Hari Pertama Bulan Puasa


Oleh: Matroni el-Moezany*

Jam tiga saya bangun, saya berpikir, sekarang waktunya saur, tapi saya belum masak nasi, lalu Marsus sms ayo saur, kubalas, ada nasi? Ada. Akhirnya saya bangun dan shalat tahajut dua rakaat, dan keluar membeli sayur, tempe dan kerupuk, saur bareng marsus. Sesaat sesudah saur, saya tidur sampai bangun jam delapan. Saya berpikir, apakah setiap orang yang berpuasa, pagi harus tidur sampai siang atau bahkan sampai sore?
Inilah keadaan yang kadang terjadi pada setiap kita yang melakukan puasa, walau tidak seluruhnya. Kita berpuasa hanya untuk menghormati tetangga, ada karena temannya. Ada yang tidak puasa karena sok, karena ia memiliki argumen rasional, agar di bilang ilmu mapan, ada benar-benar ikut-ikutan teman, tema tidak puasa kita juga ikut tidak puasa. Pertanyaan kemudian adalah apakah puasa hanya dianggap permainan untuk diri atau untuk teman? Kalau ia, maka puasa bukanlah ritual yang memiliki makna apa-apa bagi diri dan identitas kita sebagai orang yang memiliki kepercayaan.
Mestinya orang yang memiliki kepercayaan, melakukan kepercayaan itu sebagai mestinya, kalau Kristen harus ke Gereja tiap hari Minggu dan melakukan ritual-ritual lain menyangkut identitas kekristenan, begitu juga dengan agama-agama yang lain, kalau Islam tentunya salah satu itualnya adalah puasa, jadi apakah kita tak ingin berpuasa? Jawabannya bisa ya, atau tidak, mengapa? Umat islam sepertinya lebih cerdas dari Islam itu sendiri, sehingga mereka tidak melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Islam. Kalau itu terjadi, maka jangan heran kalau yang selalu ada konflik itu adalah Islam.
Konflik itu terjadi karena tiadanya kecocokan identitas antara satu dengan yang lain. Maka, konflik yang terjadi dalam Islam itu wajah Islam yang sebenarnya yang selama ini dipahami oleh orang islam. Kalau puasa di anggap sebagai jembatan kemesraan antara islam yang satu dengan islam yang satu, maka saatnya kita untuk menjadikan islam sebagai penyampai pesan kedamaian dan persaudaraan, bukan lantas membuat onar seenaknya sendiri.
Orang baik bukanlah orang yang melihat ketidakcocokan dengan kita, lantas kita berantas dengan jalan kekerasan. Bukan. Tapi bagaimana kita ngomong dengan baik-baik, musyawarah (washawirhum fil amri) dengan orang yang bersangkutan. Karena sejak lahirnya Islam di dunia, belum pernah islam menyuruh kita untuk berbuat kekerasan terhadap siapa pun, termasuk kepada musuh-musuh kita, bahkan Rasulullah menyuruh kita untuk memperlakukan musuh-musuh kita dengan sebaik-baiknya.
Kalau kita masih ingin dan memiliki niat untuk menyontoh Nabi Muhammad atau Rasulullah, maka iqra’ bacalah realitas, pikirlah realitas itu, renungkanlah realitas, carilah jalan dalam al-qur’an, karena al-qur’an adalah semesta yang tak terbatas. Kalau kita menemukan satu ayat sebagai jalan keluar, apakah ini yang diperlukan realitas, kalau masih belum carilah ayat lain, yang sekiranya di terimah oleh masyarakat luas. Jangan lantas mengambil satu ayat padahal itu tidak cocok dengan realitas, maka, jangan heran kalau islam masih dipertanyakan, keislamannya.
Jangan-jangan hanya islam KTP, tapi tindakan dan penyampaian pesan tidak sesuai dengan keinginan al-qur’an. Maka puasa kali ini adalah moment paling penting untuk mencari identitas kita yang sebenarnya. Walau masih ada warung yang terbuka untuk kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani