Puasa Membumikan Agama Multikultural

Oleh: Matroni el-Moezany*

Agama sebagai jembatan kita untuk menuju pada Tuhan, yang sudah sejak lama menjadi tradisi kesadaran kita, tapi ketika agama dibenturkan dengan sosial dan budaya, wajah agama berubah, seperti harimau yang akan mencengram. Inilah agama yang menjadi ideologi dan kemudian mengungkung kita sendiri. Agama bukan lagi dianggap sebagai proses untuk saling menebar kasih sayang, tapi agama lebih dipahami sebagai agama yang teosentris, seakan-akan agama tidak ada keterkaitan dengan sosial.
Padahal kalau kita menelaah lebih dalam dimensi multikultural ini sebenarnya sudah tersirat kuat dalam Islam dengan pernyataan bahwa Islam adalah penebar kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Pengejawantahan dari pernyataan tersebut tidak hanya dalam konteks teologis an sich, tetapi juga sosial budaya. Islam, seperti yang tercermin dalam sikap Rasulullah, sangat menghargai eksistensi pluralitas budaya dan pluralitas agama. Salah satu ajaran yang memperlihatkan adanya kesamaan nilai dalam keragaman budaya adalah puasa. Ia merupakan ajaran agama yang diwariskan dari agama-agama sebelumnya.
Puasa akan bernilai ketika kita benar-benar tahu makna dari puasa itu sendiri, artinya puasa sebagai basis sosial yang kuat untuk menjalin kebudayaan lain. Lahirnya multikultural yang sejuk karena adanya suatu ritual keagamaan yang kita sadar dan menyadari bahwa ritual keagamaan menjadi sangat bernilai bagi sosial.
Dalam konteks budaya, tidak ada satu pun budaya yang berhak mengeliminasi budaya lain, karena di dalamnya terkandung satu nilai yang sama, yaitu nilai kemanusiaan. Dalam hal ini agama penting untuk menyadari bahwa sebagai proses kebudayaan yang kemudian dianggap budaya islam, budaya nasrani, dan budaya agama-agama lain. Padahal agama tidak seperti itu, agama adalah sebuah perayaan kasih sayang yang tercermin dalam sikap umatnya, yaitu dengan melakukan puasa, saling menghormati agama-agama lain. Sebab itulah yang diperjuangkan Rosulullah. Artinya nilai kemusiaan yang tersirat dalam budaya menjadi nyata dalam sebuah agama.
Sangat sulit untuk memperjuangkan problem multikultural dalam agama, karena persoalannya terletak pada agama itu sendiri. Biasanya hal ini terjadi pada penafsiran kita terhadap firman Tuhan dengan menggunakan akal jumud. Secara umum pola tafsir atas firman Tuhan cenderung terjebak pada model yang diametral, yaitu antara tafsir tekstual dengan tafsir kontekstual atau antara tafsir formal dengan tafsir substansial. Antara wahyu sebagai realitas yang statis dan wahyu sebagai realitas progresif.
Penafsiran agama dianggap sebagai agama kelompoknya sendiri, sehingga menimbulkan penafsiran individualis-kaku, sehingga tidak heran kalau sampai saat ini agama masih menjadi kungkungan jiwa seseorang. Mereka tidak sadar kalau ada penafsiran kontekstual-substansial yang bisa menjawab tantangan budaya. Akhirnya yang terjadi kemudian ke-kaku-an yang diamalkan oleh penganut agama tertentu.
Kita penting untuk berjihad mengembangkan multikultural, daripada berjihad tanpa ada patokan budaya dan sosial yang jelas. Seperti berjihad bunuh diri dan membuat kekacauan di daerah tertentu. Puasa misalnya sebagaimana disebutkan dalam Al Quran (QS 2:183) bahwa puasa merupakan ajaran yang sudah diperintahkan pada kaum sebelum Islam. Puasa telah menjadi bagian dari proses budaya masyarakat sebelum Tuhan menurunkan wahyu kepada Muhammad. Pengakuan ini paling tidak menunjukkan dua hal. Pertama, legitimasi teologis (tekstual). Yaitu bahwa puasa merupakan ajaran Tuhan yang diturunkan untuk peningkatan kualitas diri. Kedua, legitimasi budaya (kontekstual). Yaitu bahwa puasa merupakan nilai luhur yang sudah membudaya dalam masyarakat sebelum Islam. Adanya legitimasi teologis dan budaya akan menyebabkan puasa berdampak pada wilayah sosial sekaligus spiritual. Dua sisi inilah yang sering kali dipahami secara dikotomis dan tersegmentasi oleh sebagian umat Islam.
Mementingkan sisi sosial dan mengambangkan sisi spiritual menjadi sangat penting. Kita kadang bangga dengan beramal sosial sebanyak-banyaknya pada bulan Ramadhan, sebagian lagi merasa puas karena berhasil melaksanakan puasa sebulan penuh. Konsekuensinya semua amal baik dan cinta kasih hanya tertumpah ruah di kala Ramadhan, setelah itu selesai (tanpa ada makna apa-apa). Padahal kalau kita lebih mementingkan sisi sosial, ketika itu akan tampak bahwa nilai puasa tidak sebatas di bulan ramadhan, tapi bagaimana implikasinya terhadap perkembangan masyarakat, sebagai palaku multikultural. Sebab Tuhan akan ikut hambanya, kalau kita memilih untuk tidak berpuasa, Tuhan tidak akan marah, memilih untuk berpuasa Tuhan juga tidak akan rugi. Artinya ritual kehidupan apa pun bentuknya tergantung pada kita, bukan Tuhan. Tuhan hanya menyediakan lahan untuk kita kerjakan sebagai amal atau sebagai dosa.
Multikultural merupakan ruang gerak internal yang memiliki kesadaran inklusif dan ditranformasi di ranah sosial. Ritual puasa misalnya, idealnya mengantarkan kita untuk menemukan kesadaran hati nurani yang bersifat holistik-universal sehingga memiliki daya pandang yang egaliter terhadap sesama. Kesadaran yang tercipta oleh masyarakat yang menyadari dirinya hamba dengan Tuhannya dan tradisi kesadaran menjadi spirit terbangunnya kedamaian multikulturalisme antar-sesama.
Dalam konteks puasa, refleksi-esoteris-sosial dan tradisi kesadaran harus tumbuh sebagai manifestasi dari proses internalisasi nilai-nilai ketuhanan yang berlangsung selama Ramadhan maupun selama kita masih hidup. Inilah sebuah proses yang oleh filosof Denmark Soren Kierkegaard (1813-1855) disebut sebagai proses dari aesthetic stage menuju religious stage. Puasa bukan sekadar perintah individualis terhadap kita, tetapi juga transformasi yang bersifat sosial-humanis yang memiliki dampak terhadap realitas sosial.
Puasa sebagai proses tradisi kesadaran agama yang memiliki makna holistic harus dijadikan energi kedamaian terhadap pemahaman multikultural yang berimplikasi terhadap nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Transformasi religiusitas dan semangat multikultural yang bisa dicapai lewat puasa idealnya bisa dirasakan oleh seluruh umat manusia tanpa terjebak oleh sekat-sekat budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun teologis, apalagi politis.
Dalam rangka ingin membangun semangat multikultural terhadap pemahaman agama-agama harus dijalankan dalam misi yang sama yaitu kemanusiaan. Sebab kesamaan misi tidak akan mematikan energi-energi agama dan multikultural. Justru misi ini akan tumbuh bersamaan dengan keberagaman (multikultural). Dan ini berjalan baik atas nama minoritas maupun mayoritas atau semua jamaah budaya harus bersikap inklusif dan setara untuk kepentingan kebersamaan. Inilah semangat dari nilai puasa, yaitu sebuah semangat keagamaan yang sejuk terhadap keragaman budaya. Dengan demikian agama tidak lagi milik individu, melainkan milik semua orang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani