Sastrawan No-Energi-Transformasi

Oleh: Matroni el-Moezany*

Indonesia adalah negara plural, salah satu dari sekian banyak ragam komunitas adalah komunitas yang berorientasi sastra atau seni. Saat ini banyak sekali komunitas sastra, dan orang-orangnya juga hebat-hebat, salah di Yogyakarta yang banyak komunitas sastra, kemaren saya juga mengikuti acara balai sastra kecapi di kampus Sanata Darma, di sana membahas banyak tentang proses kreativitas kepenulisan, yang menjadi pengurus di dalamnya penyair dan sastrawan besar, seperti Dwi Cipta, Sunli Thomas Alexander, Kedung Darma Ramansa, Indrian Koto, Mutia Sukma, Retno Iswandari, dan banyak yang lainnya yang aku tidak kenal, tapi mereka adalah pejuang kesusastraan di Indonesia.
Ini bukan tidak memiliki arti apa-apa, yang jelas mereka sampai sekarang masih aktif menulis di Koran maupun di buku. Masalahnya kemudian adalah mereka belum mampu untuk merubah perkembangan sastra di Indonesia, buktinya sampai saat ini belum ada pelajaran sastra sejak dini, artinya belum ada kulikulum yang memang benar-benar ada secara khusus mempelajari sastra. Kalau di luar negeri kata Mak Lane ketika menjadi pembicara di Realino (Sanata Darma) mengatakan bahwa Indonesia masih jauh ketertinggalannya dalam hal kesusastraan.
Inilah yang menjadi tugas sastrawan dan budayawan untuk menembus ruang publik pemerintahan agar sastra juga di beri tempat yang nyaman agar perkembangannya juga seimbang dengan perkembangan politik. Dan kini sastra menurut Al-Fayyat hanya menjadi vision atau lipstik belaka, jadi tidak heran kalau perkembangan hanya dalam diri pribadi individu, belum ada gereget untuk memberti energi terhadap apa yang sastrawan tulis, apalagi masalah transformasi dari kata-kata yang mereka tulis, artinya para sastrawan belum mampu untuk mentransformasikan di ranah pemerintahan. Di Indonesia kalau para sastrawan ingin sastranya di akui, maka kita harus menembus mentri pendidikan mengajukan, karena mentri pendidikan belum tahu kalau sastra juga sangat penting untuk perkembangan Negara.
Apakah yang duduk di kursi birokrasi memang belum menyukai sastra sehingga mereka mengabaikan perkembangan sastra di Indonesia?. Karena saya melihat banyak budayawan yang berjuang di ladang sastra, Radhar Panca Dahana, Putu Wijaya, Jamal D. Rahman, Abd Hadi WM dan para sastrawan senior yang sampai saat ini masih eksis untuk mempertahankan sastra di tubuh Indonesia, tapi mereka juga belum mampu menembus otak para birokrasi pemerintahan.
Begitulah kendala sastra kita sejak dulu hingga kini. Entah ini karena sastrawan sendiri yang memang cuek terhadap bagaimana sastra juga mampu merubah dunia, atau ada faktor lain yang mempengaruhi keinginan sastra. Tapi yang jelas sampai saat ini sastra belum ada apa-apanya dalam mempengaruhi masyarakat untuk cinta dan membangun kecintaan dalam membaca sastra.
Nazik Malaikah misalnya sebagai penyair Irak, yang dianggap sebagai penyair revolusioner. Walau pun di Nusantara, puisi-puisi Hamzah Fansuri yang berasal dari Aceh abad ke-16 dan ke-17 masih berpengaruh pada puisi di ranah transendental masa kini. Adapun puisi-puisi karya Chairil Anwar, misalnya, turut membakar semangat kebangsaan dan kemerdekaan. Bagaimana pula kita menafikan puisi-puisi WS Rendra dalam mendorong perubahan politik di negeri ini? Tapi untuk saat ini hal itu hanya menjadi sebuah catatan kosong bagi negeri ini, artinya negeri ini belum memberikan apresiasi dan kesempatan terhadap generasi muda untuk tampil menjadi pejuang dalam menyeimbangkan sastra dengan politik.
Mengapa sengaja mengankat tema “Sastrawan No-Energi-Transformasi” ini tidak terlepas dari intevensi para politisi untuk tidak memberi peluang terhadap jalannya sastra Indonesia. Bukannya sastrawan tidak memiliki keinginan untuk mentransformasikan isi dari teks itu, tapi mereka sudah merasa kalau sastra di transformasikan akan dikalahkan oleh otak para politisi yang saat ini nyaman duduk di kursi kenikmatan sendiri. Jadi masalahnya bukan ada pada sastrawan, tapi ada pada tiadanya apresiasi pemerintah terhadap sastra dan perkembangannya.
Padahal kalau kita berkaca pada catatan sejarah, sastra memiliki mahkota yang sangat berharga, dalam hal ini Adonis mengatakan bahwa puisi tidak lahir dari kekosongan sosial-budaya, dan estetika kata-kata, namun sastra itu langsung berhubungan dengan proses membangun makna hidup dalam konteks sosial-budaya, baik dalam ruang temporal maupun perenial. Hanya sastralah yang mampu menjadi manusia proporsional dalam menjalani hidup dan membangun bangsa. Bahkan dalam Negara sekali pun. Sebab keseimbangan dalam menjalani hidup itu sangat penting, agar kita tidak mengalami kegersangan paradigma dan visi hidup, yang kita bangun sendiri. Dalam hal ini sastra mampu mencapai hal itu. Inilah opini pihak sastrawan, tapi opini para politisi sastra tidak akan mampu untuk perkembangan bangsa, tapi kalau politik pasti mampu buktinya sekarang.
Agar sebuah tulisan itu berguna, tidak hanya sekedar menjelaskan sedemikian rupa, tapi yang paling penting dari sastra itu adalah sisi praksis kehidupan dan ini yang sering dilupakan oleh kita. Sayangnya hingga kini, sastra terlanjur masuk di menara gading dan ketika dilibatkan dalam kehidupan sehari-hari, sastrawan malah terkurung oleh balutan visi materialis yang menjadi landasan karya-karya tersebut. Sastrawan terkena virus sebuah daya yang menempatkan tujuan di atas segala-galanya. Sastra seharusnya menciptakan manusia yang terbuka dan steril dari tekanan apa pun, agar tercipta angin surga.

*Penyair

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura