seperti Adi Negoro dengan Melawat ke Barat, Gerson Poyk dengan Catatan Perjalanan dari Padang Sabana Timor dan Sumba dan Catatan Perjalanan Daendels. Mereka belum mampu memberikan roh sepenuh-penuhnya pada realitas waktu itu. Apalagi pengarang sekarang yang terlalu egois,sok pintar, dan indvidualis.
Indonesia punya banyak setumpuk karya yang selevel dengan Pram yang memang intens merekam hiruk-pikuk kehidupan dalam masa tertentu. Bila berjalan mengelilingi Surabaya, misalnya, bisa merujuk ke beberapa prosa yang menjadi ”juru kunci”, antara lain: Surabaya-nya Idrus, dan Kembang Jepun karya Remi Silado. Anehnya pengarang sekarang tak memiliki pengaruh apa-apa pada pembaca. Apakah memang sekarang tak ada pembaca sastra? Atau ada, tapi tak mendalaminya, hanya di bibir saja. Kalau memang benar, ya biarkan saja buku sastra dan novel mengisi wacana pasar dan rak-rak buku.
Memang ironis, jika belakangan banyak muncul karya sastra romantis dan sok ilahi, padahal di balik itu semua ada segudang kepentingan ekonomi, kepentingan popularitas, kepentingan keagamaan. Walau pun tak ada yang tak memiliki kepentingan di dunia, setidaknya kepentingan janganlah sampai dinomorsatukan dari kepentingan lain. Karena yang terjadi akhir ini selalu kepentingan, kepentingan dan kepentingan. Apakah kepentingan lebih penting dari sebuah karya?
Untuk mendapatkan perjalanan yang menggairahkan kita bisa meminta untuk menjadi pemimpin bagi karya itu sendiri, bukan lantas karya yang menyetir kita, karena jika itu terjadi karya sastra akan tetap menjadi pen-dusta. Kita masih bisa merinci dengan cermat dan selektif daftar karya mana saja yang dianggap menjadi ”juru kunci” sastra Indonesia yang bisa dijadikan pempandu perjalanan sastra dalam sebuah wisata dari pandangan fiksi.



* Penyair Tinggal di Yogyakarta.



HP; 085233199668

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura