Musim Panas di Akhir Oktober

Oleh: Matroni el-Moezany

Musim yang panas. Langit jernih dan matahari tersenyum bersinar dengan cerah. Musim panas yang sempurna. Dan panas sekali. Menjanjikan segala sesuatu yang sensual. Tidak seperti pohon rindang. Dan itulah begian yang terbaik. Rizal duduk di terik matahari, di bawah pohon jambu. Yang beraroma lembut, tempat yang terasa asing. Karena pertama kali mengunjungi tempat itu. Talun Rejoso di Nganjuk. Lalu lintas di ramaikan oleh pasangan-pasangan pejalan kaki pada jam dua belas siang. Rasa panasnya terasa nyaman.
Tahukah kau, Syifa suatu hari kelak kau akan bosan memilih kekasih seorang penulis kelaparan. “waktu di pandanginya wajah kekasihannya yang menggeleng dan tersenyum di bawah sinar matahari. Pada suatu hari di musim panas. Sebulan yang lalu.
Kau tak kelihatan, Syifa menepuk perut Rizal, lalu mencium bibirnya dengan lembut “aku cinta padamu Zal”.
Kau pasti gila. Namun aku juga cinta padamu, saat itu adalah musim panas yang keras bagi Rizal. Selama enam bulan disana sekali tak berpenghasilan, tapi Syifa tentu punya uang.
“Kenapa aku gila? Karena aku menghormati pekerjaanku? Karena aku merasa bahwa kau adalah laki-laki yang baik, meskipun kau tak punya penghasilan lagi. Apa bedanya, Zal? Siapa peduli bekerja? Kaukah? Apakah kau ingin punya kerja? Suaranya sedikit mengadung sedikit kegetiran, bercampur marah. “kenapa kau tak mau hidup senang dengan apa yang ada padamu? Apa yang ada padamu?”
“kau seorang pengarang yang baik”
“kata siapa?”
“para kritisi yang mengatakannya”
“honur yang kuterimah tidak mengatakan hal itu”
“persetan dengan honurmu.” Air mukanya demikian seriusnya, membuat Rizal tertawa.
“aku harus berdarah-darah lagi. Soalnya honur itu tak cukup menggelitik” apalagi untuk merayumu.”
“Ah, sudahlah. Diam kadang-kadang kau membuatku marah sekali” wajahnya mulai tersenyum dan Rizal membungkuk lalu menciumnya, Syifa menggorogoti bagian dalam pinggul Rizal, sambil memandangi sambil tersenyum, Rizal pun terangsang…..ia masih mengingat saat itu dengan sempurna.
“Perempuan lembut, aku memujamu. Mari kita pulang” mereka pun meninggalkan pantai sambil bergandingan tangan, bagai dua anak kecil, sambil sama-sama tersenyum. Mereka bahkan tak menunggu sampai di rumah. Beberapa kemudian, Rizal menemukan sebuah anak sungai itu tak jauh dari jalan. Mereka berhenti di situ dan bercinta di bawah pohon, di dekat anak sungai itu. Dengan suara musim panas di sekitar mereka. Rizal masih teringat berbaring di tanah yang lembut bersama Syifa setelah itu, dengan hanya mengenakan kemeja mereka dan mempermainkan batu-batu kerikil dan rumput dengan jari kali mereka. Rizal masih ingat waktu itu dia bertanya-tanya apa yang mengingat Syifa pada dirinya………….mengapa? pertanyaan yang tak pernah ditanyakan orang dalam berkekasihan. Mengapa? Ia demi pengurbananmu, sayang, demi apa lagi? Tak ada orang waras yang mempertanyakan hal itu. Tapi kadang-kadang kami ingin sekali menanyakannya. Kadang-kadang ia merasa takut bahwa yang mengikat dirinya pada Syifa adalah kepercayaan Rizal akan kemampuan menulis. Ia tak ingin beranggapan memang begitu halnya, tapi itu pasti bagian sebabnya.
Selama bermalam-malam penuh Tanya dan air putih. Syifa selalu penuh keyakinan. Dan Rizal memang memerlukannya. Itulah yang terbaik.
“Aku tahu kau akan berhasil Zal. Hanya itu. Aku yakin, kau akan berhasil.” Begitu yakin. Itulah sebabnya Syifa menyuruhnya berhenti berkerja dari pekerjaannya. Atau apakah kerena dia ingin membuat supaya Rizal bergabung padanya? Kadang-kadang dia bertanya-tanya tentang hal itu juga.
“Tapi bagaimana kau bisa yakin? Bagaimana mungkin kau bisa tahu bahwa aku akan berhasil? Itu hanya impian, Syifa, sebuah fantasi. Novel Indonesia yang besar. Tahukah kau betapa banyaknya orang-orang tak berguna di luar sana yang menulis kata-kata kosong, yang berfikir bahwa dirinya sudah berhasil?”
“Siapa yang peduli? Itu bukan kau”
“Mungkin saja aku.” Syifa pernah melemparkan segelas air putih padanya waktu dia berkata begitu, dan dia tertawa saat itu. Mereka akhirnya bercinta di atas kasur yang lembut.
Sebatang lilin, sehelai selendang, sebuah perhiasan, setitik warna, senyuman kecil, kilasan kehangatan, sentuhan gaya. Syifa memang terlahir dengan itu. Telanjang dan mata tertutup pun dia punya gaya.
Seperti umpamanya, saat dia berlari masuk keruang pada waktu kuliah siang, dengan jilbabnya berkibaran. Senyum di matanya, sebuah ciuman dari pojok ruang, dan tiba-tiba sekumtum bunga mawar mendarat di atas kertasnya. Sekuntum bunga yang sempurna atau sebuah jambangan kristal berisi bunga kuning yang indah berdiri di dekat tempat duduknya. Dia memang begitu.
Memikirkan Syifa membuat Rizal tersenyum, sementara dia memandangi orang-orang di meja yang lain. Sekiranya Syifa ada di situ. Dia pasti mengenakan sesuatu yang agak berlebihan, sehelai baju atau sesuatu yang tertutup seluruhnya, dengan suatu belahan yang membuat orang-orang lewat sempat mengintip kakinya, atau sebuah kerudung yang cantik sekali, yang akan memungkinkan orang hanya melihat sekilas matanya yang tajam, sedang mata yang satu lagi tersembunyi. Sedang memikirkan Syifa begitu, perhatiannya, jadi tertarik pada seorang wanita yang berkerudung yang duduk beberapa meja darinya. Dia belum pernah melihatnya. Dan menurutnya wanita itu memang pemandangan yang menarik. Terlebih di hari yang panas, dan setelah dia memegang satu bal poin. Dia boleh dikatakan tak bisa melihat wajahnya. Hanya ujung dagunya.
Lenganya lansing dan tangannya lembut tanpa cincin. Diperhatikannya wanita yang sedang mondar-mandir itu. Sedang dia memandangi wanita yang berkerudung itu, Rizal merasakan debaran yang sama seperti saat dia memkirkan kekasihnya. Sayang sekali Syifa tak ikut kerumahnya. Itu merupakan saat yang menegangkan untuk mengingat, memikirkan dan berkhayal, dan saling merasakan rindu. Dia merasa terganggu melihat wanita mondar-mandir. Dia jadi menginginkan Syifa. Sekarang juga.
Padahal hari itu terlalu menyenangkan untuk menyalahkan diri sendiri. Akan jauh lebih mudah untuk membebaskan diri, sedikitnya membiarkan pikirannya menerobos. Dia memang telah bersenang-senang di kampunya. Di situ dia bisa bersantai, memperhatikan orang-orang di sekitarnya, beretemu dengan orang tua, teman-teman dan mantan kekasih dan mengagumi manik-maniknya.
Orang-orang di kampung itu bergembira. Di rumah-rumah banyak orang berkumpul. Para tamu berdatangan, para menantu beroleh-oleh, dan para penulis puisi berkelekar. Keramaian jadi teredam oleh para tamu yang mau berkunjung. Rizal jadi terkenang akan hari terakhir bersekolah. Keadaan di situ adalah kenyataan. Mudah dan hidup dan memberikan semangat.
Rizal memikirkan gadis kampunng itu sambil berjalan ke arah ontelnya, agak terhuyung meskipun tak begitu kelihatan. Dia mengkyalkan syair-syair “pujaan bagi si cantik di luar sana”. Dia tertawa sendiri waktu menaiki otelnya dan duduk di atas sadel dan di belakang mobil Syifa.
Meskipun Syifa dan Rizal teleh punya hubungan sudah delapan bulan, tapi gairah mereka belum padam. Atas saran Syifa, Rizal berhenti bersikap manja demi memusatkan perhatianya untuk terus menulis dan menulis. Syifa menopang kehidupan mereka berdua dengan dengan cerdasnya yang sukses di rumahnya.
Sebenarnya ketergantungan Rizal pada kekasihnya membuat tidak senang, tetapi itu tidak memadamkan cinta mereka. Tetapi suatu hari perpisahan pertama yang dilakukan Rizal berubah menjadi kerinduan yang menjadi penyakit yang dimiliki Syifa dan Rizal. Mungkinkah selamanya.
Barangkali matahari telah meringkuk di balik silau itu. Sekedar bersuara serak.

Rindu!!!.

Talun Rejoso,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura