UWRF Penguat Perkembangan Sastra Dunia

Oleh: Matroni el-Moezany*

Pada tanggal 7 sampai 11 Oktober 2009 nanti Ubud Writers dan Readers Festival 2009 (UWRF 2009) siap dihelat di Ubud, Bali. Inilah salah satu bentuk kepedulian sastrawan kita terhadap perkembangan sastra Indonesia dan dunia pada umumnya. Pada perhelatan ini UWRF mengambil tema “Suka-Duka”. Karena tema memang sangat pas untuk Indonesia sebagai bangsa yang selalu di timpa musibah dan selalu ingin berkelahi baik perkelahian akal, politik dan ekonomi apalagi perkelahian korupsi. Dalam sejarahnya Suka-Duka merupakan kebijakan komunal kuno yang selama berabad-abad telah menjadi salah satu soko guru masyarakat, serta lembaga tradisional Bali.
Sehingga festival kali mengambil tema Suka-Duka untuk menjadi penguat prinsip yang telah di bangun sejak lama. Kini prinsip itu menjadi pembimbing anggota lembaga kemasyarakatan tradisional, seperti banjar dan desa pekraman, untuk berlaku sebagai satu entitas tunggal dalam menghadapi perhelatan dan kesulitan hidup, maupun dalam merayakan karunia dunia. Artinya prinsip “kebersamaan” dalam menjalin dengan orang lain sangat di tekankan dalam Suka-Duka, seperti prinsip yang tertulis bahwa “Penderitaan seorang anggota lembaga akan ditanggung oleh semua anggota lainnya, sedangkan kegembiraan seorang anggota akan dirasakan pula oleh anggota lainnya”.
Suka-Duka ini sebenarnya mencerminkan komitmen festival sendiri untuk menjadikan moment kesusastraan ini mampu memberikan inpirasi dan sungbangsih besar, melalui para penulis dan pembaca dari berbagai belahan dunia, sehingga dapat mencapai keseimbangan pemahaman dan membangun landasan bersama untuk mengingatkan dan meningkatkan masyarakat dunia tentang perlunya berpikir, menyikapi, dan bertindak sebagai sebuah entitas tunggal yang penuh welas-asih (rasa), terutama pada titik waktu saat ini yang dicederai oleh kekerasan dan kegelisahan hidup.
Itulah sebenarnya perkembangan makna sastra bagi keberlangsungan masyarakat dunia. UWRF adalah salah jembatan penyampai pesan kepada dunia bahwa sastra juga sangat penting dalam menyumbangkan pemikiran dalam masalah sosial dan budaya. Sehingga apa yang dikatakan oleh Aguk Irawan MN (Kompas, Sabtu, 5 September 2009) bahwa nasib puisi di Indonesia mengalami musibah kematian itu mungkin kurang benar, tapi apakah kita akan berhenti di sana, tanpa ada upaya untuk menyikapi hal itu? Kalau saya boleh menjawab dari mulut sastra. Tidak! Nasib sastra Indonesia memiliki tubuh yang mudah lelah dan cepat capek, karena kita masih banyak punya waktu untuk menguras nasib sastra Indonesia ke depan. Marilah secara bersama-bersama untuk tetap memberi energi terhadap pertumbuhan sastra Indonesia dan dunia.
UWRF adalah ladang sangat tepat untuk kita memperkenalkan sastra Indonesia di mata dunia, karena UWRF kali akan mendatangkan penulis dan sastrawan besar dunia seperti pemenang Nobel Sastra, Wole Soyinka (Nobel Sastra 1986) Wole Soyinka adalah warga Afrika pertama yang memenangkan Nobel Sastra. Karena dengan hadirnya mereka ke Bali merupakan “silaturrahmi sastra dunia” yang mungkin tahun depan tidak menghadirkan pada penulis hebat dari Amerika atau dunia, walau pun ini sudah menjadi agenda tahunan, apakah kemudian festival itu hanya di kemas seperti ini lagi, saya kira tidak mungkin, sebab tahun depat bukanlah tahun ini, tapi tahun depan adalah tahun depan yang memiliki waktu tersendiri untuk di setting sesuai dengan perkembangan sastra dunia pada tahun 2010.
Saya ucapkan selamat kepada para sastrawan atau penulis yang terpilih sebagai wakil dari Indonesia yang akan tampil. Anda sebagai sastrawan terkemuka menjadi penyampai seperti NH Dini dan Seno Gumira Adjidarma. Serta 15 penulis muda Indonesia yaitu Nurhady Sirimorok, Aan Mansyur (Makassar), Romi Zarman, Esha tegar Putra (Padang) Inggit Putria Marga (Lampung), Anton Kurnia, Dian Hartati (Bandung), Ernest JK Wen, Yonathan Rahardjo, Tjahjono Widijanto(Jawa Timur), Ahmad Muchlis Imran (Jogja), Doel CP Allisah (Aceh), Zeffry Alkatiri, Nelden Djakababa, Clara Ng (Jakarta). Sedangkan dari Bali sendiri akan menghadirkan penulis Putu Fajar Arcana, Nyoman Manda, Cok Sawitri, Ngurah Suryawan, dan Komang Adnyana.
Semoga dengan dilaksanakan UWRF ini menjadi penyemangat diri sastrawan kita untuk terus memperjuangkan semangat kesusastraan Indonesia ke depan. Semangat untuk selalu memberi pemikiran cemerlang dalam perhelatan sastra. Agar teks sastra tidak lagi menjadi “main-main” di mata masyarakat Indonesia. Kita buktikan bahwa sastra juga memiliki tubuh yang kuat untuk memberi sumbangan pemikiran dalam kemanusian.
Pesan saya adalah gunakanlah ladang itu sebagai agent of change sastra Indonesia ke depan, karena selama ini perkembangan sastra Indonesia di anggap kurang mendapat pengakuan dari pemerintah sendiri, paling tidak sastrawan sebagai pribadi penyampaikan bahwa sastra Indonesia ada dan penulisnya juga hebat-hebat seperti yang saya sebutkan di atas. Sebab sangat sulit ada moment penting seperti ini, jadi sangat disayangkan kalau yang hadir (sastrawan Indonesia) hanya diam tanpa ada respon baik terhadap perkembangan sastra Indonesia ke depan. Terakhir semangatlah untuk berjuang di jalan “rasa”.

Sumber: Batam Post, 18 November 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura