Eksterioritas

Oleh: Matroni el-Moezany*

Kemajuan tekonologi, budaya, dan modernitas tidak selamanya berdampak baik bagi manusia. Ia kadang juga membuat manusia kehilangan kesuciannya, kadang juga membuat manusia kehilangan daya kritisnya. Kadang juga membuat manusia mengalami miskin eksistensial dan miskin kritis. Padahal kritis juga penting untuk menjaga diri kita, agar tidak diperbudak oleh sesuatu yang menjadi aktivitas keseharian.
Dunia manusia pasca modern adalah dunia yang dikelola oleh eksterioritas, seperti dunia informasi, dunia imaji, dan dunia sensasi. Manusia pergi keluar rumah menuju perangkap-perangkap eskterior, seperti rekreasi, tempat wisata, dan mall. Tak ada kesibukan selain rekreasi, mencari tempat indah, tapi mereka tak sadar keindahan yang mereka nikmati ada yang menciptakan, akibat dari terlalu banyaknya debu kemiskinan refleksivitas yang kita makan dari modernitas.
Realitasnya di hari libur banyak di antara kita rekreasi hanya untuk menghabiskan waktu senggang. Seakan kita gatel dan sakit kalau tidak keluar, pergi berwisata. Jadi tidak heran kalau kita sulit memaknai totalitas dirinya sendiri. Apalagi di zaman ini, kita akan dibuat gatel dengan sentuhan lembut tangan eksterioritas. Dan kita tidak sadar kalau itu hanya jebakan, agar kita tidak mengenal diri kita yang sebenarnya.
Memang sangat sulit untuk memberikan jalan bagi kita, apalagi dunia seperti ini, banyak manusia ingin di lihat kaya dan sok elit. Sungguh luar biasa hegemoni eksterioritas, belum lagi hegemoni mode yang semakin hari semakin tak karuan. Refleksivitas yang berkaitan dengan spiritual, kini mulai redup, bahkan bisa dikata “mati”, karena tekanan eksterioritas bermula dari diri kita sendiri. Mengapa? Karena diri kita sebagai manusia tak memiliki prinsip yang kokoh untuk mengkritisi. Kita tidak mengenal secara utuh diri kita sendiri. Bagaimana seharusnya kita bertindak, bermoral, berkata, memaknai hidup, memaknai hukum dan memaknai sesuatu yang ada di sekeliling kita.
Kita membutuhkan kepekaan, mungkin daya kritis lahir dari sejauh mana kita peka terhadap perubahan, dan tahu mana yang harus di ambil dan mana yang harus ditinggalkan. Karena tidak semuanya, perubahan itu berubah ke arah yang positif. Saya yakin kita sudah tahu seperti apa yang baik dan buruk. Tentunya ingin kehidupan ini damai dan selalu baik. Itu semua tergantung pada kita, karena hidup ini adalah milik kita, jadi kitalah yang bisa mengelolah kehidupan ini.
Apakah kita mampu mengelola dengan baik? Itu tergantung bagaimana mengkritisi eksterioritas yang ada di sekeliling kita. Walau pun kita tidak bisa terlepas dari pelukan eksterioritas, setidaknya refleksivitas masih berperan aktif untuk menyadarkan kita. Ada harapan untuk mengobati penyakit eksterioritas yang sudah lama menjangkiti diri kita. Artinya jangan sampai energi kita habis oleh pesona eksterioritas hasrat, seperti kerja, belanja, mengonsumsi, dan pergi-pergi saja.
Kita masih membutuhkan energi untuk merefleksikan hegemoni nafsu. Sebab kita akan membutuhkan dunia yang damai. Kedamaian merupakan keinginan kita semua. Kita mungkin tahu, budaya macam ini akan membuat kita tak memberikan tempat bagi komtemplasi dan refleksi atas substansi dari aktivitas keseharian, karena semua energi sudah terserap oleh kegiatan eksterioritas.
Keterpesonaan yang tak terjelaskan akan kekuasaan dan kecerdasan elektronik membuat kita lupa akan kehidupan kita sebenarnya. Memang dalam eksterioritas yang tampak adalah pesona keindahan yang menawarkan sensasi-sensasi, tapi itu sebenarnya menipu, seperti yang dikatakan Iman Gazali sesuatu yang terlihat jika kita kejar akan semakin semu dan membingungkan. Sebenarnya kita dituntut untuk kritis melihat dunia materi.
Dunia eksterioritas adalah dunia penuh pesona, materi, main-main, jika kita tidak kritis dan berhati-hati, yang terjadi malah lebur jadi satu antara kita dengan dunia eksterioritas, inilah yang berbahaya terhadap kehidupan. karena kehidupan kita sudah dikuasai dan dikelolah eksterioritas, bertindak, bekerja, belanja, mengonsumsi, dan main-main, semua tergantung pada manejemen dan sistem eksterioritas. Bila itu benar, maka yang terjadi dalam kehidupan ini hanyalah pemompaan hidup tanpa menemukan kepuasan, mancing tanpa mendapatkan apa-apa, dan pembentukan keinginan tanpa tujuan.
Anehnya tak ada upaya untuk menelaah pengertian ekterioritas yang sudah lama mengungkung kita. Sebab tak gampang menunjukkan bahwa kita lepas dari eksterioritas, karena dalam eksterioritas (baik sebagai aktivitas maupun sebagai kegiatan bulanan) senantiasa memuat berbagai ketegangan, kompleksitas dan tunas-tunas persoalan baru yang menuntut kita lebih kritis menyikapinya.
Namun, bagaimana pun eksterioritas tetap menjadi persoalan substansial-eksistensi. Eksterioritas berkonotasi buruk karena kerap dipahami secara sewenang-wenang, di taruh serampangan dan di pendam tanpa direfleksikan. Jadi kita membutuhkan gagasan yang sangat berpotensi untuk menggurat suatu garis temu yang mampu memberikan tawaran bagi kebudayaan untuk menyadarkan pengidap eksterioritas. Kita harus memiliki kejelian untuk menyelami waktu eksterioritas sebagai dasar kehidupan.
Harapan saya kita mampu membuka cakrawala segar tentang eksterioritas sebagai elemen dasar kehidupan kita berikutnya. Kemudian refleksivitas harus diimplementasikan dan diterjemahkan sebagai strategi kehidupan. Dari eksterioritas inilah kita harus mampu menangkap sinyal-sinyal kehidupan dengan segala kompleksitasnya dan kisah tangis jiwa yang menyertainya.
Terakhir, saya bermaksud memulangkan eksterioritas kepada refleksivitas. Dan apa yang saya tulis ini mungkin memiliki nilai, sangat tergantung pada kepekaan dan tanggungjawab kita sebagai agen sekaligus sandera eksterioritas. Dan itu lebih terasa ketika kita merefleksikan eksterioritas masuk ke dalam jaringan relasi dengan kesadaran dan nyaris tak mungkin lagi melihatnya dalam isolasi. Dalam hal ini kita tak membutuhkan konsep tentang “eksterioritas” dan “refleksivitas”, tapi transformasi, karena kita berkembang karena internalisasi nilai-nilai kehidupan, potensi diri, dan intuisi.



*Penyair. Tinggal di Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura