Jalan Berliku ke Pantai Bugel


Di muat di Koran Merapi tanggal 22 Mei 2011
Oleh: Matroni el-Moezany*

Matahari bergeser menjadi senja. Waktu pun mengajak untuk memenuhi janji. Janji yang disepakati lima hari sebelumnya, bahwa kita akan pergi ke Kaligalang. Kita saling menyapa, lewat angin, lewat kata-kata, lewat rasa. Di senja itu, perempuan datang menjemput Fikri dengan motor Vario putih, dengan pakaian rapi, berkerudung cokelat, baju kuning bercahaya, berkacamata bening, dan mata lentik manis dengan senyum manis menghias bibirnya.
Kita berangkat, naik motor, berdua, empat puluh menit kita berjalan, menuju Kaligalang, diam pun menghias perjalanan, angin dijalanan mengundang Fikri untuk bertanya dan ingin berkata, entah mengapa, dia lebih memilih diam? dan melihat jauh ke depan. Mungkin karena helm standart yang kita pakai sehingga sulit untuk ngobrol, atau mungkin angin lebih nyaman sebagai penyampai pesan lewat rasa.
Dijalanan ke sana, Fikri menemukan sawah-sawah panen, orang-orang mengarit dan memelihara kambing. Tak terasa empat puluh menit sudah kita lalui. Kita sampai di Kaligalang. Suasana sepi dan sejuk, karena Kaligalang berhias sawah dan nyiur-nyiur melambai juga ikut menyambut kedatangan kita berdua.
Selama lima hari Fikri di Kaligalang, melatih adik-adik untuk tampil nari di malam pengajian. Malam Minggu adalah malam dimana pengajian itu berlangsung dengan meriah. Paginya Fikri di ajak Rahma, perempuan itu, untuk pergi ke pantai Bugel, dan Fikri pun mau, karena pantai itu belum pernah Fikri kunjungi. Kita berangkat bersama-sama, Yunus, Roni, Arie, Pak Pujo, Bu Poni, Mbak Dwi, Bunda Dewi, Irma, Luluk, Lisa dan Tata.
Sesampainya disana, motor kita parkir, dan berjalan di atas pasir dengan berhias cemara yang masih mungil, kulihat ombak besar berbusah dan angin kencang membuat rambut Rahma berurai mesra dan Fikri melihat dari belakang, sambil menikmati angin laut yang baru menyentuh tubuhnya.
Kita berfoto bersama, asyik bergurau, bermain air dan pasir. Orang-orang juga sedang mandi, dengan pakaian mini. Di tepian pantai Bugel itu, Fikri duduk sendiri, melihat ke laut yang tak terlihat tepinya. Memainkan jarinya di pasir, melukiskan kehidupan seperti pasir dan huruf V, Fikri lalu menuliskan puisi yang berjudul V:

V
Inilah kehidupan
Semua orang membutuhkan

Huruf ini seperti saku
Tempat menyimpan sesuatu

Ia selalu kurang dan rakus

Huruf ini adalah kehidupan
Ia selalu menjadi penampungan

Di tepi pantai bugel
Aku membaca dan menemukan huruf itu

Membaca burung
Yang terbang menyusuri lorong-lorong gelombang

Laut tak bertepi yang kulihat
Awan putih menghias pandang
Dan kehidupan seperti pasir-pasir
Seperti huruf-huruf
Yang harus kita baca
Agar tak selamanya menjadi kebiadaban

Lalu pelan-pelan
Huruf itu meloncat ke lautan
Menjadi karang di dasar pengabdian

V, adalah huruf
V, adalah ruang-waktu
V, adalah kehidupan
V, adalah kata-kata
V, adalah kebohongan
V, adalah mengapa dan siapa dan
V, adalah percakapan, panjang

Begitulah puisi yang dibacakan Fikri sambil tanganya dipipinya dan melihat keindahan laut bergelombang.
Dalam kesendiriannya, mengapa rasa itu mengatakan Rahma itu cantik, padahal tidak ada penyampai apa pun ke dermaga dan matahari tak cukup menumpahkan cahayanya ke tubuh Rahma, ke dasar dan pasir laut. Senyum manis seoalah menjadi penghias pantai sekedar penghibur cakrawala yang kegersangan di tepian.
Tetapi orang-orang mengatakan Rahma itu manis, bukan cantik, kulitnya sawo mateng, geraknya dewasa, rambutnya semampai hitam legam terayun mengikuti gerak angin dan tubuhnya.
Fikri mencoba mendekati dengan bahasa rasa, siapa sangka Rahma kemudian menjadi ada di ruang itu dan mencoba berbagi dalam bahasa-bahasa yang lain. Dengan bahasa kedewasaan. Dengan penuh semangat dia melangkahkan kakinya di atas pasir, dengan harapan dia mampu menciptakan kesenangan dalam jiwanya, dengan balasan senyum kecil dan kata-kata indah. Namun belum ada lima langkah dari Timur, masih di pantai, Rahma asyik memainkan tangan dan kakinya di pasir yang tentunya lembut oleh sentuhan tangan air lautan, Fikri melihat dari atas pasir. Jiwanya senang dan lahir semangat baru untuk menikmati pantai Bugel.
Apakah Rahma tak merasa kalau pantai itu sangat indah dan lebih indah dari wajahnya?
Fikri menyendiri, melihat dari jauh, seolah Rahma berbisik, mengajak bermain air dengan jari-jari lentiknya yang indah. Dia senang dan bibirnya selalu mengalir senyum manis yang tak mampu Fikri baca. Keindahan yang tak bisa kita baca adalah keindahan itu sendiri. Ia tak berbentuk materi, ia tiba-tiba datang bertamu di hati Fikri untuk menikmati pantai Bugel bersama angin dan senyum manis seorang perempuan.
Dengarkan suara rasa yang mengalun lembut bersama angin pantai, laksana seruling sunyi, yang memainkan kakinya di atas air.
“Apakah engkau memiliki rasa?”
“Senyum manismu menebarkan kata-kata”
“Apakah engkau ada, merasa bahwa cemara ini melihat keelokanmu?”
“Matahari, angin dan cemara bercampur menjadi jawaban senyum manismu”
Jalan pasir yang berliku, menjadi tempat pemandangan melihat kemanjaan kaki dan jari-jari Rahma. Rasa, angin, sampan, cemara, pandan, rumput, laut, gelombang, matahari bercampur menjadi pelengkap untuk sampai di tepi dimana Rahma duduk sendiri menanti pasir-pasir lembut berair. Mata Fikri tak henti-hentinya melihat dari jauh, sambil melempar pasir kelauatan.
Sepasang mata berjalan dari tepi ke samudera, hanya untuk melintas sekat cahaya. Memasung rasa dan jalan-jalan gelombang. Setelah rasa dan kehangatan matahari terpaku di pantai, kami pun pulang. Kembali ke Kaligalang.
Rahma yang masih terlihat manja, tidur di atas ranjang, Fikri menunggu sambil nonton TV, satu jam kemudian tiba-tiba Rahma bangun, matanya terlihat sayu, pipinya menandakan wanita bangun tidur, dan duduk di dekat Fikri, mengeluh lapar, ingin mei ayam.
“Fik, pingin Mei Ayam” berkata dengan nada manja
“Dimana Mei Ayam yang enak” Tanya Fikri
“Di belakang balai desa”jawabnya pelan
Matahari siang membuat Rahma tak tahan lapar. Kata-kata yang ke luar dari bibirnya seakan membawa racun. Fikri tertegun melihat gerak bibir Rahma yang lembut seakan bermadu. Mata sedikit sipit dan hidung sedikit mancung tak membuat Fikri bosan untuk selalu melihat dan mengenangnya. Seperti bendera Merah Putih, yang selalu diingat oleh kita dan jiwa bangsa.





*Penyair yang aktif di Lesehan Sastra dan Budaya Kutub Yogyakarta (LSBKY). Tinggal di Bantul.


HP: 085233199668

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani