Menciptakan Tradisi Kesadaran

Oleh: Matroni el-Moezany*

Kedatangan Miyabe ke Indonesia membuat masyarakat geger dan banyak membuahkan kontrofirsi. FPI misalnya yang mengatakan bahwa Miyabe “sang penghancur moral bangsa” dan banyak yang lainnya. Ketika FPI demikian, yang akan terjadi adalah apa yang dikatakan Wina Armada benar bahwa bahaya besar yang mengancam kebebasan berekspresi. Padahal Indonesia sudah lama membuka pintu lebar-lebar kebebasan oleh reformasi.
FPI dalam hal ini sudah sampai di ranah sadar bahwa mereka sudah menjadi pejuang-pejuang yang membela fornografi. Tapi apakah kedatangan Miyabe sudah jelas-jelas fornografi? Belum tentu. Mereka tidak tahu. Mereka hanya berkoar-koar menolak Miyabe datang ke Indonesia. Mereka belum tahu, apakah film itu benar-benar ada adegan porno atau tidak.
Jadi benar apa yang dikhawatirkan oleh Putu Wijaya bahwa benarkah ada kebebasan berekspresi itu? Ekspresi itu sendiri apa? Sementara yang disebut kebebasan itu apa tak ada batasannya?
Putu Wijaya melanjutkan dengan mengatakan tidak semua perasaan yang ingin diungkapkan bisa kita kaitkan dengan kebebasan berekspresi. Karena keinginan untuk mengutuk, memfitnah, membunuh, segera saja akan menodai kebebasan orang lain. Jadi memang ada kebebasan setiap kita dan kemerdekaan orang lain yang selalu akan membatasi setiap ekspresi individu dalam masyarakat.

Pembela Tuhan
Aktualisasi humanisme sangat penting di tengah krisis humanisme holistik seperti sekarang ini di Indonesia. FPI sebagai orang yang selalu benar dan pembela Tuhan harus menyadari akan adanya konsep humanisme dalam Islam. Islam selalu mengajarkan untuk menghormati orang lain, hidup berdampingan dengan harmonis dan semua itu sejalan dengan ajaran Islam.
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menciptakan Islam sebagai agama cinta, agama perdamaian. Hanya saja, ada banyak orang yang menilai bahwa Islam akan mengganggu stabilitas agama-agama. Kalau ada sebagian masyarakat yang membela Tuhan tentunya sangat rugi kalau mereka melupakan ajaran dasar agama. Artinya dasar agama bukanlah melarang, tetapi menawarkan nilai-nilai permanen untuk dipilih oleh umat manusia.
Prilaku baik dan tidak hanya merupakan perbuatan individu, yang berlandaskan pada niat baik, namun ia juga mengekspresikan aksi kolektif yang berdasarkan maksud universal, diekspresikan dalam kehidupan manusia. FPI sebagai kaum “Tuhani” harus mampu mencipkan etika global dan solidaritas kemanusiaan di dunia, karena tidak ada gunanya kita berteriak menolak Miyabe untuk silaturrahmi ke Indonesia, tanpa dibarengi kecerdasan intelektualitas yang mampuni.
Melihat Islam yang demikian, sangat susah untuk menciptakan tradisi kesadaran di kalangan masyarakat Islam dan Indonesia. Benar apa yang diprediksikan ilmuwan Barat yang menyatakan agama formal (organized religion) akan lenyap, atau setidaknya akan menjadi urusan pribadi, ketika Islam hanya dipahami sebagai agama individu. Saat ini Islam sungguh membingungkan, ekspresi dan artikulasi peran agama justru melahirkan suasana menekam, tidak ramah, dan selalu mengundang konflik dan permusuhan.

Tradisi Kesadaran
Walau pun agama formal tetap ada dan selalu dibutuhkan oleh kita, tetapi ekspresi dan artikulasi perannya yang terjadi saat ini bukanlah ekspresi dan artikulasi yang sejati.
Itulah yang membuat hilangnya tradisi kesadaran masyarakat Indonesia, khusunya umat Islam. Mereka hanya sadar, belum menyadari, jadi tidak heran kalau wajah Islam di Indonesia masih muram dan menakutkan. Mereka hanya sadar kalau hakikat semua agama dan tradisi besar spiritualitas manusia menyangkut kearifan dalam menjalankan hidup yang benar. Mereka belum menyentuh ranah menyadari yaitu transformasi atau aplikasi dari ajaran agama itu sendiri. Jadi sangat jauh untuk menciptakan tradisi kesadaran.
Tradisi kesadaran ini sangat penting. Karena hanya dengan tradisi kesadaran inilah kita bisa memahami komfleksitas perbedaan-perbedaan antara satu dan lain tradisi dan agama yang selama ini hanya ada dalam sadar para ahli agama, bahwa yang ada, kita hanya di tuntut untuk sadar, tapi tidak dituntut untuk menyadari realitas agama. Islam masih memahami agama yang satu dengan agama yang lain berbeda bahkan di anggap musuh.
Miyabe sebagai tradisi lain di Indonesia, seharusnya kita melihat dari segi positifnya saja, bukan lantas berteriak mengatasnamakan agama kita sendiri, sebab Miyabe juga memiliki keyakinan, sama seperti kita. Kalau kita melarang Miyabe datang dan bermain film di Indonesia, atas dasar apa kita melarang, dan atas dasar apa kita memotong kebebesan seseorang? Kalau ada dasar yang melarang seseorang datang atau bersilaturrahmi ke rumah kita, siapa dan mengapa ada larangan seperti itu?
Miyabe memang pemain film-film panas, tapi Miyabe memiliki akal dan pemikiran kalau setiap Negara itu memiliki budaya lain. Miyabe pasti tahu dan menyadari kalau Indonesia memang melarang untuk membuat film fornografi. Jadi ketika Miyabe sudah masuk Indonesia dengan sendirinya Miyabe menyadari kalau Indonesia Negara demokrasi.
Sangat memprehatinkan memang, dan itulah sebabnya mengapa Hebermas mengidealkan suatu kondisi di mana manusia tidak saling sikut dan gencet demi kepentingan dan tujuan instrumental masing-masing. Dia membayangkan masyarakat komonikatif tempat perbedaan kepentingan dibicarakan lewat cara-cara yang elegan dan tak menutup ruang gerak masing-masing pihak. Itu semua bisa berlangsung di ruang publik yang terbuka dan steril dari tekanan ideologi yang hanya meniupkan angin surga.
Agar FPI tidak hanya berteriak di jalan sekedar menyampaikan pesan moral kepada Miyabe sedemikian rupa atau seorang tokoh seperti FPI seharusnya tidak hanya berteriak di jalan-jalan hanya sekedar wirit dan merenung di masjid dan dimushllah. Tapi hal terpenting dari itu semua adalah sisi praxis kehidupan.
Sayangnya, ilmu agama sudah terlanjur masuk di manara gading dan ketika dilibatkan dalam realitas kehidupan sehari-hari, mereka tekurung sendiri oleh balitan pemahaman yang kurang benar. Mereka di bius oleh dogma yang menempatkan tujuan di atas segala-galanya. Daya itu bernama ideologi dogma, ibu kandung fanatisme yang sifatnya ekslusif.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura