JEJAK SPIRITUALITAS DALAM SENI


Oleh: Matroni el-Moezany*
 
Akhir-akhir ini kita sudah mulai menemukan karya seni yang menampilkan unsur spiritualitas, seperti Pameran bertajuk Zero to Zero yang menggambarkan transformasi spiritual di Galeri Nasional, Jakarta, 17 Oktober 2010 karya Andi Suandi. Ini awal dari perjalanan seni untuk mencari kediriannya, dalam menjalani hidup.
Perjalanan yang penuh haluan dan warna membuat Andi mampu menskplorasikan imajinasinya dalam bentuk lukisan “transendental” yang kemudian membuat kita sadar bahwa perjalanan itu memang penuh keberagaman, jadi di sini kita di tuntut untuk jujur pada diri sendiri dan orang lain. Kejujuran boleh kita sampaikan lewat kata-kata, lukisan, puisi, dan cerpen atau karya sastra yang lain, karena untuk mengeksplorasikan kejujuran tak membutuhkan biaya, gratis. Tapi yang rumit melaksanakan kejujuran itu sendiri.
From Zero to Zero adalah sebuah konsep sederhana dalam proses kehidupan manusia. Dari ada menjadi tiada. Dari lahir, tua, lalu mati kembali pada sang pencipta. Dan Andi dalam lukisannya lebih mengeksplorasi proses spiritual diri dalam karya lukis abstrak. Mengapa kita selalu di tuntut untuk berpikir, merenung, dan mengingat karena keberagaman adalah kehidupan. Ketika kita berhadapan dengan hidup itulah sebenarnya keberagaman. Seni sebagai salah satu jembatan untuk memaknai hidup melalui lukisan dan tanda-tanda.
Seni atau sebuah karya sastra merupakan sebuah proses perjalanan hidup yang sudah mengikuti pola keilahian (ayat kauniyah). Dari sinilah pemikiran ini muncul dan melingkupi kreator. Absraksi dalam sebuah karya merupakan refleksi dari si pengarang. Perubahan dan gerakan hidup tidak hanya ada dalam satu titik. Keberagaman yang dilahirkan merupakan keberlanjutan hidup yang selalu bergerak dan berubah. Keberagaman yang dihasilkan lebih bersifat monokromatik, yaitu sebagai refleksi atau refleksivitas dari konsep pemikiran spiritualis dalam menjalani kehidupan. Ada banyak cara dalam menyampaikan pesan, melalui warna dari lukisan, bisa kuning, merah, putih dan hitam, inilah yang menjadi dasar jejak spiritual lukisan Andi, untuk terus dikembangkan di konsep sedemikian rupa, sehingga mampu menggugah bangsa, masyarakat, budaya dan agama.
Ke empat warna itu adalah manifestasi dari angin, air, bumi dan api. Masing-masing karya memiliki cerita tersendiri, memiliki sejarah, dan memiliki perjalanan yang sungguh panjang, karya tidak serta merta lahir secara tiba-tiba, tapi membutuhkan endapan-endapan atau waktu yang lama, untuk lahir ke bumi, menjadi anak-anak kreator. Jadi benar,  Seni memang buah karya orisinil yang dilahirkan dari perjalanan hidup yang sangat panjang. Ketika kita membaca seni dan menikmatinya, tak ada bosan-bosannya untuk selalu melihat dan menikmati seni itu sendiri. Itulah yang membedakan seni dan produk labolatorium.
Sebenarnya bukan pada kata seni hakikat dari kesenian itu, tetapi sucinya tinggkah laku yang mencerminkan bahwa kita benar-benar sadar, menyadari dan menciptakan kesadaran untuk apa kata seni itu diucapkan.
Hidup sebenarnya adalah perjalanan cahaya. Kita dilahirkan dari cahaya, bermain dengan cahaya, kembali ke cahaya. Ini tergantung kita bagaimana melayani cahaya. Kita dan seni menceritakan tentang perjalanan manusia untuk menumbuhkan atau sedang berada dalam pengembaraan di alam yang sangat besar dan tak terbatas. Sebenarnya kita satu dalam hidup. Seperti anak dalam kandungan yang menjadi satu dengan ibunya. Kemudian lahir menjadi individu-individu lain. Dari sinilah perjalan awal melihat keberagaman dan warna-warni jejak seni dan spiritual. Seni sebagai simbol keberagaman budaya.  
 
Spiritualitas Seni
 
Kita akan kewalahan melahirkan dan menemukan spiritualitas dalam seni, karena sampai detik ini modernitas tidak saja merealisasikan berbagai bentuk sosial, segala sesuatunya disempurnakan, sehingga memiliki kekuatan, penampakan, daya kerja, yang melampuai dirinya. Seni seakan kehilangan dirinya, keindahan yang menyerap enerji keburukan, inilah ekstasi seni, kata Jean Baudrillard.
Seni saat ini telah gemuk, mengembung dari transfaransi radikal menuju ke arah “kecabulan”. Seni tak ubahnya sebuah tontonan, yang kita saksikan di lukisan, tanpa ada unsur memaknai  dan merefleksikan, inilah yang kemudian berefek “seni kematian realitas”. Dimana seni telah di giring menuju globalisasi pada sebuah kondisi, realitas dalam seni di ambil oleh model-model, atau simulasi realitas. Simulasi realitas menurut Baudrillard adalah penciptaan model-model realitas yang tidak ada referensinya pada realitas.
Kita boleh bangga dengan hasil seni, karena terjual berjutaan rupiah, di sini nilai seni yang sebenarnya tak ada, hanya nilai uang yang begitu tinggi membuat nilai spiritual dalam seni itu menjadi tiada. Kalau paparan saya karya Andi Suandi memiliki perjalanan spiritual, memang ya, karena kreatornya mengatakan demikian, tapi apakah kita akan tahu makna yang sebenarnya tanpa ada data pemikiran dari penghasil seni? Belum tentu. Selintas seni itu memang indah, jadi hanya dikeindahan itulah nilai itu ada, padahal dibalik keindahan itu tertuang makna yang memerlukan pembacaan khusus untuk melihat kandungan nilai seni itu sendiri, melalui transendensi rasional, seni akan berbicara pada publik. Apakah setiap kita bisa menelanjangi makna seni?
Setiap kita adalah manusia, dan setiap manusia memiliki akal, memiliki daya tangkap, jadi sangat baik kalau itu dipergunakan dalam memaknai seni dan realitas. Sebenarnya banyak realitas yang terkandung dalam seni, ada realitas falsafah, realitas epistemologi, realitas ontologis, realitas nilai dan realitas estetik. Inilah yang mungkin penting untuk kita baca, bagaimana seni ke depan memiliki roh realitas yang mampu memberikan jembatan baru untuk menghadapi kehidupan ke depan. Agar seni itu tidak untuk seni.
Bencana yang kini melanda budaya kita, kehancuran yang kita tunggu, seni setidaknya mampu membendung bencana global, kehancuran total. Dengan demikian, kita membutuhkan pembangunan yang berkelanjutan, tidak mandeg, dan monoton saja. Seni harus mampu membuka visi membangkitkan kemampuan merasakan, membuka kesadaran, di tengah ketidaksadaran kolektif bahwa kita sebenarnya memiliki persoalan sosial, budaya, agama, lingkungan dan seksualitas yang massif tanpa kita sadari pelan-pelan menjadi keseharian kita yang sedang mengidap “penyakit” post-modern yang berlari begitu cepat.
 
 
 
 
 
 
*Matroni el-Moezany Penyair, tinggal di Yogyakarta
 


 
HP; 085233199668

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura