Mempertanyakan Kebudayaan Kita

Oleh: Matroni el-Moezany*

Yogyakarta sebagai kota pendidikan, kota budaya, dan kota seni memiliki kompleksitas yang luar biasa bagi kita. Mereka hanya menjadi mahasiswa atau anak didik yang disiplin, patuh pada sistem padahal itu mengungkung dirinya (sami’na waatha’na), sehingga mereka hanya menjadi “kupu-kupu” kampus yaitu “kuliah pulang, kuliah pulang”, sepertinya belum memiliki daya kritis untuk mengkritik sistem yang mereka pakai.
Tidak mengherankan jika kemudian kita sebagai pelajar ketika ada “waktu senggang” hanya di isi dengan “main-main” seperti makrab, rekreasi, dan mall. Waktu senggang bagi mereka adalah waktu yang harus di isi dengan berbagai kegiatan main-main dalam keseharian. Tanpa ada upaya untuk mengkritisi waktu senggang, sehingga waktu kita terbuang sia-sia. Sehingga mereka larut dalam keseharian. Terpesona dengan keseharian, dan lupa akan dirinya.
Ketika waktu senggang hanya main-main bagi kita, yang banyak malah ingin selalu mengunsumsi, sementara diri kita dikuasai oleh pengelola ilusi, dunia maya, maka kita membutuhkan re-definisi kebiasaan kita serta dekontruksi keilmuan kita kalau kita melihat kata Josep Pepper: Kita harus mencari dan menggali nilai-nilai inspiratif-kreatif. C.A. van Peursen juga menelisik “kebudayaan” itu bukanlah sekedar barang antik di museum, bukan pula sekedar realitas yang mesti diterima begitu saja, melainkan perlu di kritisi dengan dekonstruksi dan strategi, agar terus berevolusi. Untuk itu menurut van Persen waktu senggang harus dicari kekuatannya dan perlu dipikirkan, dikritisi dan direnungkan kembali maknanya.
Hal ini, pendidikan sangat berperang penting jangan lantas hanya dijadikan formalitas untuk menjembatani untuk mengisi waktu senggang sebagai ruang “main-main”. Jangan sampai pendidikan larut dalam keseharian kita yang tanpa makna. Sehingga pendidikan tidak lagi menjadi prioritas utama untuk mencapai cita-cita tersebut, yang terjadi malah mereka mengandalkan relasi dan loby. Itulah yang terjadi saat ini, artinya mutu pendidikan tidak lagi diperhitungkan sebagai kualitas-identitas.
Lagi-lagi budaya kita masih melukai diri sendiri tanpa ada upaya untuk mencari obat, walau obat itu berada di dalam diri kita sendiri. Itulah mengapa kita harus lebih kritis-reflektif terhadap budaya kita sendiri, agar kelarutan dalam “budaya yang melukai kita” memiliki makna bagi diri sendiri dan orang lain. Waktu senggang yang dipahami sebagai budaya tidaklah bertubi-tubi dalam perkembangannya untuk mempengaruhi pendidikan. Sebab kalau ini selalu dipahami seperti itu, sangat mungkin bangsa ini akan mengalami keredupan budaya.
Waktu Senggang
Istilah “waktu senggang”menurut Fransiskus Simon hari-hari ini tak banyak berkaitan dengan refleksivitas. Waktu senggang kini berkaitan dengan rekreasi, orang pergi, ke luar dari diri, menuju perangkap-perangkap eksterior, tempat wisata, mall, club, dan negeri-negeri asing. Menurut Simon dunia modern adalah dunia dimana manusia dikelolah oleh eksterioritas, seperti dunia informasi, terlebih lagi, dunia imaji dan sensasi. Sehingga kita jarang bahkan tidak pernah bersentuhan dengan totalitas mengenal dirinya sendiri, interioritas diri hanya menyembul dari taman sebagai implikasi, atau lebih buruk lagi kata Simon “ekses” dari medan eksterioritas yang membelenggunya.
Sehingga jika kemudian kita mengalami krisis kehidupan atau krisis eksistensi, yang muncul kemudian adalah hilangnya nilai-nilai luhur yang mendasar dalam hidup. Kita tidak lagi memiliki prioritas hidup, tidak lagi memiliki kriteria nilai serta tujuan, tidak memiliki harapan dan tidak berani mencari makna terdalam dari kehidupan. Salah satu penyebabnya kata Simon karena kita sudah membunuh “waktu senggang” sebagai refleksivitas. Sehingga kita kehilangan orientasi, kehilangan kesempatan menilai dan mengevaluasi diri, kehilangan daya untuk menghimpun kekuatan lagi.
Inilah sebuah realitas yang terjadi terhadap kita saat ini. Mengapa itu terjadi, karena mereka mendewakan budaya di luar dirinya. Dunia begitu bergemuruh, dan bising dengan urusan elektronik, sehingga mereka terbelenggu secara eksistensial. Seharusnya kita mempertimbangan makna kualitas dan kuantitasnya. Sehingga budaya sudah menjadi lebur di lembah peleburan diri yang total dalam kehidupan dan organisasi ekstra, demi mencari makna kehidupan. Ketika budaya hanya dipahami seperti itu, maka budaya kita akan tampak kemalasan. Maka Thomas Aquinas mengatakan bahwa kemalasan justru adalah kemandulan menggauli waktu senggang, dan kehilangan kejedaan menyebabkan pengkultusan terhadap budaya tanpa makna, karena budaya tanpa makna dipandang hanya sebagai demi teman semata.
Padahal kalau kita melihat para tokoh seperti Herder, Goethe, Humbold, mengartikan kebudayaan sebagai pengembangan bakat intelektual dan spiritual, sesuai dengan kecanggihan khas rasnya, sehingga mencapai integritas yang mantap. Kant misalnya yang mengartikan kebudayaan sebagai proses pendewasaan persepsi nilai dan makna berdasarkan prinsip yang makin berlaku holistik-universal. Matthew Arnold mengartikan kebudayaan sebagai artikulasi aspirasi spiritual dan artistik tertinggi yang perlu dipelajari tiap manusia untuk lebih bijak dan baik, studi kesempurnaan, harmonisasi, dan bersifat umum. Bagi Raymond Williams, kebudyaan, pertama-tama selalu mengacu pada proses umum intelektual, spiritual dan perkembangan estetik.
Dengan mengacu pada pengertian seperti itu, jadi jelas bahwa kebudayaan harus dilihat sebagai proses menyempurnaan diri, yang melihat dan menjadikan “sesuatu” tidak sekedar sebagai “sesuatu”, terutama berhubungan dengan kondisi batin, intelektual, dan spirit kehidupan. Ia adalah proses meningkatkan kebermaknaan. Dan untuk mencapai taraf kebudayaan yang lebih bermakna. Begitu pun dengan kita, bagaimana selalu berproses untuk menciptakan kualitas-kualitas diri dan pendidikan untuk masa depan yang estetik. Berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
Kalau kita lihat sejenak pergi ke mall, di sana kita akan mendapat permainan menjadi sangat komplek dan unik. Walau permainan itu sifatnya bebas, tanpa tekanan, mengalir begitu tanpa intruksi, sehingga Huizinga mengartikan permainan sebagai realitas yang melampaui realitas subjek serta mendispensasi bahkan mengaborsi jarak antara realitas yang sesungguhnya dan realitas permainan, kalau meminjam bahasanya Huizinga antara Being dan playing. Lebih jauh lagi permainan ini menyeret subjek dari realitas “alamiah” ke realitas “kultural”.
Sebagai akhir dari tulisan ini saya akan mengutip apa yang dikatakan Gadamer bahwa dalam seni, permainan menjadi sungguh-sunggun otonom, menjadi sungguh permainan. Permainan di sana lepas dari kegiatan representasi permainannya, menjadi peristiwa penampilan murni, menjadi “struktural”, karya atau “ergon” yang mandiri. Mandiri karena karya itu sendiri memberikan ukuran keberartiannya, bukan si pencipta, pemain, ataupun penontonnya. Dengan kata lain dalam seni dan liturgy, pemainan itu menjadi “realitas”.
Dengan demikian, kemana pun kita pergi, dimana pun kita berada, budaya apa pun kita tiru, yang penting adalah kesadaran kita untuk merefleksikan dan mengkritisi sesuatu yang kita jalani. Karena kita hanya memiliki diri yang mampu menolong kita dari keterpurukan budaya modernitas.



*Penyair, tinggal di Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura