Kesenian Yang Menderita


Oleh: Matroni el-Moezany*

Awal-awal saya di Yogyakarta, kota Istimewa ini tak sepi dari pertunjukan kreativitas seniman, teater, dan pertunjukan kesenian lainya, mulai dari acara pembacaan puisi, musikalisasi puisi, tadarus budaya, teater, sanggar, lomba cipta puisi, cerpen, peringatan para penyair, dan ritual-ritual yang menyangkut kesusastraan dan kesenian telah banyak mewarnai daerah Istimewah Yogyakarta. Lalu apa yang bisa diberikan?
Kreativitas yang ada di Yogyakarta hanya berkutat di ranah panggung dan wacana? Walau Kreativitas harus memperjuangkan saku sendiri, bantingan seniman, tanpa ada orang plat merah yang melirik Yogyakarta tetap menjadi ruang kreativias seseorang.
Seniman selalu bersahabat dengan kreativitas. Arti bersahabat itu adalah seniman amat mencintai kreativitas itu sendiri dan sebaliknya kita tetap setia kepada keseharian kita. Apa pun yang diperintahkan seni, sastra, dan budaya, menjadi keselaluan. Suara sastra, seni dan budaya memberinya roh untuk membelah Yogyakarta. Sayang, seni, sastra dan budaya tercinta di sia-siakan penguasa.
Alasannya sama. Kita selalu mengeluarkan saku sendiri warisan orang-orang tua berupa keberlanjutan dari sejarah. Dengan uang itu, kita terus berjuang dan berjuang sendiri. kita masih teringat perjalanan sastra, seni, yang menyedihkan, jangan-jangan selama ini kreativitas itu disembelih oleh penguasa. Namun, semangat untuk tetap menyayangi kreativitas, semangat baru itu punya bayang-bayang yang akan membawa rezeki.
Setiap ada moment kesenian dan kebudayaan agenda untuk memperingati hal itu pasti ada dimana-mana, di  Taman Budyaa Yogyakarta (TBY), pendopo Lkis, kampus, komunitas, menjadi tempat yang ramai mengadakan ritual itu.
Bukanya kita tidak terluka dan kita sendiri yang merawat luka-luka itu karena kesenian itu tetap milik masyarakat seni, dan sastra. Sayang, lagi-lagi seni itu dirampas penguasa karena seni yang sanggup membuka lubang hitam para penguasa. Waktu seni tak memiliki ruang di plat merah, tapi di ruang lain seni dan sastra tetap eksis, walau kita harus mengorbangkan saku sendiri.
Saku adalah seni. Saku adalah sastra. Saku adalah segalanya. Karena sudah tidak mempunyai ruang di pintu itu, seni hidup di rumahnya sendiri. seakan-akan hati seni memang sedih karena tidak mempunyai bapak penguasa. Itulah awal penderitaan seni, walau seniman tak pernah sedih, tapi dibalik ke-seni-mannya itu ada ruang lain yang harus kita perjuangkan, agar sumbangsih seni juga terlihat nyata.
Seni dan sastra adalah bagian hidup warga Nusantara. Kehilangan seni dan sastra sama dengan kehilangan nyawa. Seni dan sastra memang tak bisa dipisahkan dari penduduk Nusantara. Itulah mengapa seni dan sastra tetap eksis tanpa ada tangan-tangan penguasa yang menyentuhnya. Walau pun harus berdarah-darah.
Bagaimana hubungan seni dengan hidup harian penduduk Nusantara. Seni mempunyai kisah-kisah yang menyakitkan. Paling penting, seni adalah ekstetika kelembutan, yang membantu masyarakat mencari makna-makna. Seni juga sarana transportasi transendental menuju ruang yang tak terbatas. Di banyak tempat, seni digunakan untuk mengekspresikan isi jiwa dan pengalaman hidup.
Seni juga menjadi sinyal untuk terus bersemangat melawan kekinian hidup. Di Yogyakarta, seniman percaya, bahwa melalui seni, keberlanjutan hidup akan terjamin, tanpa gelisah, tanpa hukum, tanpa ada unsure kuasa-menguasai. Seni juga mampu membawa sang pribadi menuju ruang kebebasan yang luar biasa, menuju hal-hal baru, yang tak banyak orang tahu dan mengerti. Hanya orang-orang yang mampu membaca tanda-tanda saja yang bisa mengerti apa maksud seni itu sendiri.

Hak yang Dirampas

Di Yogyakarta seni menjadi kehidupan. Karena itu, seniman yakin bahwa seni dengan sendirinya mempu melihat kebebasan dengan tepat dan benar. Maka, sambil menggali kreativitas, ada roh yang terus diperjuangkan.  
Di beberapa tempat di Yogyakarta, menjadi tempat perkumpulan untuk mementaskan kreativitas di atas panggung maupun di surau-surau. Mereka percaya, seni itu mempunyai roh dan bayang-bayang yang akan membawa kita pada kekakyaan diri dan orang lain. Dengan spiriti itu di tanamlah roh dan bayang-bayang agar spirit kesenian dan kesusastraan tetap menyala membakar jiwa, membuatnya menjadi sentosa dan sehat agar bisa diajak untuk kuat dalam memperjuangkan.
Seni juga bisa diajak demonstrasi ikut meramaikan politik kita, akhir-akhir ini. Sayang, seni hanya dijadikan dan ditangkap sebagai bahan olok-olokan, dan kesia-sian. Kalau dipahami benar makna seni bagi masyarakat Nusantara. Penguasa menjadi jujur, dan merakyat. Sama dengan sastra, berarti menyelami betul nyawa dan hidup penduduk Nusantara, lebih-lebih penderitaannya. Juga, serajin dan sesetia dalam kreativitas sepanjang sejarah menemani seniman, budayawan, dan penyair menggali kreativitas untuk mencari nafkah batin dan dhahir.
Dari pihak seniman dan sastrawan, seni dan sastra yang penuh dengan simbol dan tanda-tanda, menjadi simbol milik yang dirampas oleh penguasa sehingga membuat rakyat seni menyimpan derita berkepanjangan, seperti kisah Pram. Jika demikian, tepatlah kritik mereka terhadap pemerintah; tidakkah sampai sekarang hak-hak seniman dan sastrawan masih terus dirampas oleh penguasa seperti di zaman Pram dan Wiji Tukul? Seni adalah lambang perjuangan sekaligus spirit transendental dan kesejahteraan rakyat Nusantara. Siapa menolak dan menistakan seni dan sastra, seni dan sastra mendekati keselamatan dan spirit terhadap rakyat kita. Itulah salah satu spirit seni yang sampai saat ini belum menyatu bahkan belum ditemukan.





*Matroni el-Moezany Penyair


HP; 085233199668

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura