Seratus Persen Kata Jadi Luka

Oleh: Matroni el-Moezany

Pagi itu pemuda itu pulang pergi dari kampusnya, Rony merasakan lelah. “ya Tuhan.” di sini aku seperti iti.
“Maaf, kalau aku salah menyebutmu,” terdengar suara lembut dan lirah dalam jiwa seorang pemuda.
Rony meletakkan badannya dan kembali mengucapkan “Ya Tuhan” dan membaca buku. Ia sudah membaca buku lebih dari lima kali, bukan karena buku itu bagus, tapi karena itu satu-satunya buku yang ia miliki. Halaman awalnya hilang, mungkin tersobek entah siapa yang menghilangkanya.
Sudah seminggu ini Rony sudah tidak makan, lapar sekali, karena ia hanya sendiri dalam hidupnya sejak ia menjadi seorang mahasiswa. Karena Rony adalah salah satu ribuan orang yang tidak dikirim di kota besar ini, sang kawan baik hati mengundangya untuk makanmakan bersama dikosnya. Rony tidak biasa tidur sore, kadang ia terbisa tidur di mana saja. Sering kali di pinggir jalan atau berada di mesjid, atau menumpang di rumah beberapa kawannya yang mau menampugnya untuk satu dua malam.
Rony punyak pekerjaan. Ia membenci semua jenis pekerjaan, bukan karena malas, tapi ia tidak mau diperbudak oleh rutinitas. Dulu pernah ia punyak pekerjaan seperti umumnya orang disekelilingnya, tapi tak berlansung lama. Kini ia tak punyak hasrat lagi untuk bekerja pergi pagi pulang malam tiap hari menerima gaji tiap akhir bulan. Walau ia punyak kebutuhan pribadi. Yang perlukan hanya roti yang seharga lima ratus di pagi hari, sedikit nasi untuk makan malam. Itu saja. Untunglah, ia memiliki teman yang dengan senang hati mau membantunya saat ia terdesak kebutuhan.
Rony tak memiliki apaapa atau saudara dekat. Kehidupannya yang tak selalu rama membuatnya bisa dan terbiasa bertahan tanpa makanan selama beberapa hari, jika memang terpaksa. Sesungguhnya ia seorang lelaki muda yang menyenangkan. Temantemanya tak tahu banyak tentang dirinya, kecuali bahwa disini, di kota besar ini. Ia tidak sama dengan temanya yang lainya. Dikirim dari orang tuanya. Habis tinggal ngebel rumah. Tapi ada satu hal yang terawat dalam hidupnya: perempuan. Ia selalu berkata, “sesuatu yang tidak mungkin kalau kita merana dalam kata-kata, karena kata-kata merana itu sendiri” dan selalu berkata “jika seorang perempuan datang padaku mengatakan cinta, hidupku akan berubah.” Teman-temanya biasanya akan mencemoohnya seraya tertawa, “walau seperti itu aku tak akan pernah berkerja selain........”
“Aku ingin bekerja tetap kalu hal itu benar-benar terjadi,”
jawabnya.
“mengapa kamu tak membuat perempan senang saja dengan seorang perempuan kaya?”
“Ah, apa mamfaatnya yang didahului oleh laki-laki?”
Hari sudah menjelang sore. Perutku belum terisi apa-apa selain angin dan air.
Perutnya bersuara lembut dan terdengar suara perempuan di luar sana.
“Itu pasti dia,” temanku
“Ada Rony disini” jiwaku berdetak.
Hening sejenak. “Mau ketemu siapa?” tanya Rony.
“Kamu,” jawab perempuan itu.
“Aku?”
“Ya, kecuali kamu keberatan.”
“Tidak”
“Tadi kamu bilang namaku Mat Garong, ya?”
“Bukan, Rony.”
Hening lagi.
“Katanya kamu ada perlu denganku,” tanya Rony.
“Aku tak mengerti mau bicara apa denganmu. Bagaimana kalau kamu yang memulai duluan?”
“OK. Aku sudah mengatakan siapa namaku. Untuk sementara aku tinggal ditempat ini. Tempat ini sebenarya pondok milik pak Huharto, kini ia sedang punyka rumah yang lebih bagus dari rumah ini. biasanya aku tidur dipinggir jalan atau diteras masjid, tapi kini aku tidur diatas harpet yang besar.”
“Apa yang kamu lakukan ditempat ini?”
“Aku sedang membaca buku dan menulis. Halaman awalnya menghilang, tapi sudah membacanya lima kali. Suatu hari apabila aku berhasil dan sukses menemukan dan menulis itu, aku akan tahu bagaimana akhir percintaan sepasang kekasih dalam dunia dan buku ini.”
“Tampakya kamu seorang laki-laki yang unik dan menarik.”
“Mungkin saja.”
“Apa pekerjaanmu?”
“Pekerjaan. Tak ada. Aku tak punyak pekerjaan apa pun. Tapi sekedar menjawab pertanyaanmu terkadang aku dapat uang dari menulis. Selebihnya aku berjalan-jalan di siang hari dan tidur malam harinya itu pun kadang-kadang.”
“Apa yang kamu tulis?”
“Apa saja. Cerita, esai, puisi.”
“Kamu menyukai hidupmu?”
“Entahlah,” jawab Rony. “Aku tak pernah menanyakan pertanyaan seperti itu pada diriku sendiri, tapi rasanya aku menyukainya. Aku sudah hidup seperti ini selama bertahun-tahun.”
Terdengar suara lirih di seberang rumah.
“Suaramu indah sekali.”
“Terimah kasih.” Nada suara itu terdengar seperti malu-malu.
Suara tiba-tiba terhenti. Agak lama Rony memandangi suara itu, tersenyum sendiri.
Esok harinya sekitar jam sembilan pagi suara itu terdengar lagi. Rony masih asyik tidur, tapi suara ribut membuatnya terpaksa membuka mata. Ia menguap lebar-lebar lalu melihat dari mana suara datang itu.
“Dy,” tiba-tiba, panggilnya.
“Gimana tidurnya?”
“Selamat pagi. Kam lagi ternyata, ya?” selamat pagi.
“Kamu baru bangun?”
“Ya. Aku jadi manja sejak pindah ke tempat ini.saat tidur di pinggir jalan, mesti bangun pagi, di sini aku tebiasa bangun kesiangan.”
Terdengar suara tawa yang lembut.
“Mengapa kamu tak menanyakan nama dan nomr Hpku.”
“Apalah arti namamu bagi orang yang seperti aku? Bukankah kamu tahu aku dan keadaanku? Itu sudah cukup, aku yakin kamu ingin agar suatu saat aku menelponmu, aku yakin kamu akan memberitahukana nama dan nomor teleponmu padaku.”
“Tidak juga.”
“Terserah kamu. Aku takkan memintanya.”
“Kamu aneh.”
“Memang.”
Hening lagi.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Rony.
“Aku kehabisan kata-kata untuk berkata padamu.”
“Kalau begitu mengapa kamu tak tutup saja kata-katamu itu?”
“Kamu kok kasar sekali sih. Aku akan menutup pembicaanku.”
“Rony tersenyum dan duduk santai ke tempat semula. Ia selalu mencuci muka di bak suci yang ada di sudt ruangan, mengenakan bajunya dan pergi. Sepanjang waktu itu berpikir tentang perempuan itu yang bersura lembut di pandagan mata. Suara tawanya indah sekali, mengingatnya Rony pada ibunya yang ada di rumah. Larut malam ia baru kembali. Tak lama setelah ia tiba, suara itu terdengar lagi.”
“Hai”
“Hai. Aku memanggilmu beberapa kali sepanjang hari. Kemana saja kamu?”
“Rony tertawa. Biarpun aku tak punyak pekerjaan, tapi ada beberapa hal yang tetap harus kulakukan.”
“Apa itu?”
“Berjalan-bejalan.”
Perempuan itu tertawa lembut. “Rony, apa yang kamu lakukan saat berbicara denganku?”
“Aku berbaring di atas harpet sambil mencoba membayangkan wajahmu.”
“Tak usah membayangkan wajahku. Wajahku tidak cntik.”
“Aku menyukai perempuan cantik.”
“Baiklah, kalau begitu wajahku cantik. Aku tak ingin kau membenciku?”
Hening sejenak. Rony bertanya, “Apa yang sedang kamu pikirkan?”
“Tak ada. Rony, apakah aku ingin kau bernyanyi untukmu?”
“Ya, bernyanyilah untukku.”
Perempuan itu mengosongkan tenggorokan, lalu suara lembut terdengar mengalun merdu saat perempuan di seberang rumah bersuara itu menyanyikan sebuah lagu.
“Indah sekali,” kata Rony setelah perempuan bernyanyi.
“Terima kasih.” Perempuan itu tak besuara lagi.
Sepanjang malam Rony bermimpi tentang suara merdu perempuan itu. Ia bangun lebih awal dari biasanya dan menunggu suara itu terdengar lagi. Namun suara itu tak juga terdengar. Rony mengitari rungan dengan gelisah. Lalu membaringkan tubunya di atas harpet, tanganny mengambil buku yang telah lima kali dibacanya. Ia memutuskan untuk membaca buku lagi. hari berlalu begitu lambat. Sekitar jam delapan malam suara perempuan itu terdengar lagi, buru-buru Rony mendengarkannya.
“Hai, Rony.”
“Hai, kemana saja kamu?” suara perempuan terdengar lebih lembut dari biasanya.
“Aku menunggun suaramu seharian. Aku bahkan belum sempat makan walau sedang punyak uang.”
“Aku ingin memanggilmu kalau aku ingin. Kamu.....”
“Beri tahu kapan kamu ingin memanggilmu. Aku tak tahan menunggu.”
“Maafkan aku. Mulai besok aku akan sering-sering memanggilmu setiap pagi dan malam hari.”
“OK”
“Aku terpaksi tak memanggilmu seharian ini.”
“Mengapa?”
“Aku ingin tahu apakah kamu merindukan suaraku.”
“Kamu nakal. Sekarang tutuplah haodenmu. Aku akan makan dulu. Perutku lapar.”
“Berapa lama.”
“Setengah jam.”
Rony kembali sebelum setengah jam. Beberapa saat kemudian suara itu terdengan lagi. Rony dan perempuan di seberang rumah bercakap-cakap lama. Rony meminta perempuan itu untuk bernyanyi yang sama dengan kemaren. Perempuan itu tertawa bernyanyi untuk Rony.
Kini perempuan itu secara teratur bersuara Rony pada jam-jam tertentu. Terkadang berbicara di dalalam kamar masing-masing selama beberapa jam. Namun sejuah itu, Rony tak pernah menanyakan nama dan nomer HP perempuan itu. Pada mulanya ia mencoba membayangkan seperti apa wajak dan sosok perempuan di seberang rumah, tapi kini hal itu tak penting lagi. Suara perempuan itu telah mewakli semuanya wajah, tubuh dan jiwa perempuan itu.
Suatu hari perempuan itu bertanya, “Rony, apakah kamu pernah jatuh cinta?”
“Tidak.”
“Mengapa Tidak.”
Tiba-tiba saja Rony merasa sedih, “untuk menjawab pertanyaan itu aku harus menceritakan semua padamu selauru perjalanan hidupku dan itu akan menbuatmu bersedih karena tak ada satupun hal indah yang tertinggal dalam ingatannku.”
“Kalai begitu jangan. Aku tak mau kamu sedih, Rony.”
Semimggu telah berlalu. Pada suatu hari Rony menerima telepon dari teman yang meminjaminya rungan itu. Temanya berkata bahwa ia akan kembali tiga hari lagi.
Saat perempuan itu bersuara, Rony berkata dengan nada sedih, “Keberuntunganku akan segera berakhir.”
“Mengapa?”
“Temangku yang mempunyai tempat ini akan pualng tiga hari lagi.”
“Kamu pasti punyak teman lain yang punyak tempat lagi, bukan?”
“Ya, memang. Tapi aku tak mau memberimu alamat mereka.”
“Mengapa.”
“Aku cemburu. Aku tak ingin ada orang lain yang mendengarkan suara lembutmu, tawa, dan lagu indahmu.”
Perempuan itu tertawa. “Begini saja, pada hari saat keberuntungan berakhir, aku akan memberitahumu nama dan nomor Hpku.”
Kesedohan Rony segera lenyap bagai debu tersapu angin. Ia kembali memikirkan sosok perempuan itu, tapi tak berhasil, hanya suara lembutnya yang terngiang di telinga. Kini tinggal menunggu hitunhan hati dan ia akan bisa menjumpai perempuan itu.
Saat perempuan itu mengirim surat keesokan harinya, Rony berkata, “Aku ingin berjumpa denganmu. Apakah nanti kamu akan memberi alamat rumahmu?”
“Kamu bisa menemuiku kapanpu kamu mau, bahkan hari ini.”
“Tidak, jangan hari ini. Aku ingin menjumpaimu dengan pakaian yang bagus. Aku akan meminjamnya pada temanku.”
Perempuan itu tertawa. “Kamu seperti anak kcil. Oh, ya, aku akan mengirim surat selama dua hari.”
“Ada apa?”
“Aku akan pergi dengan temanku. Hanya dua hari bahkan selamanya disana.”
Rony tidak keluar ruangan pada hari itu. esok harinya ia terserang demam. Pada mulanya ia mengira itu terjadi karena rasa bosan yang melandanya akibat perempuan itu tak mengalunkan suaranya. Siang harinya, demanya semakin parah. Tubuh Rony terasa dipanggang, matanya seakan terbakar. Panas sekali. Ia terbaring tanpa daya di atas harpet. Rony merasa amat haus. Dadanya sesak, seolah-olah ada sebongkah batu besar yang menindihnya. Ia benar-benar kehabisan tenaga. Lemas. Ia bahkan merasa sulit untuk bernafas, dadany sakit sekali.
Malam harinya, demam yang menyerang Rony memburuk. Ia mendengar suara-suara mendengung di kepalanya seakan-akan ada ribuan suara yang mengiang pada saat bersamaan. Ketika suara benar-banar jelas, ia tak mendengarnya. Suara terus terdengar beberapa saat. Berkali-kali.
Suatu kali, tiba-tiba saja semuanya menjadi jernih, Rony mendengar suara itu dengan jelas. Ia berusaha bangkit, dengan terhuyung bediri dengan tangan gemetar. Lidahnya berlahan menjalari bibir. Kering bagai kayu.
“Ya, ini aku.” Suara Rony begitu lirih
“Hai? Aku tak bisa mendengar suaramu.”
Rony berusaha mengatakan sesuatu, tapi lidahnya keluh. Suaranya tersekat di tenggorokan.
Perempuan itu berkata lagi, “Kami pulang lebih cepat dari rencana semula. Aku memanggilmu berkali-kali, tapi tak ada yang mendengar. Ke mana kamu?”
Kepada Rony terasa berputar, matanya berkunag-kunang.
“Rony, ada apa?” perempuan itu bertanya.
Dengan susah payah Rony berkata, “Keberuntungan telah berakhir hari ini.”
Rony tebatuk, berlahan-lahan darah menetes dari mulutnya, membentuk garis tangan berwarna merah di atas pipi, lalu mengair turun kelehernya.
“Kalau begitu, catatnya nomor Hpku, 085257062714. Telepon aku pagi ini. namaku Dwi Lestari..... Aku harus pergi sekarang. Sampai nanti.”
Perempuan di seberang rumah menutup hordennya. Rony tak kuat lagi Ia jatuh tak sadarkan diri, terkapar di atas harpet.
Darah mengalir dari garis-garis bibirnya.
Jadi, sesuatu yang tidak mungkin kalau kita merana dalam kata-kata, karena kata-kata merana itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura